MEDAN, SUMUTPOS.CO – Motif pembunuhan terhadap Elvina (21), pekerja Bridal Salon yang ditemukan tewas mengenaskan di dalam kardus sebuah rumah Jalan Duku Nomor 40, Komplek Cemara Asri, Percut Sei Tuan, Rabu (6/5), akhirnya terungkap. Pembunuhan terbilang sadis itu, ternyata dikarenakan Elvina menolak disetubuhi oleh Jeffry alias J (22), penghuni rumah.
Tak hanya Jeffry, kasus yang ditangani Polrestabes Medan ini turut menetapkan Tek Sukfen atau TS (56), ibu Jeffry sebagai tersangka karena ikut terlibat. Selain itu, Michael atau M (22), yang merupakan mantan pacar Elvina juga ditetapkan sebagai tersangka.
“Dari hasil penyidikan dan prarekonstruksi yang telah dilakukan terkait kasus tersebut, maka ditetapkan 3 orang sebagai tersangka yaitu J, M, dan TS orang tua dari J,” ungkap Kapolrestabes Medan Kombes Pol Johnny Edizzon Isir didampingi Kasat Reskrim AKBP Ronny Nicholas Sidabutar dalam konferensi pers, Jumat (8/5) siang.
Isir menjelaskan, pembunuhan itu berawal saat korban dihubungi tersangka J untuk bertemu sekitar pukul 12.00 WIB. Selanjutnya, korban meminta dijemput oleh M untuk datang ke rumah J. Sesampainya di rumah J, ketiganya pun berbincang karena sudah cukup lama tidak bertemu.
“Singkat cerita, tersangka J memanggil korban dan membawanya ke kamar mandi untuk bersetubuh. Namun mendapat perlawanan dari korban, sehingga tersangka J mendorong dan membenturkan kepala korban ke dinding. Korban lalu tak sadarkan diri dan tersangka J menyetubuhi korban,” terang Isir.
Setelah melampiaskan nafsunya, tersangka J kemudian mengambil pisau di dapur lalu menusukkan ke bagian dada dan perut. Akibatnya, perut korban pun robek. Selanjutnya, tersangka J memberitahu kepada tersangka M, dia telah menghabisi nyawa korban. “J meminta M untuk membeli bensin di luar. Enggak lama, M pun kembali dengan membawa 2 botol bensin eceran yang diberikan kepada J. Tak berhenti sampai disitu, J mengambil mancis (korek api gas) lalu menyiramkan bensin ke tubuh korban dan membakarnya,” papar Isir.
Setelah itu, sambung Isir, M menghubungi ibu J yaitu TS yang kemudian datang ke rumah J. “Ibu dan anak tersebut sama-sama mengangkat mayat korban keluar dari kamar mandi ke ruang bagian tengah. J lalu mengambil parang dari dapur dan membelah perut korban lalu memotong lengan sebelah kanan. Sementara, ibunya mengambil kardus dan lakban dari gudang,” bebernya.
J kemudian memasukkan tubuh korban ke dalam kardus yang dibantu TS dan M. Lalu, J keluar rumah untuk membeli lakban karena kurang. Setibanya di rumah, J pun melakban kardus yang berisi mayat korban. J lalu memesan taksi online dengan tujuan Lubukpakam untuk membuang mayat korban. Akan tetapi, saat kardus berisi mayat dibawa ke ruang tamu dengan cara didorong ternyata darahnya berceceran. Karena itu, mereka pun mengurungkan niat untuk membuang mayat korban.
“Ibu dan anak (TS dan J) mengintimidasi M agar mengaku telah membunuh korban. Oleh sebab itu, guna mengelabuhi maka M diminta membuat surat cinta kepada korban di atas selembar kertas. “TS lalu menghubungi ibu M yakni Jn untuk datang ke rumah. Jn pun datang bersama I, paman M, dan disampaikan TS bahwa M telah membunuh korban,” jabar Isir.
Lebih lanjut Isir mengatakan, dari hasil penyidikan juga ternyata J dan M merupakan mantan napi kasus pencabulan. Keduanya bebas setelah menjalani hukuman penjara beberapa tahun dan program asimilasi Kemenkum HAM. “Dalam kasus ini, cukup banyak barang bukti yang disita, mulai dari alat komunikasi korban dan pelaku. Kemudian, 4 pisau dimana 2 diantaranya pisau daging, kardus untuk membungkus mayat korban, lakban, dan lainnya,” beber dia.
Isir menambahkan, akibat perbuatan ketiga tersangka mereka dijerat pasal berlapis yang berbeda-beda. “J dikenakan pasal 340 junto 338 KUHP, sedangkan M dan TS pasal 340 junto 338 atau 55, 56 KUHP,” pungkasnya.
Menyikapi kasus ini, Psikolog Kota Medan Irna Minauli dari Minauli Consulting menilai, tindakan pembunuhan yang disertai mutilasi biasanya didasari pada kemarahan yang sangat besar disertai dendam. Disebutnya, kasus pembunuhan yang dilakukan oleh orang dekat, biasanya pelaku juga kemudian akan mengalami kesedihan dan penyesalan yang sangat mendalam sehingga kemudian memutuskan untuk mengakhiri hidupnya sendiri.
Saat ditanya, apakah terkait dengan sakit jiwa, yakni Bipolar atau Psikopat, Irna menjelaskan, untuk menentukan apakah seseorang mengalami gangguan jiwa seperti bipolar atau psikopat, perlu ditelusuri lebih dalam riwayat hidupnya. Meskipun pada umumnya pelaku pembunuhan sadis adalah penderita psikopat (antisocial personality disorder), namun biasanya mereka tidak akan melakukan bunuh diri karena pelaku justru menikmati proses kematian dan cenderung akan mencari korban-korban baru lagi. “Para psikopat biasanya justru seorang yang sangat menikmati kehidupannya dan menikmati kesengsaraan korban,” ujarnya.
Selain itu, lanjutnya, harus dijumpai riwayat sebelumnya seperti sering melakukan pelanggaran dan kekerasan sejak masa kanak-kanak. “Misalnya mereka senang menyiksa binatang,” imbuhnya. (ris/mag-1)