SUMUTPOS.CO – Tim Khusus bentukan Kapolri menggelar uji balistik di rumah dinas Irjen Sambo, kemarin. Dalam uji balistik tersebut, Tim Khusus melakukan pendalaman terkait sudut tembakan, jarak tembakan dan sebaran pengenaan tembakan dalam kasus penembakan Brigadir Yosua.
Sedangkan, terkait oorgan tubuh Brigadir Yosua berupa otak yang berpindah disebut lazim dalam sebuah otopsi. Hal itu dikarenakan karakter otak yang mudah membusuk.
Tim Khusus tiba di rumah dinas Irjen Sambo sekitar pukul 10.00, tampak juga adanya Kavidhumas Polri Irjen Dedi Prasetyo. Tim tersebut terdiri dari Puslabfor, Inafis dan Kedokteran Forensik, Kabareskrim Komjen Agus Andrianton
juga tampak tiba di tempat kejadian perkara (TKP) sekitar pukul 11.00. Namun, media hanya diperbolehkan berada di dekat pos keamanan yang jaraknya sekitar enam meter hingga sepuluh meter dari TKP.
Hingga pukul 16.15 barulah uji balistik tersebut selesai. Beberapa orang dari Puslabfor tampak keluar dari rumah tersebut. Kadivhumas Polri Irjen Dedi Prasetyo juga akhirnya keluar dari rumah dinas Irjen Sambo. Dia menuturkan, uji balistik kali pertama ini dilakukan untuk mengetahui beberapa hal. Yakni, sudut tembakan, jarak tembakan, dan sebaran pengenaan peluru. “Uji balistik langsung di TKP ini,” ujarnya.
Salah satu yang didalami dalam uji balistik tersebut adalah sebaran pengenaan peluru. Namun, saat ditanya Jawa Pos bagaimana sebarannya, sudut peluru dan proyektil yang ditemukan, Dedi menjawab belum bisa disebutkan. “Ini baru pertama kali uji balistik. Nanti akan diumumkan secara komprehensif. Sabar ya,” jelasnya.
Terdapat dua senjata yang digunakan dalam penembakan di rumah dinas tersebut, yakni Glock 17 dan HS 16. Diketahui saat penembakan tersebut, Bharada E menggunakan senjata Glock 17 dan Brigadir Yosua disebut membawa senjata HS 16. “Nanti, Dirtipidum akan melakukan langkah-langkah selanjutnya setelah uji balistik,” paparnya.
Saat ditanya terkait banyaknya temuan yang berbeda dengan pernyataan Polri di awal kasus, bahwa terdapat baku tembak, pelecehan seksual dan upaya membela diri, Dedi menuturkan bahwa kesimpulan akhirnya nanti akan disampaikan tim khusus. “Timsus nanti itu ya, terima kasih,” jelasnya lalu menjauh dari media.
Sementara terkait Kuasa Hukum Brigadir Yosua Kamaruddin Simanjuntak yang menyebut soal perpindahan otak ke bagian dada dan hilangnya pankreas, Dokter Spesialis Forensik dan Medicolegal Dedi Suhendar menuturkan bahwa untuk perpindahan otak dari kepala ke bagian dada Brigadir Yosua, sebaiknya menunggu dari tim forensik. “Tapi, biasanya pemindahan organ itu untuk mencegah kebocoran,” jelasnya.
Untuk tidak ditemukannya organ berupa pankreas, lanjutnya, dalam otopsi biasanya organ diteliti lebih lanjut ke laboratorium. Namun, yang paling penting treatment-treatment tersebut seharusnya tidak boleh mengubah hasil dari analisa kedokteran forensik. “Organ diperiksa di laboratorium itu juga seharusnya untuk kepentingan memeriksa peristiwa yang terkait dengan jasad tersebut,” terangnya.
Dokter Ahli Forensik sekaligus Dekan FKIK Ukrida Jakarta Anton Castilani memberikan pernyataan yang sedikit berbeda. Menurutnya, perlu diketahui otak merupakan organ tubuh yang paling mudah membusuk. Karena itu dalam sebuah otopsi lazim bila otak itu ditaruh diperut. “Karena saat membusuk nanti cairannya bisa bocor melewati hidung, mata dan telinga. Itu tidak elok saat jenasah dilihat keluarga,” jelasnya.
Selanjutnya, untuk pankreas yang tidak ditemukan. Dia mengatakan bahwa karakter dan bentuk dari pankreas itu memang menyulitkan untuk ditemukan. “Pankreas letaknya terbungkus dintara lipatan usus 12 jari. Ukuran pankreas juga kecil,” ujarnya.
Belum lagi, terkadang pankreas tertutup oleh lemak tubuh. Dia mengatakan, untuk dokter bedah dan dokter yang belajar anatomi memang susah menemukan pankreas. “Memang tidak selalu terlihat,” jelasnya.
Namun begitu, bila organ tersebut diambil untuk kepentingan laboratorium. Biasanya, hanya sebagian atau tidak seluruh organ. “Sample saja, diambil sedikit untuk tes mikroskopis misalnya,” tutur purnawirawan Polri tersebut.
Dia juga mengatakan bahwa sebaiknya dalam kasus tersebut tidak lagi ada kebohongan-kebohongan. “Saya berkomentar ini juga agar ada tekanan, gak boleh ada kebohongan lagi,” ujar ahli forensik yang menangani berbagai kasus terorisme, seperti Bom JW Marriot tersebut.
Sementara itu, Komnas HAM menegaskan konstrim waktu kejadian tewasnya Brigadir Yosua semakin padat. Itu seiring banyaknya dokumen serta keterangan yang diperoleh sampai saat ini. Hanya, semua itu belum bisa menyimpulkan apakah kematian Yosua masuk kategori dugaan pelanggaran HAM, khususnya penyiksaan.
“Konstrim waktu semakin lama semakin padat, tinggal menguji beberapa keterangan (yang diperoleh, Red) itu,” kata Komisioner Komnas HAM M. Choirul Anam dalam konferensi pers, kemarin. Selain menguji keterangan, Komnas HAM juga akan mengecek validitas dokumen yang didapatkan selama hampir tiga pekan tersebut.
Anam menambahkan, pihaknya kemarin melanjutkan pemeriksaan terhadap sejumlah orang dekat Sambo. Yakni mulai dari ajudan atau aide de camp (adc) dan asisten rumah tangga (ART) keluarga Ferdy Sambo. Pemeriksaan itu dimulai sejak pukul 10.00 hingga 17.00. “Kami mendalami hubungan adc dengan adc, adc dengan Pak Sambo dan Bu Putri,” ungkapnya.
Sejatinya Komnas HAM juga mengagendakan pemeriksaan terhadap petugas tes PCR di rumah Sambo di Jalan Saguling, Duren Tiga. Hanya, yang bersangkutan belum bisa hadir. “Tapi kami mendapatkan hasil tes PCR, meski petugas kesehatan itu belum bisa hadir,” lanjut Anam. Pemeriksaan itu rencananya dijadwalkan kembali dalam waktu dekat.
Sejauh ini, Komnas HAM sudah memeriksa semua ajudan Sambo. Rencananya, Rabu (3/8) besok Komnas HAM mengagendakan pemeriksaan terkait balistik. Pemeriksaan tersebut untuk mengetahui senjata dan peluru yang digunakan saat kejadian penembakan di rumah dinas Sambo pada Jumat (8/7) lalu tersebut. “Jadi kami perlu tahu senjatanya apa, pelurunya apa,” terang Anam. (idr/tyo/jpg)