25 C
Medan
Sunday, September 29, 2024

Kewenangan MUI Mulai Dipereteli

Foto: NET Stiker halal MUI di sebuah restoran siap saji Jepang.
Foto: NET
Stiker halal MUI di sebuah restoran siap saji Jepang.

JAKARTA, SUMUTPOS.CO – Setelah melalui pemabahasan delapan tahun, UU Jaminan Produk Halal (JPH) akhirnya disahkan DPR kemarin. Kewenangan sertifikasi halal yang selama ini dipegang oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI) bakal dipereteli. Kewenangan itu dilimpahkan ke badan khusus yang bertanggungjawab langsung ke Presiden.

Wakil Sekretaris Komisi Fatwa MUI Asrorun Naim menuturkan, selama ini labeliasasi atau sertifikasi halal ditangani MUI karena merasa negara tidak hadir. “MUI merasa ada panggilan keagamaan. Karena urusan halal ini adalah terminologi keagamaan,” katanya kemarin.

Dia menegaskan sertifikasi atau labelisasi halal tidak bisa dilaksanakan sepotong-sepotong. Menurut Asrorun, sertifikasi halal bukan hanya urusan scientific atau kenegaraan saja. Tetapi di dalamnya ada kandungan keagamaan. Nah untuk urusan keagamaan ini, sudah ada kesepakatan bersama dilimpahkan ke MUI selaku lembaga yang kompeten.

Asroroun menjelaskan, MUI yang selama ini menjadi ujung tombak sertifikasi halal bukan tanpa dasar. Dia menyebutkan kewenangan MUI itu di dasari surat keputusan bersama antara Kementerian Agama, Kementerian Kesehatan, Badan Pengawas Obat dan Makanan, serta MUI sendiri.

Kalaupun amanah UU JPH ini akan membentuk Badan Nasional Penjaminan Produk Halal (BNP2H), unsur MUI akan tetap dilibatkan. Pertimbangannya adalah, MUI selama ini telah berpengalaman untuk mengeluarkan sertifikasi halal.

Dalam draf hasil harmonisasi RUU JPH, BNP2H ini memiliki sejumlah fungsi. Diantaranya sertifikasi, registrasi, dan labelisasi produk halal, penerbitan dan pencabutan sertifikat halal pada produk, serta bekerjasama dengan lembaga luar negeri untuk urusan jaminan produk halal.

Asroroun enggan berkomentar banyak terkait potensi pencabutan kewenangan labelisasi halal yang selama ini ada di MUI. Dia lebih mengutamakan bahwa semangat penerbitan UU JPH ini untuk memberikan tanggung jawab negara terhadap konsumem. “Khususnya terkait dengan perlindungan masyarakat dalam konsumsi produk halal,” kata dia. Terkait tata cara atau mekanisme sertifikasi halal, nanti akan diperjelas dalam peraturan pemerintah turunan dari UU JPH itu.

Setelah BNP2H berdiri, urusan teknis pemeriksaan kehalalan produk bisa di berikan ke Lembaga Pemeriksa Halal (LPH). LPH ini boleh dibentuk oleh ormas-ormas keagamaan, dengan syarat memperoleh akreditasi dari BNP2H. Selain itu para auditor yang dipakai LPH, juga harus disertifikasi oleh BNP2H.

Wakil Ketua Komisi VIII RI Ledia Hanifa Amalia menjabarkan, diantara syarat untuk menjadi LPH adalah kewajibab berbadan hukum atau terdaftar secara resmi di Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (KemenkumHAM). Kedua, ormas diharuskan sekurang-kurangnya memiliki tiga orang auditor halal untuk menjamin proses auditor berjalan dengan benar.

“Dalam implementasinya, mereka harus mengacu pada sistem standarisasi yang digunakan oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI). Karena standar MUI ini telah digunakan selama 25 tahun dan terpercaya. Seperti yang kita ketahui, MUI selama ini berperan sebagai satu-satunya lembaga yang mengeluarkan sertifikat halal,” urainya saat ditemui disela-sela rapat paripurna DPR RI di Jakarta, kemarin.

Selain itu, UU JPH ini juga melegitimasi keberadaan Badan Nasional Penjamin Produk Halal (BNP2H). Badan ini nantinya akan bertugas dalam penyelenggaraan jaminan halal di Indonesia. Kondisi ini pun memunculkan dugaan adanya pemangkasan kuasa MUI dalam hal sertifikasi. Namun itu disangkalnya. Menurutnya, MUI tetap akan berperan besar dan bekerja sama dengan BNP2H dalam menangani sertifikasi ini.

Sertifikasi halal ini nantinya akan diwajibkan bagi semua kelompok usaha. Mulai dari usaha kecil hingga besar. Sertifikasi pun wajib dilakukan per produk yang dimiliki oleh perusahaan, terutama produk hewan dan daging. Kelompok usaha ini diberi tenggat waktu lima tahun untuk dapat memenuhi kewajiban mereka bersertifikasi halal. “Unuk usaha kecil dan mikro, kita harapkan dapat dibiayai oleh negara melalui APBN, APBD atau melalui kegiatan CSR (Corporate Social Responsibility) mengingat biaya yang harus dikeluarkan,” jelasnya.

Terpisah, Sekjen Kemenag Nursyam pun turut menampik adanya penyempitan kewenangan MUI. Ia menyebut, kewenangan MUI justru diperluas. Misalnya, MUI masih tetap dijadikan acuan untuk sertifikasi produk halal. Selain itu, BNP2H juga akan bekerjasama dengan MUI untuk sertifikasi produk, sertifikasi auditor, sertifikasi lembaga pemeriksa halal hingga diskusi untuk menentukan dan membahas hasil. “tidak, peran MUI tetap besar dalam hal sertifikasi ini,” ungkapnya. Nursyam berharap, BNP2H ini akan dapat berkembang di daerah. sehingga untuk masalah halal bisa dapat jaminan yang baik.

UU JPH ini sendiri masih akan diperjelas dengan 8 Peraturan Pemerintah (PP) dan dua Peraturan Menteri (Permen). Aturan tersebut diharuskan selesai dalam waktu dua tahun. Kemudian, untuk BNP2H wajib berdiri sekurang-kurangnya dalam waktu tiga tahun setelah pengesahan UU JPH. Selama belum ada BPJPH, maka fungsi ini masih dijalankan MUI. (wan/mia)

Foto: NET Stiker halal MUI di sebuah restoran siap saji Jepang.
Foto: NET
Stiker halal MUI di sebuah restoran siap saji Jepang.

JAKARTA, SUMUTPOS.CO – Setelah melalui pemabahasan delapan tahun, UU Jaminan Produk Halal (JPH) akhirnya disahkan DPR kemarin. Kewenangan sertifikasi halal yang selama ini dipegang oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI) bakal dipereteli. Kewenangan itu dilimpahkan ke badan khusus yang bertanggungjawab langsung ke Presiden.

Wakil Sekretaris Komisi Fatwa MUI Asrorun Naim menuturkan, selama ini labeliasasi atau sertifikasi halal ditangani MUI karena merasa negara tidak hadir. “MUI merasa ada panggilan keagamaan. Karena urusan halal ini adalah terminologi keagamaan,” katanya kemarin.

Dia menegaskan sertifikasi atau labelisasi halal tidak bisa dilaksanakan sepotong-sepotong. Menurut Asrorun, sertifikasi halal bukan hanya urusan scientific atau kenegaraan saja. Tetapi di dalamnya ada kandungan keagamaan. Nah untuk urusan keagamaan ini, sudah ada kesepakatan bersama dilimpahkan ke MUI selaku lembaga yang kompeten.

Asroroun menjelaskan, MUI yang selama ini menjadi ujung tombak sertifikasi halal bukan tanpa dasar. Dia menyebutkan kewenangan MUI itu di dasari surat keputusan bersama antara Kementerian Agama, Kementerian Kesehatan, Badan Pengawas Obat dan Makanan, serta MUI sendiri.

Kalaupun amanah UU JPH ini akan membentuk Badan Nasional Penjaminan Produk Halal (BNP2H), unsur MUI akan tetap dilibatkan. Pertimbangannya adalah, MUI selama ini telah berpengalaman untuk mengeluarkan sertifikasi halal.

Dalam draf hasil harmonisasi RUU JPH, BNP2H ini memiliki sejumlah fungsi. Diantaranya sertifikasi, registrasi, dan labelisasi produk halal, penerbitan dan pencabutan sertifikat halal pada produk, serta bekerjasama dengan lembaga luar negeri untuk urusan jaminan produk halal.

Asroroun enggan berkomentar banyak terkait potensi pencabutan kewenangan labelisasi halal yang selama ini ada di MUI. Dia lebih mengutamakan bahwa semangat penerbitan UU JPH ini untuk memberikan tanggung jawab negara terhadap konsumem. “Khususnya terkait dengan perlindungan masyarakat dalam konsumsi produk halal,” kata dia. Terkait tata cara atau mekanisme sertifikasi halal, nanti akan diperjelas dalam peraturan pemerintah turunan dari UU JPH itu.

Setelah BNP2H berdiri, urusan teknis pemeriksaan kehalalan produk bisa di berikan ke Lembaga Pemeriksa Halal (LPH). LPH ini boleh dibentuk oleh ormas-ormas keagamaan, dengan syarat memperoleh akreditasi dari BNP2H. Selain itu para auditor yang dipakai LPH, juga harus disertifikasi oleh BNP2H.

Wakil Ketua Komisi VIII RI Ledia Hanifa Amalia menjabarkan, diantara syarat untuk menjadi LPH adalah kewajibab berbadan hukum atau terdaftar secara resmi di Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (KemenkumHAM). Kedua, ormas diharuskan sekurang-kurangnya memiliki tiga orang auditor halal untuk menjamin proses auditor berjalan dengan benar.

“Dalam implementasinya, mereka harus mengacu pada sistem standarisasi yang digunakan oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI). Karena standar MUI ini telah digunakan selama 25 tahun dan terpercaya. Seperti yang kita ketahui, MUI selama ini berperan sebagai satu-satunya lembaga yang mengeluarkan sertifikat halal,” urainya saat ditemui disela-sela rapat paripurna DPR RI di Jakarta, kemarin.

Selain itu, UU JPH ini juga melegitimasi keberadaan Badan Nasional Penjamin Produk Halal (BNP2H). Badan ini nantinya akan bertugas dalam penyelenggaraan jaminan halal di Indonesia. Kondisi ini pun memunculkan dugaan adanya pemangkasan kuasa MUI dalam hal sertifikasi. Namun itu disangkalnya. Menurutnya, MUI tetap akan berperan besar dan bekerja sama dengan BNP2H dalam menangani sertifikasi ini.

Sertifikasi halal ini nantinya akan diwajibkan bagi semua kelompok usaha. Mulai dari usaha kecil hingga besar. Sertifikasi pun wajib dilakukan per produk yang dimiliki oleh perusahaan, terutama produk hewan dan daging. Kelompok usaha ini diberi tenggat waktu lima tahun untuk dapat memenuhi kewajiban mereka bersertifikasi halal. “Unuk usaha kecil dan mikro, kita harapkan dapat dibiayai oleh negara melalui APBN, APBD atau melalui kegiatan CSR (Corporate Social Responsibility) mengingat biaya yang harus dikeluarkan,” jelasnya.

Terpisah, Sekjen Kemenag Nursyam pun turut menampik adanya penyempitan kewenangan MUI. Ia menyebut, kewenangan MUI justru diperluas. Misalnya, MUI masih tetap dijadikan acuan untuk sertifikasi produk halal. Selain itu, BNP2H juga akan bekerjasama dengan MUI untuk sertifikasi produk, sertifikasi auditor, sertifikasi lembaga pemeriksa halal hingga diskusi untuk menentukan dan membahas hasil. “tidak, peran MUI tetap besar dalam hal sertifikasi ini,” ungkapnya. Nursyam berharap, BNP2H ini akan dapat berkembang di daerah. sehingga untuk masalah halal bisa dapat jaminan yang baik.

UU JPH ini sendiri masih akan diperjelas dengan 8 Peraturan Pemerintah (PP) dan dua Peraturan Menteri (Permen). Aturan tersebut diharuskan selesai dalam waktu dua tahun. Kemudian, untuk BNP2H wajib berdiri sekurang-kurangnya dalam waktu tiga tahun setelah pengesahan UU JPH. Selama belum ada BPJPH, maka fungsi ini masih dijalankan MUI. (wan/mia)

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/