25.6 C
Medan
Friday, May 17, 2024

Hasil Otopsi Kedua Ungkap Tak Ada Penganiayaan, Brigadir J Tewas Ditembak di Dada dan Kepala

JAKARTA, SUMUTPOS.CO – Kematian Brigadir Nopryansah Yosua Hutabarat alias Brigadir J telah dipastikan tewas hanya karena luka tembak. Tidak ada penganiayaan kepada korban sebelum meninggal dunia. Ada 5 luka tembak masuk dan 4 luka tembak keluar. Namun, luka tembak fatal yang membuat Brigadir J tewas adalah luka tembak di bagian dada dan luka tembak di bagian kepala.

“Kita lihat ada 5 luka tembak masuk dan 4 luka tembak keluar,” kata Ketua Persatuan Dokter Forensik Indonesia (PDFI), Ade Firmansyah Sugiharto di Bareskrim Polri, Jakarta Selatan, Senin (22/8) Ade mengatakan, luka tembak fatal yang menyebabkan korban meninggal terletak di dada dan kepala. Dari semua luka tembak tersebut, satu proyektil di antaranya bersarang di tubuh korban bagian tulang belakang.

“Kalau terkait berapa penembak saya tidak jawab, kami bukan saksi mata tapi memang dari luka-luka yang ada itu tadi 5 luka tembak masuk dan 4 luka tembak keluar,” jelasnya.

Begitu pula dengan jarak tembak, Ade tak bisa memastikan. Karena bentuk dan warna luka di tubuh korban sudah mulai rusak.

Jumlah luka tembak ini tidak berkaitan dengan jumlah peluru yang ditembakkan, tetapi dari lima luka tembak yang masuk dan empat luka tembak keluar, berarti ada satu peluru yang bersarang di tubuh Brigadir J. “Dari empat tembakan keluar, ada satu yang bersarang di tulang belakang, dekat tulang belakang,” jelas Ade.

Tim Kedokteran Forensik tidak menyelidiki berapa jumlah tembakan karena merupakan kewenangan dari penyidik, termasuk jenis senjata api yang digunakan, serta arah tembakan. Hasil autopsi ulang tersebut juga memastikan tidak ada luka-luka selain luka tembakan karena senjata api yang ditemukan di tubuh Brigadir J.

Tim Kedokteran Forensik, kata Ade, bekerja secara independen memeriksa bagaimana arah masuknya anak peluru ke dalam tubuh dan bagaimana lintasan peluru keluar dari tubuh. Tim Forensik juga menelusuri tempat-tempat yang berdasarkan informasi keluarga ada tanda-tanda kekerasan. “Kami sudah pastikan dengan keilmuan forensik yang sebaik-baiknya bahwa tidak ada tanda-tanda kekerasan selain senjata api pada tubuh korban,” katanya.

Ade juga memastikan, tidak ada kuku korban Brigadir J yang dicabut ataupun tulang yang patah pada tubuh Brigadir J. Adapun posisi organ tumbuh yang berpindah tidak pada tempatnya merupakan bagian dari tindakan autopsi.

“Semua tindakan autopsi pasti ada organ-organ itu akan dikembalikan ke tubuhnya, namun memang harus ada pertimbangan-pertimbangan baik itu misalnya adanya bagian-bagian tubuh yang terbuka sehingga pada saat jenazah itu akan ditransportasikan akan dilakukan pertimbangan-pertimbangan seperti itu,” ujar Ade. Kemudian untuk jari yang luka, kata Ade, karena arah alur lintasan anak peluru yang mengenai tubuh Brigadir J dan luka di wajah karena ricochet atau sambaran peluru.

Sedangkan perihal otak korban yang ada di bagian dada saat jenazah diterima keluarga usai dibunuh, Ade mengatakan, kondisi tersebut disebabkan oleh otopsi pertama terhadap jenazah. Diperkirakan, dokter yang menangani otopsi pertama memutuskan memasukkan otak ke bagian dada agar tidak tercecer. Mengingat jenazah akan dibawa ke Jambi dari Jakarta.

“Semua tindakan otopsi pasti organ akan dikembalikan ke tubuh. Tapi, ada pertimbangan baik itu luka terbuka, dengan pertimbangan jenazah akan ditransportasikan, jadi ditempatkan di tempat segala macam agar tidak berceceran,” kata Ade.

Ade memastikan, berdasarkan otopsi kedua, Brigadir J meninggal karena luka tembak di kepala dan dada. Tidak ada luka penyiksaan seperti yang ramai diisukan. Ade berharap dari laporan forensik yang telah diserahkan kepada Bareskrim Polri tersebut dapat membantu penyidik untuk membuat terang perkara pembunuhan berencana terhadap Brigadir J.”Alhamdulillah kami bisa menyelesaikan dalam empat minggu kurang supaya bisa membantu penyidik dalam membuat terang perkara ini, supaya tidak ada lagi keragu-raguan penyidik tentang kejadian ini,” ujarnya.

Ferdy Sambo Perintahkan Hilangkan Jejak Digital Pembunuhan

Sementara itu, Komisioner Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) Choirul Anam menyampaikan, pihaknya menemukan adanya perintah dari mantan Kadiv Propam Irjen Ferdy Sambo untuk menghilangkan jejak digital dari rekaman CCTV, terkait dugaan pembunuhan yang menewaskan Brigadir Nofryansah Yosua Hutabarat alias Brigadir J. Diduga, Brigadir J tewas karena ditembak di rumah dinas Ferdy Sambo pada Jumat (8/7) lalu.

“Kami juga mendapatkan salah satu yang juga penting adalah perintah untuk terkait barang bukti, itu supaya dihilangkan jejaknya. Itu juga ada. Jadi jejak digital itu kami mendapatkan,” kata Choirul Anam di Gedung DPR, Jakarta, Senin (22/8).

Anam menjelaskan, setelah pihaknya menemukan bukti tersebut, Komnas HAM meyakini kalau peristiwa ini telah direkayasa oleh Ferdy Sambo. “Kami meyakini, walaupun ini belum kami simpulkan, meyakini adanya obstruction of justice, jadi apa ya, menghalangi, merekayasa, membuat cerita dan lain sebagainya yang itu membuat kenapa proses ini juga mengalami hambatan untuk dibuat terang benderang,” ungkap Anam.

Anam mengungkapkan, bukti rekam digital itu sedianya memudahkan dalam menyusun fakta-fakta baru dugaan pembunuhan Brigadir J. “Ketika kita mendapatkan berbagai rekam jejak digital itu, itu memudahkan kita semua sebenarnya untuk mulai membangun kembali fakta-fakta dan terangnya peristiwa,” tegas Anam.

Diketahui, 5 orang telah ditetapkan sebagai tersangka kasus kematian Brigadir Nopryansah Yosua Hutabarat alias Brigadir J. Mereka adalah Bharada Richard Eliezer Pudihang Lumiu alias Bharada E, Brigadir Kepala Ricky Rizal (RR), Irjen Pol Ferdy Sambo (FS), KM, dan yang terbaru adalah Putri Chandrawathi.

Kabareskrim Polri Komjen Pol Agus Andrianto mengatakan, masing-masing tersangka memiliki peran berbeda. Untuk eksekutor penembak adalah Bharada E.”RE melakukan penembakan korban,” kata Agus di Mabes Polri, Jakarta Selatan, Selasa (9/8).

Kemudian RR dan KM berperan membantu serta menyaksikan penembakan. Terakhir Ferdy Sambo yang memerintahkan penembakan. “FS menyuruh melakukan dan menskenario, skenario seolah-olah tembak menembak,” jelas Agus. Sedangkan Putri terekam CCTV berada di di lokasi dan ikut serta dalam proses pembunuhan berencana kepada Brigadir J. “(PC) mengikuti dan melakukan perencanaan pembunuhan Brigadir J,” kata Dirtipidum Bareskrim Polri Brigjen Pol Andi Rian. Atas perbuatannya, para tersangka dijerat Pasal 340 tentang Pembunuhan Berencana subsider Pasal 338 KUHP tentang Pembunuhan juncto Pasal 55 dan 56 KUHP dengan ancaman hukuman mati atau seumur hidup atau selama-lamanya 20 tahun. (jpc)

JAKARTA, SUMUTPOS.CO – Kematian Brigadir Nopryansah Yosua Hutabarat alias Brigadir J telah dipastikan tewas hanya karena luka tembak. Tidak ada penganiayaan kepada korban sebelum meninggal dunia. Ada 5 luka tembak masuk dan 4 luka tembak keluar. Namun, luka tembak fatal yang membuat Brigadir J tewas adalah luka tembak di bagian dada dan luka tembak di bagian kepala.

“Kita lihat ada 5 luka tembak masuk dan 4 luka tembak keluar,” kata Ketua Persatuan Dokter Forensik Indonesia (PDFI), Ade Firmansyah Sugiharto di Bareskrim Polri, Jakarta Selatan, Senin (22/8) Ade mengatakan, luka tembak fatal yang menyebabkan korban meninggal terletak di dada dan kepala. Dari semua luka tembak tersebut, satu proyektil di antaranya bersarang di tubuh korban bagian tulang belakang.

“Kalau terkait berapa penembak saya tidak jawab, kami bukan saksi mata tapi memang dari luka-luka yang ada itu tadi 5 luka tembak masuk dan 4 luka tembak keluar,” jelasnya.

Begitu pula dengan jarak tembak, Ade tak bisa memastikan. Karena bentuk dan warna luka di tubuh korban sudah mulai rusak.

Jumlah luka tembak ini tidak berkaitan dengan jumlah peluru yang ditembakkan, tetapi dari lima luka tembak yang masuk dan empat luka tembak keluar, berarti ada satu peluru yang bersarang di tubuh Brigadir J. “Dari empat tembakan keluar, ada satu yang bersarang di tulang belakang, dekat tulang belakang,” jelas Ade.

Tim Kedokteran Forensik tidak menyelidiki berapa jumlah tembakan karena merupakan kewenangan dari penyidik, termasuk jenis senjata api yang digunakan, serta arah tembakan. Hasil autopsi ulang tersebut juga memastikan tidak ada luka-luka selain luka tembakan karena senjata api yang ditemukan di tubuh Brigadir J.

Tim Kedokteran Forensik, kata Ade, bekerja secara independen memeriksa bagaimana arah masuknya anak peluru ke dalam tubuh dan bagaimana lintasan peluru keluar dari tubuh. Tim Forensik juga menelusuri tempat-tempat yang berdasarkan informasi keluarga ada tanda-tanda kekerasan. “Kami sudah pastikan dengan keilmuan forensik yang sebaik-baiknya bahwa tidak ada tanda-tanda kekerasan selain senjata api pada tubuh korban,” katanya.

Ade juga memastikan, tidak ada kuku korban Brigadir J yang dicabut ataupun tulang yang patah pada tubuh Brigadir J. Adapun posisi organ tumbuh yang berpindah tidak pada tempatnya merupakan bagian dari tindakan autopsi.

“Semua tindakan autopsi pasti ada organ-organ itu akan dikembalikan ke tubuhnya, namun memang harus ada pertimbangan-pertimbangan baik itu misalnya adanya bagian-bagian tubuh yang terbuka sehingga pada saat jenazah itu akan ditransportasikan akan dilakukan pertimbangan-pertimbangan seperti itu,” ujar Ade. Kemudian untuk jari yang luka, kata Ade, karena arah alur lintasan anak peluru yang mengenai tubuh Brigadir J dan luka di wajah karena ricochet atau sambaran peluru.

Sedangkan perihal otak korban yang ada di bagian dada saat jenazah diterima keluarga usai dibunuh, Ade mengatakan, kondisi tersebut disebabkan oleh otopsi pertama terhadap jenazah. Diperkirakan, dokter yang menangani otopsi pertama memutuskan memasukkan otak ke bagian dada agar tidak tercecer. Mengingat jenazah akan dibawa ke Jambi dari Jakarta.

“Semua tindakan otopsi pasti organ akan dikembalikan ke tubuh. Tapi, ada pertimbangan baik itu luka terbuka, dengan pertimbangan jenazah akan ditransportasikan, jadi ditempatkan di tempat segala macam agar tidak berceceran,” kata Ade.

Ade memastikan, berdasarkan otopsi kedua, Brigadir J meninggal karena luka tembak di kepala dan dada. Tidak ada luka penyiksaan seperti yang ramai diisukan. Ade berharap dari laporan forensik yang telah diserahkan kepada Bareskrim Polri tersebut dapat membantu penyidik untuk membuat terang perkara pembunuhan berencana terhadap Brigadir J.”Alhamdulillah kami bisa menyelesaikan dalam empat minggu kurang supaya bisa membantu penyidik dalam membuat terang perkara ini, supaya tidak ada lagi keragu-raguan penyidik tentang kejadian ini,” ujarnya.

Ferdy Sambo Perintahkan Hilangkan Jejak Digital Pembunuhan

Sementara itu, Komisioner Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) Choirul Anam menyampaikan, pihaknya menemukan adanya perintah dari mantan Kadiv Propam Irjen Ferdy Sambo untuk menghilangkan jejak digital dari rekaman CCTV, terkait dugaan pembunuhan yang menewaskan Brigadir Nofryansah Yosua Hutabarat alias Brigadir J. Diduga, Brigadir J tewas karena ditembak di rumah dinas Ferdy Sambo pada Jumat (8/7) lalu.

“Kami juga mendapatkan salah satu yang juga penting adalah perintah untuk terkait barang bukti, itu supaya dihilangkan jejaknya. Itu juga ada. Jadi jejak digital itu kami mendapatkan,” kata Choirul Anam di Gedung DPR, Jakarta, Senin (22/8).

Anam menjelaskan, setelah pihaknya menemukan bukti tersebut, Komnas HAM meyakini kalau peristiwa ini telah direkayasa oleh Ferdy Sambo. “Kami meyakini, walaupun ini belum kami simpulkan, meyakini adanya obstruction of justice, jadi apa ya, menghalangi, merekayasa, membuat cerita dan lain sebagainya yang itu membuat kenapa proses ini juga mengalami hambatan untuk dibuat terang benderang,” ungkap Anam.

Anam mengungkapkan, bukti rekam digital itu sedianya memudahkan dalam menyusun fakta-fakta baru dugaan pembunuhan Brigadir J. “Ketika kita mendapatkan berbagai rekam jejak digital itu, itu memudahkan kita semua sebenarnya untuk mulai membangun kembali fakta-fakta dan terangnya peristiwa,” tegas Anam.

Diketahui, 5 orang telah ditetapkan sebagai tersangka kasus kematian Brigadir Nopryansah Yosua Hutabarat alias Brigadir J. Mereka adalah Bharada Richard Eliezer Pudihang Lumiu alias Bharada E, Brigadir Kepala Ricky Rizal (RR), Irjen Pol Ferdy Sambo (FS), KM, dan yang terbaru adalah Putri Chandrawathi.

Kabareskrim Polri Komjen Pol Agus Andrianto mengatakan, masing-masing tersangka memiliki peran berbeda. Untuk eksekutor penembak adalah Bharada E.”RE melakukan penembakan korban,” kata Agus di Mabes Polri, Jakarta Selatan, Selasa (9/8).

Kemudian RR dan KM berperan membantu serta menyaksikan penembakan. Terakhir Ferdy Sambo yang memerintahkan penembakan. “FS menyuruh melakukan dan menskenario, skenario seolah-olah tembak menembak,” jelas Agus. Sedangkan Putri terekam CCTV berada di di lokasi dan ikut serta dalam proses pembunuhan berencana kepada Brigadir J. “(PC) mengikuti dan melakukan perencanaan pembunuhan Brigadir J,” kata Dirtipidum Bareskrim Polri Brigjen Pol Andi Rian. Atas perbuatannya, para tersangka dijerat Pasal 340 tentang Pembunuhan Berencana subsider Pasal 338 KUHP tentang Pembunuhan juncto Pasal 55 dan 56 KUHP dengan ancaman hukuman mati atau seumur hidup atau selama-lamanya 20 tahun. (jpc)

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/