SUMUTPOS.CO – OPERASI Tangkap Tangan (OTT) terhadap Bupati Pakpak Bharat, Remigo Yolanda Berutu pada Minggu (18/11) lalu, menambah rentetan panjang kepala daerah diciduk KPK. Hampir semua kasus kepala daerah yang terjaring KPK modusnya sama, meminta fee proyek dari kontraktor. Ini menunjukkan, proyek pemerintah di dinas teknis tetap masih menjadi lahan basah kepala daerah untuk menangkul uang haram.
Di Sumatera Utara, fee atau komisi proyek bukanlah menjadi hal tabu. Kalangan kontraktor kerap menggunakan ‘jurus’ seperti ini guna memenangkan tender pekerjaan. Bahkan, pola pemberian komisi proyek dinilai sudah menjadi ‘budaya’ bagi kontraktor nakal sebagai ‘upeti’ untuk oknum di satuan kerja pemerintahan dengan memakai jasa perusahaannya.
Hal ini diamini Rikson Sibuea, kontraktor yang juga Ketua Umum DPD Asosiasi Kontraktor Nasional (Askonas) Sumut. “Pola-pola seperti itu sudah tidak tabu lagi di Sumut. Aku jamin 99,8 persen masih ada, khususnya yang jenis konstruksi (fisik). Kalau pengadaan lain aku tak tahu,” ujarnya saat dihubungi Sumut Pos, Rabu (21/11).
Pola fee proyek menurutnya bisa dipantau untuk pekerjaan tahun anggaran 2019. Di mana saat ini sudah mulai ada sejumlah oknum kontraktor yang meminta pekerjaan ke satuan kerja pemerintah. “Nah, kalau mau kita kaitkan terhadap kasus hukum yang menimpa Bupati Pakpak Bharat, bisa saja untuk pancingan (setoran) proyek tahun depan. Jadi sudah tak tabu lagi hal semacam ini di Sumut,” katanya.
Rikson menceritakan, menjelang pelelangan sebuah proyek, ia kerap didatangi para koleganya untuk membilangkan bahwa itu adalah paket mereka. Hal itu menurut dia sebagai upaya agar dirinya tidak usah ikut tender serupa. “Kenapa? Karena dia sudah nyetor duluan.
Dalam hatiku berkata; tender yang mana mau kuikuti kalau semua datang ngomong begitu. Makanya, akulah kontraktor yang juga ketua asosiasi yang sering mempersoalkan penenderan barang dan jasa di ranah hukum, khususnya di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN),” ungkap dia.
Jikalau setiap pelelangan itu sesuai dengan koridor dan ketentuan, kata Rikson, sudah banyak paket yang bisa diperolehnya. Tapi walaupun begitu, sambungnya, tidak ada yang bisa memastikan bahwa keinginannya itu terwujud mulus. “Karena berapa oranglah yang seperti aku. Dan itu pada umumnya kita tak memungkiri, sudah menjadi ‘budaya’ soal stor-menyetor untuk paket proyek. Ibarat buang angin, bisa kita rasakan baunya tapi sulit kita buktikan,” katanya.
Rekan-rekan sesama profesinya, kerap mengakui perbuatan dan pola yang dijalankan tersebut. Dimana sudah memberi setoran awal kepada oknum satuan kerja, meski proyek belum ditender dan bahkan dikerjakan. “Dinamikanya bermacam-macam. Kalau saya beda, kenapa sering mempermasalahkan hal begini di PTUN. Karena aku tidak melakukan pola seperti kawan-kawan itu. Aku tidak mau memberikan sesuatu di awal, apalagi belum ditayangkan pelelangan,” katanya.
Ia bahkan mengakui, jika dari kalkulasi keuntungan pekerjaan itu lumayan yang didapat, akan memberikan imbalan sebagai sekadar ucapan terima kasih kepada oknum satuan kerja yang membantunya mendapatkan paket. “Aku pun tahu bagaimana caranya berterimakasih.
Cuma kawan-kawan maunya kan instan. Kita lihat keuntungan lumayan, kusisihkan juga untuk mereka tapi jangan mematok. Tapi caraku ini sering dianggap tak jelas. Karena rata-rata sudah menyetor diawal. Makanya aku jarang menang tender,” bebernya.
“Kadang banyak juga ada yang datang ke kantor saya, mengadukan hal semacam ini. Malah dari berbagai asosiasi kontraktor. Mereka sering bilang sudah menyetor tapi proyek tak diberi juga,” imbuh Rikson.
Sebagai contoh, sebut dia, ada temannya yang sudah menang tender di Pemko Medan, tak kunjung menandatangani kontrak pekerjaan. “Bayangkan saja waktu pelaksanaan hanya 90 hari kerja, mana mungkin terkejar lagi. Ketepatan itu adalah anggota saya di asosiasi. Bahkan sudah dua kali dilayangkan surat, tetap tidak digubris. Artinya apa? Dia (satuan kerja) tidak takut. Lantas apa hubungannya? Karena anggotaku tidak masuk dalam ‘paguyuban’ (kontraktor) di sana,” ungkapnya.
Membudayanya pola-pola seperti ini, menurut Rikson, disebabkan lemahnya pengawasan. Terlebih dari unsur Inspektorat di setiap pemerintahan, hemat dia tidak dijalankan sesuai aturan main yang ada. “Apalagi sekarang berdasarkan peraturan soal barang dan jasa, jika ada dugaan persekongkolan diutamakan laporan itu ke APIP (Aparat Pengawasan Internal Pemerintah).
Dan itu adalah Inspektorat. Dan menurut aturan pula, masalah sengketa konstruksi ini jauh dari pidana, lebih ke perdata. Makanya itu jadi cikal bakal dibentuknya TP4D. Supaya ikut mengawasi jalannya setiap proyek pemerintahan,” katanya.
Kepala Dinas Bina Marga dan Bina Konstruksi (BMBK) Sumut melalui Kepala Bidang Perencanaan dan Evaluasi, Iswahyudi saat ditanya perihal ini, membantah keras praktek fee proyek berlaku pada satuan kerjanya. “Gak ada, gak benar itu,” katanya via WhatsApp. Menurut dia, sekarang ini zaman dan sistem sudah lebih terbuka untuk setiap proses pelelangan sebuah paket pekerjaan.
Bahkan kata Iswahyudi, evaluasi terhadap hasil lelang setiap perusahaan yang mengajukan tender, tidak sekadar dilihat dari rekam jejaknya saja tapi berdasarkan syarat dan kriteria lelang yang diajukan. Dan sekarang ini menurut dia juga sudah ada kelompok kerja (Pokja) Unit Layanan Pengadaan (ULP) yang menangani urusan pelelangan paket proyek.
“Dengan kata lain semua mesti mengikuti ketentuan berlaku. Dan kami pun tidak lagi bersinggungan langsung dengan pemenang tender, sebab itu ranahnya ULP,” katanya. (prn)