SUMUTPOS.CO – Kepanikan di kalangan pengambil keputusan di lingkup USU selama pengusutan kasus dugaan korupsi anggaran Dikti semakin nyata. Dekan Fakultas Ilmu Budaya (FIB) USU, Syahron Lubis dan mantan Dekan FIB, Wan Syaifuddin, malah saling tuding soal proposal proyek. Hubungan dua pengajar senior di fakultas yang dulunya bernama Fakultas Sastra itu kian panas.
Situasi ini terlihat ketika Sumut Pos berusaha meminta pernyataan Syahron Lubis. Sang Dekan berang ketika diminta konfirmasi soal surat pengantar permohonan proposal atas tanda tangannya yang akhirnya diproses pihak rektorat USU. Disinyalir, tekenan sang dekan di proposal itu membuka jalan pengadaan barang-barang di Departemen Etnomusikologi, yang akhirnya mendapat persetujuan Direktorat Pendidikan Tinggi (Dikti) pada 2010 lalu.
Tak pelak kondisi itu menjadi sumber kekacauan di mana saat ini Kejaksaan Agung (Kejagung) mencium aroma korupsi di fakultas yang dulu bernama fakultas sastra tersebut. Pengadaan barang yang dimohonkan ternyata selain tak sesuai spesifikasi, juga terdapat penggelembungan harga alias mark up.
Dari awal sejak bergulirnya kasus dugaan korupsi di Departemen Etnomusikologi USU, Syahron memang kerap menolak memberi keterangan pada kru koran ini. Bahkan setelah Wan Syaifuddin angkat bicara di media dan pemeriksaan oleh Kejagung beberapa waktu lalu, Syahron terkesan menutup rapat mulutnya.
Pernyataan Wan Syaifuddin di media ini tampaknya makin meruncingkan masalah di antara mereka. Nah kemarin, setelah perjuangan keras menemui yang bersangkutan – yang akhirnya bisa berbincang melalui telepon meski hanya terpisah tembok di kantor dekan FIB – Syahron memberikan pernyataan yang ‘menyerang’ Wan Syaifuddin. “Suka hati dia (Wan Syaifuddin) mau ngomong apa. Saya enggak tahu menahu soal itu,” ketusnya.
Menurut Syahron tidak ada juga gunanya bertemu dengan Sumut Pos untuk menjelaskan persoalan ini. Sebab ia mengaku tidak mengetahui permasalahan yang tengah menjadi sorotan masyarakat Sumut tersebut. “Gak ada gunanya juga Anda ketemu saya. Soalnya saya tidak bisa jelaskan apapun karena saya juga gak tahu permasalahannya,” kilah Syahron.
“Terserah saja dia mau bilang apa, nantinya kan dia juga yang menanggung atas apa yang ia katakan,” sambung Syahron melalui selulernya. Ia pun berulang-ulang berkata tidak tahu dan enggan menerima pertanyaan.
Dikonfirmasi terpisah, Wan Syaifuddin justru menanggapi dingin sikap sang dekan itu. Menurutnya sebagai akademisi sikap kejujuran harus dikedepankan. “Apalagi kita sebagai orang Indonesia dan berlatar belakang orang budaya, haruslah berkata jujur dan apa adanya,” sindir Wan, tadi malam.
Menurut Wan Syaifuddin, sikap ketidaktahuan Syahron mengisyaratkan bahwa sebenarnya ia mengetahui apa yang terjadi, namun sengaja menutupi persoalan. “Jangan kemarin katanya tidak pernah diperiksa, padahal besoknya mengaku sudah pernah diperiksa. Inikan aneh saya pikir. Ya terbuka sajalah. Sampaikan apa yang sebenarnya terjadi,” ungkapnya.
Apalagi menurut Wan, sebagai dekan, tidak mungkin yang bersangkutan tidak mengetahui barang sedikit pun persoalan di fakultasnya. “Selama inikan saya sudah cukup terbuka kepada media. Kepada penegak hukum juga begitu. Semua saya sampaikan apa yang saya ketahui dan dokumen apa yang saya miliki. Namun yang saya gak habis pikir, kenapa jawaban dia selalu bilang tidak tahu. Inikan aneh,” tegasnya.
Sehari sebelumnya, kepada Sumut Pos Wan Syaifuddin mengaku beberapa waktu lalu diperiksa Kejagung selama 2 jam. Fokus materi yang diarahkan kepadanya sebatas mengklarifikasi bukti-bukti proposal dan riwayat dirinya kala menjabat posisi tersebut.
Wan menceritakan, pertama sekali yang ditanyakan penyidik adalah riwayat hidup dan data-data tentang dirinya. Setelah itu ia ditunjukkan barang-barang bukti berupa proposal permohonan pengadaan barang di fakultas yang pernah ia pimpin. “Proposal yang pertama kali ditunjukkan mereka adalah benar tanda tangan saya. Karena saat pengajuan pertama itu masih di zaman saya. Namun uangnya sudah dikembalikan tatkala dana tersebut keluar,” aku Wan Syaifuddin kepada Sumut Pos, Senin (1/9), seraya menyebut uang yang yang diterima itu senilai Rp5 miliar.
Dia melanjutkan, lalu Kejagung menunjukkan proposal barang yang mau dilelang berdasarkan hitungan perkiraan sementara (HPS) sebesar Rp15 miliar. Di tahapan ini disebutkannya, bahwa ia tidak mengetahui proposal itu lantaran yang menandatangani adalah pejabat setelah dia, yakni dekan Fakultas Ilmu Budaya saat ini, Syahron Lubis. “Saya katakan tidak tahu karena itu bukan merupakan tanda tangan saya,” ujarnya.
Dia mengaku bahwa diperiksa mulai pukul 10.00-12.00 WIB, sebelum rehat pada jam istirahat. Di mana dilanjutkan setengah jam kemudian untuk mengomentari soal proposal pengajuan sebesar Rp15 miliar tersebut.
Tak hanya dirinya, Wan juga mengaku pada setengah jam pertama pemeriksaan duduk bersama Sutrisno, juru bayar di USU. Materi yang mereka terima dari penyidik pun sama yakni perihal riwayat hidup keduanya. Setelah itu mereka dipisahkan, di mana saat itu Sutrisno didampingi oleh penyidik lain. Sementara Wan, di dalam ruangan Kejagung itu, diperiksa dua orang penyidik.
Di sisi lain, Humas USU Bisru Hafi mengatakan tidak mengetahui terkait siapa pejabat yang menyetujui proposal permohonan pengadaan barang dari Fakultas Ilmu Budaya. Meski menurut pengakuan Wa Syaifuddin bahwa permohonan tersebut di masa rektor saat ini yaitu Syahril Pasaribu, namun Bisru mengaku tidak ingat persis di masa siapa peristiwa itu terjadi. “Karena peristiwa sudah beberapa tahun lalu, saya tidak ingat betul di masa siapa. Apakah rektor lama atau sekarang,” sebutnya.
Ditanya mengenai Sutrisno, juru bayar di USU yang disebut Wan Syaifuddin bersama dirinya diperiksa Kejagung pada 13 Agustus lalu, ia juga mengatakan hal serupa. “Enggak tahu siapa dia (Sutrisno). Mungkin orang dari fakultas,” kata Bisru tanpa menyebut dari fakultas mana ia berasal. (prn/rbb)