25 C
Medan
Sunday, September 29, 2024

Eks Kades Sampali Terbitkan Ratusan SKT, Kerugian Negara Rp1 T Diduga Spekulasi Berdasarkan Asumsi

.

MEDAN, SUMUTPOS.CO – Kepala Desa (Kades) Sampali, Sri Astuti didakwa melakukan penerbitan ratusan surat keterangan tanah (SKT) hingga merugikan negara Rp1 triliun. Namun, kuasa hukum terdakwa meragukan dakawaan Jaksa Penuntut Umum (JPU) tersebut.

“KALAU ada sampai 400 SKT, lalu dia (Sri Astuti) dikatakan menerima Rp300 sampai Rp500 ribu. 400 SKT dikalikan sekian apakah jumlahnya bisa jadi Rp1 triliun? Darimana hitungannya? Itukan logikanya. Kemudian yang Rp1 triliun lebih, itu rumusannya darimana?,” ujar Redyanto Sidi kepada Sumut Pos, Minggu (13/1).

Pada pemeriksaan saksi, kata Redyanto, kerugian Rp1 triliun tersebut merupakan angka spekulasi berdasarkan asumsi.

“Misalnya dalam keterangan saksi-saksi termasuk ahli, itulah angka asumsi seandainya sekian ratus hektar tanah PTPN II itu, kalau ditanami tumbuhan yang bisa menghasilkan lalu hasil per hektar sekian rupiah dikalikan sehektar itulah asumsi yang menjadi Rp1 triliun lebih tadi,” terangnya.

Kemudian, saksi-saksi yang dihadirkan JPU, bukanlah saksi dari Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Artinya kata dia, saksi yang dihadirkan itu tidak memenuhi persyaratan perundang-undangan.

“Kenapa? Karena yang diajukan adalah dari kantor akuntan publik yang pada pemeriksaan saksi itu, kita mendapati juga ahli tersebut, bukan akuntan. Tapi dia adalah orang yang bekerja pada kantor akuntan. Nah, ini kan tidak sesuai dengan ketentuan UU akuntan publik,” jelasnya.

Untuk itu dia menduga, bahwa perkara ini memang sengaja dipaksakan untuk memenuhi kuota perkara di kejaksaan. Hal itu kata dia, terungkap tidak adanya fakta-fakta hukum yang menyatakan kliennya bersalah.

“Termasuk juga yang menerima uang Rp300-500 ribu itu, tidak pernah klien kita menerima. Itu yang menerima adalah AS, berdasarkan keterangan saksi-saksi yang telah diperiksa di persidangan,” bebernya.

Artinya kata Redyanto, dalam kasus ini seharusnya yang menerima uang ini layak untuk dijadikan sebagai tersangka. Terlebih dalam UU Pokok Agraria, bahwa tanah negara yang ditelantarkan dapat dipidanakan.

“Persoalannya kalau klien kita salah menerbitkan SKT, bagaimana dengan orang yang menelantarkan tadi? Inikan juga harus diperiksa oleh penyidik kan,” tutur Redyanto.

“Jadi supaya kasusnya berimbang, jangan hanya menjadikan klien kita seolah-olah paling bersalah dalam perkara ini. Harus fairlah,” pungkasnya.

Dalam lanjutan sidang Senin (14/1) ini, Sri Astuti akan menjalani sidang tuntutan JPU.

Diketahui, Sri Astuti menjadi terdakwa dalam kasus korupsi penerbitan ratusan SKT hingga negara dirugikan senilai Rp1 triliun lebih. (man/ala)

Jaksa dalam dakwaannya menyebutkan, Sri Astuti yang menerbitkan SKT/Surat Keterangan Penguasaan Fisik Tanah sebanyak 405 lembar di atas lahan Hak Guna Usaha (HGU) PTPN-II (Persero) Kebun Sampali dengan luas 604.960,84 M2.

Ia dinilai telah menyalahgunakan kewenangannya sebagai Kepala Desa Sampali.(man/ala)

.

MEDAN, SUMUTPOS.CO – Kepala Desa (Kades) Sampali, Sri Astuti didakwa melakukan penerbitan ratusan surat keterangan tanah (SKT) hingga merugikan negara Rp1 triliun. Namun, kuasa hukum terdakwa meragukan dakawaan Jaksa Penuntut Umum (JPU) tersebut.

“KALAU ada sampai 400 SKT, lalu dia (Sri Astuti) dikatakan menerima Rp300 sampai Rp500 ribu. 400 SKT dikalikan sekian apakah jumlahnya bisa jadi Rp1 triliun? Darimana hitungannya? Itukan logikanya. Kemudian yang Rp1 triliun lebih, itu rumusannya darimana?,” ujar Redyanto Sidi kepada Sumut Pos, Minggu (13/1).

Pada pemeriksaan saksi, kata Redyanto, kerugian Rp1 triliun tersebut merupakan angka spekulasi berdasarkan asumsi.

“Misalnya dalam keterangan saksi-saksi termasuk ahli, itulah angka asumsi seandainya sekian ratus hektar tanah PTPN II itu, kalau ditanami tumbuhan yang bisa menghasilkan lalu hasil per hektar sekian rupiah dikalikan sehektar itulah asumsi yang menjadi Rp1 triliun lebih tadi,” terangnya.

Kemudian, saksi-saksi yang dihadirkan JPU, bukanlah saksi dari Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Artinya kata dia, saksi yang dihadirkan itu tidak memenuhi persyaratan perundang-undangan.

“Kenapa? Karena yang diajukan adalah dari kantor akuntan publik yang pada pemeriksaan saksi itu, kita mendapati juga ahli tersebut, bukan akuntan. Tapi dia adalah orang yang bekerja pada kantor akuntan. Nah, ini kan tidak sesuai dengan ketentuan UU akuntan publik,” jelasnya.

Untuk itu dia menduga, bahwa perkara ini memang sengaja dipaksakan untuk memenuhi kuota perkara di kejaksaan. Hal itu kata dia, terungkap tidak adanya fakta-fakta hukum yang menyatakan kliennya bersalah.

“Termasuk juga yang menerima uang Rp300-500 ribu itu, tidak pernah klien kita menerima. Itu yang menerima adalah AS, berdasarkan keterangan saksi-saksi yang telah diperiksa di persidangan,” bebernya.

Artinya kata Redyanto, dalam kasus ini seharusnya yang menerima uang ini layak untuk dijadikan sebagai tersangka. Terlebih dalam UU Pokok Agraria, bahwa tanah negara yang ditelantarkan dapat dipidanakan.

“Persoalannya kalau klien kita salah menerbitkan SKT, bagaimana dengan orang yang menelantarkan tadi? Inikan juga harus diperiksa oleh penyidik kan,” tutur Redyanto.

“Jadi supaya kasusnya berimbang, jangan hanya menjadikan klien kita seolah-olah paling bersalah dalam perkara ini. Harus fairlah,” pungkasnya.

Dalam lanjutan sidang Senin (14/1) ini, Sri Astuti akan menjalani sidang tuntutan JPU.

Diketahui, Sri Astuti menjadi terdakwa dalam kasus korupsi penerbitan ratusan SKT hingga negara dirugikan senilai Rp1 triliun lebih. (man/ala)

Jaksa dalam dakwaannya menyebutkan, Sri Astuti yang menerbitkan SKT/Surat Keterangan Penguasaan Fisik Tanah sebanyak 405 lembar di atas lahan Hak Guna Usaha (HGU) PTPN-II (Persero) Kebun Sampali dengan luas 604.960,84 M2.

Ia dinilai telah menyalahgunakan kewenangannya sebagai Kepala Desa Sampali.(man/ala)

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/