28 C
Medan
Monday, October 21, 2024
spot_img

Sering Jawab Tak Tahu, Hakim Tuding PR II USU Berbohong

Namun, penasihat hukum terdakwa memiliki bukti surat tertanggal 16 Agustus 2010 yang ditujukannya kepada Unit Layanan Pengadaan (ULP) USU agar melaksanakan kegiatan, di antaranya pengadaan peralatan farmasi sebesar Rp15 miliar dan peralatan etnomusikologi Rp15 miliar.

Saat bukti surat itu ditunjukkan kepadanya dihadapan majelis hakim diketuai Dwi Dayanto, Armansyah membenarkan tandatangan yang tertera di surat itu adalah tandatangannya. Namun dia mengaku tidak ingat.

“Saya akui itu tandatangan Saya, tapi saya tidak ingat,” ujarnya.

Dari pengamatan di ruang sidang, selama Armansyah memberikan keterangan, Abdul Hadi sering tertangkap sedang tertawa, tersenyum dan berbisik-bisik dengan penasihat hukumnya.

Saat Ketua Majelis Hakim menanyakan pendapatnya terkait keterangan Armansyah, dia pun menyanggah beberapa keterangan salah satu pimpinannya itu. Abdul Hadi mengatakan, sebagai seorang bawahan PR II, dirinya tidak mungkin meminta tolong agar PR II menandatangani surat.

“PR II itu pimpinan saya di USU, jadi tidak mungkin saya minta tolong,” terangnya. Dia juga menyanggah disebutkan bersama Suranto menemui Armansyah Ginting pada 16 Agustus 2010. Dirinya menegaskan dirinya tidak pernah menemui Armansyah Ginting pada tanggal tersebut.

“Saya menolak keterangan itu. Mungkin PR II silap, atau Suranto membawa-bawa nama saya,” tegasnya.

Sebelum mendengarkan keterangan Armansyah, terlebih dahulu mantan Rektor USU Prof Syahril Pasaribu selaku Kuasa Pengguna Anggaran (KPA) menggantikan Prof Chairuddin P Lubis yang menjadi saksi. Dalam keterangannya juga mengaku tidak tahu banyak soal pengadaan peralatan farmasi dan etnomusikologi tersebut.

“Saya tidak pernah menerima laporan pelaksanaan pengadaan itu dari PPK. Saya pun tidak pernah menanyakan soal pengadaan itu ke dekan sastra dan dekan farmasi. Kalau mereka tidak melapor, saya rasa semua baik-baik saja,” katanya. Ketika dikatakan jaksa dirinya tidak mau tahu, Syahril membantahnya. “Saya bukan tidak mau tahu, tapi saya tidak tahu aturannya,” ujarnya.

Syahril yang baru mengakhiri jabatannya sebagai Rektor USU pada 31 Maret 2015 lalu itu, mengaku baru mengetahui ada masalah dalam proyek pengadaan tersebut setelah menerima laporan BPK. “Setelah menerima laporan BPK, Saya langsung membuat surat teguran kepada PPK, dekan farmasi dan dekan sastra,” ungkapnya.

Menurutnya, laporan BPK itu menyebutkan adanya mark-up harga dalam pengadaan peralatan tersebut. “Dalam laporan BPK itu tidak disebutkan adanya kerugian negara,” terangnya.

Namun, penasihat hukum terdakwa memiliki bukti surat tertanggal 16 Agustus 2010 yang ditujukannya kepada Unit Layanan Pengadaan (ULP) USU agar melaksanakan kegiatan, di antaranya pengadaan peralatan farmasi sebesar Rp15 miliar dan peralatan etnomusikologi Rp15 miliar.

Saat bukti surat itu ditunjukkan kepadanya dihadapan majelis hakim diketuai Dwi Dayanto, Armansyah membenarkan tandatangan yang tertera di surat itu adalah tandatangannya. Namun dia mengaku tidak ingat.

“Saya akui itu tandatangan Saya, tapi saya tidak ingat,” ujarnya.

Dari pengamatan di ruang sidang, selama Armansyah memberikan keterangan, Abdul Hadi sering tertangkap sedang tertawa, tersenyum dan berbisik-bisik dengan penasihat hukumnya.

Saat Ketua Majelis Hakim menanyakan pendapatnya terkait keterangan Armansyah, dia pun menyanggah beberapa keterangan salah satu pimpinannya itu. Abdul Hadi mengatakan, sebagai seorang bawahan PR II, dirinya tidak mungkin meminta tolong agar PR II menandatangani surat.

“PR II itu pimpinan saya di USU, jadi tidak mungkin saya minta tolong,” terangnya. Dia juga menyanggah disebutkan bersama Suranto menemui Armansyah Ginting pada 16 Agustus 2010. Dirinya menegaskan dirinya tidak pernah menemui Armansyah Ginting pada tanggal tersebut.

“Saya menolak keterangan itu. Mungkin PR II silap, atau Suranto membawa-bawa nama saya,” tegasnya.

Sebelum mendengarkan keterangan Armansyah, terlebih dahulu mantan Rektor USU Prof Syahril Pasaribu selaku Kuasa Pengguna Anggaran (KPA) menggantikan Prof Chairuddin P Lubis yang menjadi saksi. Dalam keterangannya juga mengaku tidak tahu banyak soal pengadaan peralatan farmasi dan etnomusikologi tersebut.

“Saya tidak pernah menerima laporan pelaksanaan pengadaan itu dari PPK. Saya pun tidak pernah menanyakan soal pengadaan itu ke dekan sastra dan dekan farmasi. Kalau mereka tidak melapor, saya rasa semua baik-baik saja,” katanya. Ketika dikatakan jaksa dirinya tidak mau tahu, Syahril membantahnya. “Saya bukan tidak mau tahu, tapi saya tidak tahu aturannya,” ujarnya.

Syahril yang baru mengakhiri jabatannya sebagai Rektor USU pada 31 Maret 2015 lalu itu, mengaku baru mengetahui ada masalah dalam proyek pengadaan tersebut setelah menerima laporan BPK. “Setelah menerima laporan BPK, Saya langsung membuat surat teguran kepada PPK, dekan farmasi dan dekan sastra,” ungkapnya.

Menurutnya, laporan BPK itu menyebutkan adanya mark-up harga dalam pengadaan peralatan tersebut. “Dalam laporan BPK itu tidak disebutkan adanya kerugian negara,” terangnya.

Artikel Terkait

spot_imgspot_imgspot_img

Terpopuler

Artikel Terbaru

/