Pengamat Hukum Nuriono mengatakan, penangguhan penahanan memang hanya bisa diberikan kepada para tersangka yang kooperatif atau kondisi sakit. Penyidik juga harus mempertimbangkan rasa keadilan di masyarakat jika ingin memberikan penangguhan penahanan.
“Ada beberapa hal yang mengharuskan penyidik untuk melakukan penahanan. Di antaranya dikhawatirkan menghilangkan barang bukti, melarikan diri atau tidak kooperatif dan berbuat pidana lagi. Karena alasan ini mungkin penyidik menolak permohonannya. Lagi pula akan timbul pemikiran negatif di masyarakat nanti jika penyidik memberikan penangguhan penahanan kepada tersangka yang berstatus DPO,” tutur Nuriono.
Menurut Nuriono, penahanan terhadap tersangka sepenuhnya adalah hak penyidik. Begitu juga dengan menolak permohonan penangguhan penahanan merupakan hak penyidik. “Apalagi ini dilakukan penyidik untuk pemberantasan korupsi, tentu masyarakat luas yang sudah sangat gerah dengan prilaku koruptif sangat mendukung langkah penyidik Kejati Sumut itu,” tandasnya.
Sekadar diketahui, Boy Hermansyah ditahan penyidik Kejati Sumut di rutan Klas IA Tanjung Gusta, Medan, setelah bos perusahaan PT Bahari Dwikencana Lestari itu buron sekitar 3 tahun lebih. Pelarian Boy Hermansyah berakhir pada akhir Januari lalu. Di mana petugas Polda Sumut menangkapnya di bandara Soekarno-Hatta, Tangerang.
Novan Hadia, Kepala Seksi Penyidikan Kejati Sumut, mengatakan, dalam perkara ini, penyidik menemukan adanya perbuatan korupsi yang merugikan keuangan negara sekitar Rp117,5 miliar. Perkara yang melilit Boy Hermansyah ini sudah ditangani Kejati Sumut sejak tahun 2011 lalu. Dalam kasus ini, tiga orang sudah dihukum masing-masing 3 tahun penjara. Ketiganya, yakni Radiyasto selaku Pimpinan Sentra Kredit Menengah BNI Pemuda Medan, Darul Azli selaku pimpinan Kelompok Pemasaran Bisnis BNI Pemuda Medan, dan Titin Indriani selaku Relationship BNI SKM Medan.
“Kasus ini berawal dari permohonan kredit yang diajukan perusahaan Boy Hermansyah ke BNI 46 sebesar Rp133 miliar, sekitar tahun 2009. Perusahaan itu mengagunkan perkebunan sawit. Kemudian, pihak bank mengabulkan pinjaman sebesar Rp 129 miliar,” katanya.
Perkebunan itu dianggap fiktif karena ada pihak lain yang mengklaim perkebunan itu bukan milik Boy Hermansyah.(gus/smg/bd)