Dia mengemukakan, biasanya sejak bulan Juli hingga Oktober pada beberapa sentra produksi garam di Pulau Jawa sudah mulai panen. Namun, pada tahun lalu ternyata kondisi cuaca tak mendukung lantaran sedang terjadi La Nina (fenomena turunnya suhu permukaan air laut) sehingga mengakibatkan gagal panen. Cuaca yang terjadi kemarau basah, dan berdampak terhadap produksi garam tidak maksimal.
“Biasanya produksi itu bisa mencapai sekira 1 juta ton lebih, ternyata hanya mencapai sekitar 140 ribu ton saja. Tentunya, hasil produksi inipun tidak mencukupi kebutuhan garam konsumsi dan industri pangan seperti ikan asin. Jadi, hal inilah yang memicu kelangkaan dan harganya naik,” terangnya.
Ditambah lagi, sambung dia, pemerintah agak terlambat untuk melakukan impor garam dan juga terjadi kasus terhadap PT Garam. Oleh karenanya, ini berdampak terhadap pasokan garam.
Sementara, salah seorang pedagang di Pasar Tradisional Kwala Bekala, Sari, mengaku harga garam belum terjadi penurunan. Kata dia, harganya masih bertahan mahal.
“Masih sama harganya kok, siapa bilang sudah turun. Malahan, stok barangnya pun susah. Hari ini (kemarin, red) kosong, dan besok baru masuk barangnya,” ujar Sari.
Disebutkannya, garam ukuran sedang diecer Rp5.000 hingga Rp6.000 per bungkusnya. Kalau yang ukuran kecil Rp2.500, sedangkan yang besar Rp10.000.
“Kalau memang kabarnya akan terjadi penurunan, baguslah. Mudahan-mudahan memang benar, bukan sekedar kabar saja. Tapi, yang terpenting bagi kami stok tetap ada atau enggak susah,” tutur Sari. (ris/ram)