Natanael, pelaku usaha industri perkayuan di Sumut, PT Samawood Utama, mengatakan, selama ini pihaknya mendukung sepenuhnya kehadiran Sistem Verifikasi Legalitas Kayu (SVLV), yang berakhir dengan keberhasilan Indonesia menjadi penerbit lisensi FLEGT pertama di dunia.
“Sertifikasi produk adalah bagian dari strategi martketing, dan lebih meningkatkan kepercayaan pelanggan. Selain itu, sistem sertifikasi mudah diterapkan,” katanya.
Ia mengaku, perusahaannya sudah mengimplementasikan sistem SVLV sejak beberapa tahun lalu, dan ternyata sangat diterima pasar.
Meski demikian, ia mengatakan, tren ekspor kayu ke Uni Eropa sebenarnya cenderung turun, sementara tren penjualan ke Amerika Serikat dan Australia mengalami tren naik. “Infonya, konon karena kayu dari Cina ke AS kena regulasi anti dumping,” cetusnya.
Untuk pasar Amerika Serikat, juga ada sertifikasi khusus semacam FLEGT, yang harus dipenuhi eksportir produk kayu, meski materinya cenderung lebih ke kandungan kimia kayu dibanding asal usul kayu.
Michael Bucki, Delegasi Komisi Eropa, yang ikut hadir mengatakan, peraturan perkayuan Uni Eropa memegang tiga prinsip. Pertama, melarang produk perkayuan serta semua produk yang terbuat dari kayu ilegal (termasuk mebel dan komponen mebel) masuk pasar Uni Eropa. Kedua, mengharuskan para pedagang Uni Eropa yang menempatkan produk-produk kayu di pasar Uni Eropa, untuk melakukan prosedur uji tuntas (due diligence). Ketiga, mengharuskan operator Uni Eropa mengarsipkan seluruh data pemasok dan pembeli mereka.
“Jika terdapat produk di dalam EUTR yang tidak terdapat dalam daftar VPA (Voluntary Partnership Agrrement), maka uji tuntas UETR akan diberlakukan,” tandasnya.
Jika terdapat kejanggalan pada lisensi tersebut maupun dokumen pengapalannya, maka Otoritas Kompeten FLEGT di negara pengimpor di UE akan menghubungi Licensing Information Unit (LIU) di Kementerian Lingkuhan Hidup dan Kehutanan. (mea)