25.6 C
Medan
Thursday, May 9, 2024

Harga Jagung Diperkirakan Turun pada Oktober

JAKARTA, SUMUTPOS.CO – Harga jagung yang kini tengah naik diperkirakan mulai mereda pada Oktober mendatang seiring masuknya musim panen raya di dalam negeri. Meski demikian, penurunan harga jagung ketika panen akan sangat bergantung pada faktor cuaca yang dihadapi menjelang akhir tahun.

PETIK: Para petani jagung di Jawa Timur sedang memetik jagung saat panen. Sejak awal tahun, harga jagung naik dan diperkirakan akan turun saat bulan Oktober 2021.istimewa/sumut pos.

Harga jagung pipil kering kadar air 15 persen di tingkat petani saat ini berkisar Rp5.000 per kg, jauh di atas harga acuan pemerintah Rp3.150 per kg. Adapun di tingkat konsumen atau pengguna jagung untuk pakan ternak, harga jagung sudah tembus di atas Rp 5.500 per kg. Hal itu berdampak pada tingginya harga pakan ternak unggas.

Ketua Dewan Jagung Nasional, Tony J Kristianto, mengatakan, masalah jagung, terutama soal harga yang mahal hingga akhir tahun ini akibat masalah hasil produksi yang kurang optimal. Itu disebabkan musim hujan lebat yang panjang sehingga hasil penanaman kurang berhasil.

“Itu sebabnya terjadi kekurangan produksi dan tampaknya ini sudah diprediksi oleh pabrik-pabrik pakan ternak besar sehingga selama ini mereka terus memborong jagung,” kata Tony, Minggu (25/7).

Aksi memborong jagung itu demi mengamankan kebutuhan jagung mereka hingga musim panen raya kedua pada Oktober. Sementara, bagi perusahaan perunggasan terintegrasi kebanyakan sudah memiliki kontrak produksi jagung tersendiri demi menjaga keberlanjutan ketersediaan bahan baku pakan.

Situasi saat ini berdampak negatif pada peternak-peternak unggas mandiri. Mereka juga membutuhkan jagung untuk kebutuhan pakan tapi tidak memiliki daya tawar untuk bisa mengamankan pasokan jagung.

“Peternak mandiri yang kalang kabut. Selain dipukul harga jagung dan pakan yang tinggi, harga ayam hasil produksinya juga tidak naik-naik karena konsumsi sedang melemah,” ujar dia.

Selain karena produksi yang belum optimal, Tony menilai, kebijakan PPKM turut berdampak pada kenaikan biaya logistik jagung antar daerah. Tanpa disadari mobilitas yang diperketat meningkatkan biaya angkut dan berdampak pada harga jual jagung.

Adapun opsi impor jagung maupun produk substitusi seperti gandum, menurut Tony belum menjadi opsi ideal. Sebab, situasi harga di level global masih cukup tinggi. Di satu sisi, industri pakan ternak maupun peternak juga harus mengubah formula pakan yang dapat berdampak pada kualitas pakan ternak.

Dengan kata lain, Tony menilai, tidak ada pilihan untuk saat ini selain menunggu harapan penurunan harga jagung pada Oktober mendatang. Ia pun memprediksi, produksi jagung pipilan kering pada tahun ini kemungkinan sama seperti tahun lalu yakni di kisaran 11-12 juta ton.

“Situasinya akan seperti ini setidaknya sampai Oktober. Asalkan pada Juli, Agustus, September itu penanamannya baik, hujan cukup tapi tidak berlebihan,” ujar dia. (rol/ram)

JAKARTA, SUMUTPOS.CO – Harga jagung yang kini tengah naik diperkirakan mulai mereda pada Oktober mendatang seiring masuknya musim panen raya di dalam negeri. Meski demikian, penurunan harga jagung ketika panen akan sangat bergantung pada faktor cuaca yang dihadapi menjelang akhir tahun.

PETIK: Para petani jagung di Jawa Timur sedang memetik jagung saat panen. Sejak awal tahun, harga jagung naik dan diperkirakan akan turun saat bulan Oktober 2021.istimewa/sumut pos.

Harga jagung pipil kering kadar air 15 persen di tingkat petani saat ini berkisar Rp5.000 per kg, jauh di atas harga acuan pemerintah Rp3.150 per kg. Adapun di tingkat konsumen atau pengguna jagung untuk pakan ternak, harga jagung sudah tembus di atas Rp 5.500 per kg. Hal itu berdampak pada tingginya harga pakan ternak unggas.

Ketua Dewan Jagung Nasional, Tony J Kristianto, mengatakan, masalah jagung, terutama soal harga yang mahal hingga akhir tahun ini akibat masalah hasil produksi yang kurang optimal. Itu disebabkan musim hujan lebat yang panjang sehingga hasil penanaman kurang berhasil.

“Itu sebabnya terjadi kekurangan produksi dan tampaknya ini sudah diprediksi oleh pabrik-pabrik pakan ternak besar sehingga selama ini mereka terus memborong jagung,” kata Tony, Minggu (25/7).

Aksi memborong jagung itu demi mengamankan kebutuhan jagung mereka hingga musim panen raya kedua pada Oktober. Sementara, bagi perusahaan perunggasan terintegrasi kebanyakan sudah memiliki kontrak produksi jagung tersendiri demi menjaga keberlanjutan ketersediaan bahan baku pakan.

Situasi saat ini berdampak negatif pada peternak-peternak unggas mandiri. Mereka juga membutuhkan jagung untuk kebutuhan pakan tapi tidak memiliki daya tawar untuk bisa mengamankan pasokan jagung.

“Peternak mandiri yang kalang kabut. Selain dipukul harga jagung dan pakan yang tinggi, harga ayam hasil produksinya juga tidak naik-naik karena konsumsi sedang melemah,” ujar dia.

Selain karena produksi yang belum optimal, Tony menilai, kebijakan PPKM turut berdampak pada kenaikan biaya logistik jagung antar daerah. Tanpa disadari mobilitas yang diperketat meningkatkan biaya angkut dan berdampak pada harga jual jagung.

Adapun opsi impor jagung maupun produk substitusi seperti gandum, menurut Tony belum menjadi opsi ideal. Sebab, situasi harga di level global masih cukup tinggi. Di satu sisi, industri pakan ternak maupun peternak juga harus mengubah formula pakan yang dapat berdampak pada kualitas pakan ternak.

Dengan kata lain, Tony menilai, tidak ada pilihan untuk saat ini selain menunggu harapan penurunan harga jagung pada Oktober mendatang. Ia pun memprediksi, produksi jagung pipilan kering pada tahun ini kemungkinan sama seperti tahun lalu yakni di kisaran 11-12 juta ton.

“Situasinya akan seperti ini setidaknya sampai Oktober. Asalkan pada Juli, Agustus, September itu penanamannya baik, hujan cukup tapi tidak berlebihan,” ujar dia. (rol/ram)

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/