25.6 C
Medan
Thursday, May 16, 2024

Warga Tak Lagi Melawan, Tapi Merepet dari Jauh

Foto: DANIL SIREGAR/SUMUT POS Seorang Veteran Pembela TNI, Lawolo (72) mengevakuasi barang-barangnya dari dalam rumah sebelum ditertibkan petugas, di kawasan pinggiran jalur rel kereta api, Jalan Asrama Medan, Kamis (3/9). Pemerintah berencana membangun parit di sepanjang pinggiran jalur rel kereta api untuk antisipasi banjir.
Foto: DANIL SIREGAR/SUMUT POS
Seorang Veteran Pembela TNI, Lawolo (72) mengevakuasi barang-barangnya dari dalam rumah sebelum ditertibkan petugas, di kawasan pinggiran jalur rel kereta api, Jalan Asrama Medan, Kamis (3/9). Pemerintah berencana membangun parit di sepanjang pinggiran jalur rel kereta api untuk antisipasi banjir.

MEDAN, SUMUTPOS.CO – Penggusuran pemukiman warga di kawasan pinggir rel kereta api Jalan Asrama, Medan Helvetia, masih terus dilakukan petugas gabungan PT Kereta Api Indonesia (PT KAI) Divre Sumut dengan dibantu Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) Medan dan Kodam I Bukit Barisan, Kamis (3/9). Penggusuran kali ini lebih lancar dibanding sehari sebelumnya yang mendapat penolakan dari warga.

Namun penggusuran di hari kedua yang dilakukan petugas dinilai warga pilih kasih. Pasalnya, sejumlah bangunan ruko yang juga berdiri di atas parit tak ikut dirubuhkan. Warga pun sempat kesal dan kecewa dengan meluapkan emosinya dari kejauhan ke arah petugas yang menghancurkan bangunan menggunakan satu unit alat berat yakni buldoser.

“Enggak adil seperti ini, harusnya melihat fakta di lapangan sebenarnya seperti apa. Uang aja pikiran mereka dan mengolah saja,” celetuk seorang pria yang keberatan rumahnya dibongkar.

Menurut warga lainnya bermarga Sihite, petugas juga harus melakukan pembongkaran terhadap ruko tiga lantai yang terletak di pinggir Jalan Asrama No. 185. Sebab, ruko itu yang menjadi penyebab terjadinya banjir. “Ruko juga harus dibongkar, karena gara-gara itu jadi banjir. Kami ada izinnya, apakah ruko itu ada, itu juga harus dipertanyakan. Kalau tidak dibongkar itu namanya pilih kasih. Jadi, jangan sampai nanti warga yang bongkar,” cetusnya.

Tak jauh beda dengan Sihite, dikatakan seorang wanita mengaku bernama belakang Purba. Janda beranak tiga ini hanya bisa meratapi bangunan rumahnya yang dirubuhkan menggunakan buldoser oleh petugas PT KAI. Rumah Boru Purba berada persis diseberang pos penjaga rel kereta api tersebut.”Kenapa ruko itu enggak dibongkar, ada apa ini,” ucap wanita yang mengenakan kemeja hijau dan celana ponggol merah.

Dikatakan Boru Purba, jika memang bangunan rumah warga menyalahi aturan, kenapa tidak dari dulu dibongkar malah sekarang. Dan, kenapa juga mereka tak menjelaskan kepada warga. “Sebenarnya batas lahannya seberapa meter dari rel kereta api. Seharusnya ada penjelasan juga, tetapi ini tidak. Tiba-tiba surat pemberitahuan dikirim malam sebelum dibongkar, dan keesokannya dirubuhkan, ada apa ini sebenarnya,” sebutnya.

Menurutnya, sebagian besar warga yang tinggal di pemukiman pinggir rel kereta api ini sudah puluhan tahun. Tetapi kenapa, PT KAI sedikitpun tidak berniat atau memiliki hati nurani untuk meringankan beban rakyat kecil dengan memberikan kompensasi atau ganti rugi. “Saya sudah 30 tahun tinggal disini, sekarang saja umur saya sudah 42 tahun coba bayangkan. Seharusnya, ada kompensasi dari PT KAI karena di jakarta saja ada kenapa Medan tidak ada. Jadi, yang kami sesalkan tidak ada ganti ruginya, kelewat kali memang. Pikirkan juga nasib warga yang sudah keluar biaya untuk membangun rumah,” tutur Boru Purba
Ia mengaku, akibat rumahnya dirubuhkan, dirinya dan sejumlah warga terpaksa harus begadang menjaga barang-barang yang belum dipindahkan dikarenakan tidak memiliki tempat tinggal lain.”Sampai bedagang kami menjaga barang-barang kami, coba pikirkan itu. Aku tak tahu lagi mau tinggal dimana, uang tak punya untuk sewa rumah. Makanya kami sampai bangun tenda untuk jaga barang,” akunya.

Diutarakannya, rata-rata penduduk yang tinggal di kawasan pinggiran rel hanya bekerja sebagai pemulung. Penghasilan warga hanya cukup untuk makan dan uang sekolah anak saja. “Tega mereka melihat kami susah, dan dibilang kami penduduk liar. Padahal, kami sudah terdata bukan ilegal. Geram aku melihatnya, campur kecewa juga. Mau berbuat apa tidak kekuatan,” ucapnya.

Ia berharap pihak PT KAI mau memikirkan juga nasib warga. Jangan dijadikan alasan pembongkaran untuk kepentingan umum guna mengatasi banjir.

“Belum tahu lah pindah kemana, uang tak ada, saudara jauh semua. Bingunglah entah kemana lagi. Mungkin senang mereka melihat kami jadi gembel,” cetus Boru Purba.

Foto: DANIL SIREGAR/SUMUT POS Seorang Veteran Pembela TNI, Lawolo (72) mengevakuasi barang-barangnya dari dalam rumah sebelum ditertibkan petugas, di kawasan pinggiran jalur rel kereta api, Jalan Asrama Medan, Kamis (3/9). Pemerintah berencana membangun parit di sepanjang pinggiran jalur rel kereta api untuk antisipasi banjir.
Foto: DANIL SIREGAR/SUMUT POS
Seorang Veteran Pembela TNI, Lawolo (72) mengevakuasi barang-barangnya dari dalam rumah sebelum ditertibkan petugas, di kawasan pinggiran jalur rel kereta api, Jalan Asrama Medan, Kamis (3/9). Pemerintah berencana membangun parit di sepanjang pinggiran jalur rel kereta api untuk antisipasi banjir.

MEDAN, SUMUTPOS.CO – Penggusuran pemukiman warga di kawasan pinggir rel kereta api Jalan Asrama, Medan Helvetia, masih terus dilakukan petugas gabungan PT Kereta Api Indonesia (PT KAI) Divre Sumut dengan dibantu Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) Medan dan Kodam I Bukit Barisan, Kamis (3/9). Penggusuran kali ini lebih lancar dibanding sehari sebelumnya yang mendapat penolakan dari warga.

Namun penggusuran di hari kedua yang dilakukan petugas dinilai warga pilih kasih. Pasalnya, sejumlah bangunan ruko yang juga berdiri di atas parit tak ikut dirubuhkan. Warga pun sempat kesal dan kecewa dengan meluapkan emosinya dari kejauhan ke arah petugas yang menghancurkan bangunan menggunakan satu unit alat berat yakni buldoser.

“Enggak adil seperti ini, harusnya melihat fakta di lapangan sebenarnya seperti apa. Uang aja pikiran mereka dan mengolah saja,” celetuk seorang pria yang keberatan rumahnya dibongkar.

Menurut warga lainnya bermarga Sihite, petugas juga harus melakukan pembongkaran terhadap ruko tiga lantai yang terletak di pinggir Jalan Asrama No. 185. Sebab, ruko itu yang menjadi penyebab terjadinya banjir. “Ruko juga harus dibongkar, karena gara-gara itu jadi banjir. Kami ada izinnya, apakah ruko itu ada, itu juga harus dipertanyakan. Kalau tidak dibongkar itu namanya pilih kasih. Jadi, jangan sampai nanti warga yang bongkar,” cetusnya.

Tak jauh beda dengan Sihite, dikatakan seorang wanita mengaku bernama belakang Purba. Janda beranak tiga ini hanya bisa meratapi bangunan rumahnya yang dirubuhkan menggunakan buldoser oleh petugas PT KAI. Rumah Boru Purba berada persis diseberang pos penjaga rel kereta api tersebut.”Kenapa ruko itu enggak dibongkar, ada apa ini,” ucap wanita yang mengenakan kemeja hijau dan celana ponggol merah.

Dikatakan Boru Purba, jika memang bangunan rumah warga menyalahi aturan, kenapa tidak dari dulu dibongkar malah sekarang. Dan, kenapa juga mereka tak menjelaskan kepada warga. “Sebenarnya batas lahannya seberapa meter dari rel kereta api. Seharusnya ada penjelasan juga, tetapi ini tidak. Tiba-tiba surat pemberitahuan dikirim malam sebelum dibongkar, dan keesokannya dirubuhkan, ada apa ini sebenarnya,” sebutnya.

Menurutnya, sebagian besar warga yang tinggal di pemukiman pinggir rel kereta api ini sudah puluhan tahun. Tetapi kenapa, PT KAI sedikitpun tidak berniat atau memiliki hati nurani untuk meringankan beban rakyat kecil dengan memberikan kompensasi atau ganti rugi. “Saya sudah 30 tahun tinggal disini, sekarang saja umur saya sudah 42 tahun coba bayangkan. Seharusnya, ada kompensasi dari PT KAI karena di jakarta saja ada kenapa Medan tidak ada. Jadi, yang kami sesalkan tidak ada ganti ruginya, kelewat kali memang. Pikirkan juga nasib warga yang sudah keluar biaya untuk membangun rumah,” tutur Boru Purba
Ia mengaku, akibat rumahnya dirubuhkan, dirinya dan sejumlah warga terpaksa harus begadang menjaga barang-barang yang belum dipindahkan dikarenakan tidak memiliki tempat tinggal lain.”Sampai bedagang kami menjaga barang-barang kami, coba pikirkan itu. Aku tak tahu lagi mau tinggal dimana, uang tak punya untuk sewa rumah. Makanya kami sampai bangun tenda untuk jaga barang,” akunya.

Diutarakannya, rata-rata penduduk yang tinggal di kawasan pinggiran rel hanya bekerja sebagai pemulung. Penghasilan warga hanya cukup untuk makan dan uang sekolah anak saja. “Tega mereka melihat kami susah, dan dibilang kami penduduk liar. Padahal, kami sudah terdata bukan ilegal. Geram aku melihatnya, campur kecewa juga. Mau berbuat apa tidak kekuatan,” ucapnya.

Ia berharap pihak PT KAI mau memikirkan juga nasib warga. Jangan dijadikan alasan pembongkaran untuk kepentingan umum guna mengatasi banjir.

“Belum tahu lah pindah kemana, uang tak ada, saudara jauh semua. Bingunglah entah kemana lagi. Mungkin senang mereka melihat kami jadi gembel,” cetus Boru Purba.

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/