29 C
Medan
Monday, June 17, 2024

PBB dan NJOP Direncanakan Dihapus

Menteri Agraria dan Tata Ruang (ATR)/Kepala BPN Ferry Mursyidan Baldan saat ini sedang menggodok dengan serius agar Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) dihapus.
Menteri Agraria dan Tata Ruang (ATR)/Kepala BPN Ferry Mursyidan Baldan saat ini sedang menggodok dengan serius agar Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) dihapus.

JAKARTA, SUMUTPOS.CO – Masyarakat yang selama ini kesulitan membayar pajak karena terlalu mahal nantinya bisa lebih ringan. Menteri Agraria dan Tata Ruang (ATR)/Kepala BPN Ferry Mursyidan Baldan saat ini sedang menggodok dengan serius agar Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) dihapus.

“Kami tidak ingin PBB menjadi alat usir alamiah bagi masyarakat,” tutur Ferry Mursyidan saat dihubungi di Jakarta, Sabtu (31/1). Menurut dia, dalam banyak kasus, PBB dinilai banyak membebani masyarakat. Terutama, bagi mereka yang berpenghasilan rendah, namun kebetulan tinggal di wilayah-wilayah strategis.

Salah satunya, dia mencontohkan, para pensiunan ataupun janda-janda yang masih tinggal di kawasan-kawasan dengan nilai pajak yang tinggi, harus pontang-panting memenuhi kewajiban membayar PBB. Padahal, dari sisi keuangan keluarga, pemasukan juga sudah terbatas. “Ini contoh saja, kasihan kan mereka. Kalau (PBB) masih diteruskan, sama saja kita ikut mengusir mereka,” imbuhnya.

Dasar lainnya, imbuh dia, berkaitan dengan aspek filosofis. Bahwa, Tuhan itu menciptakan tanah hanya sekali. Karena hal tersebut maka tidak selayaknya pajak atas bumi ditarik tiap tahun.

Ferry memandang, pajak terhadap bumi cukup dibayar sekali. Yaitu, saat masyarakat kali pertama membeli sebidang tanah. “Itu ‘kan karunia (Tuhan), nggak masuk akal kalau dipajakin tiap tahun,” tandasnya.

Logika yang sama juga diperuntukan bagi pajak bangunan. Ketika masyarakat sudah mengeluarkan biaya untuk izin mendirikan bangunan (IMB), tidak perlu lagi ada pajak yang harus ditarik setiap tahunnya.

“Sepanjang tanah dan bangunan itu untuk tempat tinggal, untuk hunian, tidak fair kalau harus dibebani pajak tiap tahun,” tegas Ferry lagi.

Wacana pembebasan membayar PBB itu otomatis tidak berlaku bagi tanah dan bangunan untuk tujuan komersial. Semisal, tanah dan bangunan untuk dikontrakkan, hotel, rumah makan, dan lain sebagainya.

Lalu, apakah itu nanti tidak berdampak mengurangi pendapatan dari sektor pajak? Padahal, di sisi lain, ini kan pemerintah secara umum sedang giat-giatnya menggenjot pendapatan dari sektor tersebut.

Atas hal tersebut, Ferry kemudian mengingatkan kalau substansi memungut pajak adalah untuk dikembalikan kepada rakyat guna meningkatkan kesejahteraan. “Iya, ini memang berisiko terhadap pemasukan pajak, tapi kalau dengan menghapus bisa menjamin kesejahteraan masyarakat juga, kenapa tidak,” ujarnya.

Bukan hanya PBB, bersamaan dengan itu, Ferry dan kementerian yang dipimpinnya juga berencana menghapus Nilai Jual Objek Pajak (NJOP). Selama ini, NJOP merupakan patokan harga tanah.

Menurut dia, NJOP juga relatif membebani dan merugikan masyarakat. Hal itu karena patokan nilainya tidak jelas. “Menurut saya, NJOP seharusnya tidak perlu lagi menjadi sebuah standard, ini juga agar ada keadilan bagi semua,” tambah menteri asal Partai Nasdem tersebut.

Meski demikian, dia menegaskan, kalau penghapusan PBB termasuk NJOP sementara masih dalam taraf wacana. Pihaknya akan melengkapi terlebih dulu dengan berbagai kajian terkait. Termasuk, kemungkinan atas potensi maupun risiko terhadap keuangan negara. “Kalau sudah clear dan sudah matang (kajiannya) baru kemudian akan kami ajukan, semoga diterima Pak Menkeu,” pungkasnya.

Sementara itu Ketua Umum Real Estate Indonesia (REI), Eddy Hussy menilai rencana yang dilontarkan Kepala Badan Pertanahan Nasional (BPN) masih sangat prematur. Menurutnya, kebijakan sepenting itu perlu dilakukan kajian yang mendalam dengan para pemangku kepentingan (stakeholder).”Kita juga baru dengar dari Kepala BPN, tapi belum diajak berdiskusi khusus mengenai hal itu,” ujarnya.

Pihaknya mengaku belum tahu persis yang dimaksud bebas oleh Kepala BPN itu. Namun berdasar pengakuan Kepala BPN, yang sudah agak jelas adalah pembebasan pungutan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB). “Katanya cuma satu kali dipungut, sesudah itu, tahun-tahun berikutnya tidak ada pungutan lagi. Tapi saya belum tanya detil ke beliau. Wacana penghapusan PBB itu memang ada,” lanjutnya.

Namun, kata Eddy, tidak semua bangunan bisa mendapatkan pembebasan pungutan PBB tersebut. Bangunan komersial, seperti perkantoran tetap wajib membayar PBB. Sementara bangunan hunian akan dibedakan menurut luas atau nilai tanah dan bangunannya.”PBB untuk komersial seperti perkantoran tetap akan ada, untuk rumah hanya khusus MBR (masyarakat berpenghasilan rendah) yang dibebaskan,” sebutnya.

Menurut Eddy, penghapusan PBB untuk MBR sangat wajar karena mereka perlu diberi keringanan membayar untuk meringankan beban hidup serta meningkatkan daya beli terhadap rumah. “Kalau memang PBB untuk MBR dihapus itu wajar. Mungkin nanti perlu ada batasan harga misal untuk rumah yang nilainya di bawah Rp 150 juta. Toh itu angkanya tidak besar, dan masuk ke Pemda,” katanya.

Sementara, mengenai pembebasan Biaya Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB), Eddy menilai masih belum ada kejelasanan. Bahkan Kepala BPN mengatakan kepada REI bahwa masih perlu adanya kajian dan koordinasi dengan berbagai pihak untuk mewujudkan hal itu.”Tapi kalau pembebasan BPHTB itu untuk MBR saya dukung. Tapi kalau untuk orang kaya juga ya perlu dipertimbangkan,” tambahnya.

Bagi orang kaya, kata Eddy, pengenaan BPHTB sebesar 5 persen tersebut terbilang biasa dan tidak terlalu berat. Apalagi untuk menghitung BPHTB itu ada faktor pengurang sekitar Rp 50-60 juta dari nilai transaksi yang disepakati penjual pembeli. “Saya nggak mau mengaitkan rencana penghapusan BPHTB itu dengan omzet penjualan rumah, karena yang saya dukung itu untuk MBR. Rumah MBR itu transaksinya kecil,” tukasnya.

Namun dia mengakui bahwa penghapusan BPHTB akan bisa menggairahkan penjualan properti untuk masyarakat bawah. Dengan begitu, akan berdampak positif terhadap upaya mengurangi backlog (kekurangan pasok) perumahan yang saat ini mencapai 15 juta unit. “Kebutuhan rumah itu 700-800 ribu pertahun, sementara pasokan hanya sekitar 400 ribu pertahun, jadi tiap tahun nambah,” ungkapnya.

Sementara itu terkait rencana penghapusan Nilai Jual Objek Pajak (NJOP), Eddy mengaku belum mendengar itu dari Kepala BPN. Menurut dia, keputusan itu perlu dipertimbangkan secara komprehensif. “Kalau dibilang NJOP tidak ada gunanya karena hanya dipakai notaris saat transaksi jual beli, itu saya no comment. Tapi kenyataan di lapangan harga riil memang beda sama NJOP,” jelasnya. (dyn/wir/end)

Menteri Agraria dan Tata Ruang (ATR)/Kepala BPN Ferry Mursyidan Baldan saat ini sedang menggodok dengan serius agar Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) dihapus.
Menteri Agraria dan Tata Ruang (ATR)/Kepala BPN Ferry Mursyidan Baldan saat ini sedang menggodok dengan serius agar Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) dihapus.

JAKARTA, SUMUTPOS.CO – Masyarakat yang selama ini kesulitan membayar pajak karena terlalu mahal nantinya bisa lebih ringan. Menteri Agraria dan Tata Ruang (ATR)/Kepala BPN Ferry Mursyidan Baldan saat ini sedang menggodok dengan serius agar Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) dihapus.

“Kami tidak ingin PBB menjadi alat usir alamiah bagi masyarakat,” tutur Ferry Mursyidan saat dihubungi di Jakarta, Sabtu (31/1). Menurut dia, dalam banyak kasus, PBB dinilai banyak membebani masyarakat. Terutama, bagi mereka yang berpenghasilan rendah, namun kebetulan tinggal di wilayah-wilayah strategis.

Salah satunya, dia mencontohkan, para pensiunan ataupun janda-janda yang masih tinggal di kawasan-kawasan dengan nilai pajak yang tinggi, harus pontang-panting memenuhi kewajiban membayar PBB. Padahal, dari sisi keuangan keluarga, pemasukan juga sudah terbatas. “Ini contoh saja, kasihan kan mereka. Kalau (PBB) masih diteruskan, sama saja kita ikut mengusir mereka,” imbuhnya.

Dasar lainnya, imbuh dia, berkaitan dengan aspek filosofis. Bahwa, Tuhan itu menciptakan tanah hanya sekali. Karena hal tersebut maka tidak selayaknya pajak atas bumi ditarik tiap tahun.

Ferry memandang, pajak terhadap bumi cukup dibayar sekali. Yaitu, saat masyarakat kali pertama membeli sebidang tanah. “Itu ‘kan karunia (Tuhan), nggak masuk akal kalau dipajakin tiap tahun,” tandasnya.

Logika yang sama juga diperuntukan bagi pajak bangunan. Ketika masyarakat sudah mengeluarkan biaya untuk izin mendirikan bangunan (IMB), tidak perlu lagi ada pajak yang harus ditarik setiap tahunnya.

“Sepanjang tanah dan bangunan itu untuk tempat tinggal, untuk hunian, tidak fair kalau harus dibebani pajak tiap tahun,” tegas Ferry lagi.

Wacana pembebasan membayar PBB itu otomatis tidak berlaku bagi tanah dan bangunan untuk tujuan komersial. Semisal, tanah dan bangunan untuk dikontrakkan, hotel, rumah makan, dan lain sebagainya.

Lalu, apakah itu nanti tidak berdampak mengurangi pendapatan dari sektor pajak? Padahal, di sisi lain, ini kan pemerintah secara umum sedang giat-giatnya menggenjot pendapatan dari sektor tersebut.

Atas hal tersebut, Ferry kemudian mengingatkan kalau substansi memungut pajak adalah untuk dikembalikan kepada rakyat guna meningkatkan kesejahteraan. “Iya, ini memang berisiko terhadap pemasukan pajak, tapi kalau dengan menghapus bisa menjamin kesejahteraan masyarakat juga, kenapa tidak,” ujarnya.

Bukan hanya PBB, bersamaan dengan itu, Ferry dan kementerian yang dipimpinnya juga berencana menghapus Nilai Jual Objek Pajak (NJOP). Selama ini, NJOP merupakan patokan harga tanah.

Menurut dia, NJOP juga relatif membebani dan merugikan masyarakat. Hal itu karena patokan nilainya tidak jelas. “Menurut saya, NJOP seharusnya tidak perlu lagi menjadi sebuah standard, ini juga agar ada keadilan bagi semua,” tambah menteri asal Partai Nasdem tersebut.

Meski demikian, dia menegaskan, kalau penghapusan PBB termasuk NJOP sementara masih dalam taraf wacana. Pihaknya akan melengkapi terlebih dulu dengan berbagai kajian terkait. Termasuk, kemungkinan atas potensi maupun risiko terhadap keuangan negara. “Kalau sudah clear dan sudah matang (kajiannya) baru kemudian akan kami ajukan, semoga diterima Pak Menkeu,” pungkasnya.

Sementara itu Ketua Umum Real Estate Indonesia (REI), Eddy Hussy menilai rencana yang dilontarkan Kepala Badan Pertanahan Nasional (BPN) masih sangat prematur. Menurutnya, kebijakan sepenting itu perlu dilakukan kajian yang mendalam dengan para pemangku kepentingan (stakeholder).”Kita juga baru dengar dari Kepala BPN, tapi belum diajak berdiskusi khusus mengenai hal itu,” ujarnya.

Pihaknya mengaku belum tahu persis yang dimaksud bebas oleh Kepala BPN itu. Namun berdasar pengakuan Kepala BPN, yang sudah agak jelas adalah pembebasan pungutan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB). “Katanya cuma satu kali dipungut, sesudah itu, tahun-tahun berikutnya tidak ada pungutan lagi. Tapi saya belum tanya detil ke beliau. Wacana penghapusan PBB itu memang ada,” lanjutnya.

Namun, kata Eddy, tidak semua bangunan bisa mendapatkan pembebasan pungutan PBB tersebut. Bangunan komersial, seperti perkantoran tetap wajib membayar PBB. Sementara bangunan hunian akan dibedakan menurut luas atau nilai tanah dan bangunannya.”PBB untuk komersial seperti perkantoran tetap akan ada, untuk rumah hanya khusus MBR (masyarakat berpenghasilan rendah) yang dibebaskan,” sebutnya.

Menurut Eddy, penghapusan PBB untuk MBR sangat wajar karena mereka perlu diberi keringanan membayar untuk meringankan beban hidup serta meningkatkan daya beli terhadap rumah. “Kalau memang PBB untuk MBR dihapus itu wajar. Mungkin nanti perlu ada batasan harga misal untuk rumah yang nilainya di bawah Rp 150 juta. Toh itu angkanya tidak besar, dan masuk ke Pemda,” katanya.

Sementara, mengenai pembebasan Biaya Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB), Eddy menilai masih belum ada kejelasanan. Bahkan Kepala BPN mengatakan kepada REI bahwa masih perlu adanya kajian dan koordinasi dengan berbagai pihak untuk mewujudkan hal itu.”Tapi kalau pembebasan BPHTB itu untuk MBR saya dukung. Tapi kalau untuk orang kaya juga ya perlu dipertimbangkan,” tambahnya.

Bagi orang kaya, kata Eddy, pengenaan BPHTB sebesar 5 persen tersebut terbilang biasa dan tidak terlalu berat. Apalagi untuk menghitung BPHTB itu ada faktor pengurang sekitar Rp 50-60 juta dari nilai transaksi yang disepakati penjual pembeli. “Saya nggak mau mengaitkan rencana penghapusan BPHTB itu dengan omzet penjualan rumah, karena yang saya dukung itu untuk MBR. Rumah MBR itu transaksinya kecil,” tukasnya.

Namun dia mengakui bahwa penghapusan BPHTB akan bisa menggairahkan penjualan properti untuk masyarakat bawah. Dengan begitu, akan berdampak positif terhadap upaya mengurangi backlog (kekurangan pasok) perumahan yang saat ini mencapai 15 juta unit. “Kebutuhan rumah itu 700-800 ribu pertahun, sementara pasokan hanya sekitar 400 ribu pertahun, jadi tiap tahun nambah,” ungkapnya.

Sementara itu terkait rencana penghapusan Nilai Jual Objek Pajak (NJOP), Eddy mengaku belum mendengar itu dari Kepala BPN. Menurut dia, keputusan itu perlu dipertimbangkan secara komprehensif. “Kalau dibilang NJOP tidak ada gunanya karena hanya dipakai notaris saat transaksi jual beli, itu saya no comment. Tapi kenyataan di lapangan harga riil memang beda sama NJOP,” jelasnya. (dyn/wir/end)

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/