30 C
Medan
Wednesday, June 26, 2024

Pengusaha Walet di Johor jadi Tersangka

Foto: Gibson/PM/JPNN Mohar (baju merah) majikan yang menganiaya pekerja dan memperkerjakan anak di bawah umur saat diboyong ke Polresta Medan.
Foto: Gibson/PM/JPNN
Mohar (baju merah) majikan yang menganiaya pekerja dan memperkerjakan anak di bawah umur saat diboyong ke Polresta Medan.

MEDAN, SUMUTPOS.CO – Setelah tiga hari diperiksa, Mohar, pengusaha sarang burung walet yang menyekap dan mempekerjakan puluhan wanita asal Nusa Tenggara Timur (NTT) di rumahnya, Jl. Brigjen Katamso, Komplek Family, Kel. Titi Kuning, Kec. Medan Johor, akhirnya resmi ditetapkan sebagai tersangka. Hal ini ditegaskan Kasat Reskrim Polresta Medan, Kompol Jean Calvijn Simanjuntak didampingi Kanit Judisila AKP Jama Kita Purba saat ditemui kru koran ini, Rabu (26/2) siang.

“Dia (Mohar-red) kita jerat dengan Undang-undang (UU) No. 23/2002 tentang Perlindungan Anak dan UU No. 21/2007 tentang Tindak Pidana Pencegahan Orang, dengan ancaman hukuman 15 tahun penjara. Selain itu, tersangka juga resmi kita tahan. Untuk selanjutnya, kami akan mendalaminya dan mengejar calo yang mengirim para korban ke Medan bernama Rebecca. Selain itu, Juli wanita yang berperan membantu Rebecca dalam menyelundupkan remaja-remaja di bawah umur ini juga masih kita buron,” terang Calvijn.

Ditanya mengenai unsur penganiayaan yang dilakukan Mohar, hingga menewaskan salah satu korban? Calvijn mengaku masih mendalaminya. Sebab, yang bisa membuktikan korban tewas karena dianaiya adalah dokter di Kupang. Karena pasca tewas, jenazahnya langsung dibawa ke sana. “Tapi kami akan berkordinasi dengan Polda NTT. Intinya, kami masih tetap mendalami kasus ini, kalau memang tersangka ada menganiaya korban, kita akan menjeratnya dengan pasal lain. Dari beberapa saksi yang kita periksa, mereka mengatakan tidak ada dianiaya,” ujarnya.

Lanjutnya, setelah pemeriksaan, para pekerja yang jadi korban di antaranya Sutri Bani (20), Deli Foni (24), Juliani Seu (19), Katerina Bako (24)  Erni Ani Baik (25), Deli (24) akan dititipkan ke Komisi Perlindungan Anak. “Sementara untuk menututp ijin usaha tersangka adalah wewenang Pemko Medan. Tersangka membuka usaha itu sejak 2011 dan memang di rumahnya,” tandas Calvijn.

Selain Mohar, ternyata sang istri, Hariati juga ikut membantu dalam kasus ini, bahkan selama bekerja, ia melarang para korban beribadah. Hal ini diakui salah seorang korban bernama Deli (24) yang mengaku selama 4 tahun bekerja, ia tak pernah diijinkan beribadah.

“Tahun 2010 saya mulai bekerja di Medan, saya  dijanjikan gaji sebesar Rp 750 ribu sebulan. Setelah sepakat, aku dan teman-temanku dipekerjakan di tempat usaha Mohar. Ternyata gaji kami hanya dibayar Rp 450 ribu. Kami baru tau waktu Marni meninggal,” lirih Deli diamini rekannya. Karena sudah tiba di Medan, mau tak mau ia dan teman-temannya terpaksa menyetujuinya. Tapi beberapa bulan bekerja, ternyata gaji mereka tidak pernah dibayar.

“Waktu tiba gajian, kami hanya disodorkan kertas kosong yang kami tak tau apa artinya. Selama empat tahun bekerja, kami semua tidak pernah digaji. Bahkan, kami dilarang untuk menanyakan gaji kepadanya,” lirih wanita berambut kriting itu.

Hal senada juga dikatakan Sutribani. “Kami juga tidak diperbolehkan ibadah, apalagi keluar rumah. Kalau memang tidak diberikan gaji, biarla kami beribadah. Hape kami juga disita oleh Mohar, hingga kami tak bisa menghubungi dan mengadu pada keluarga di kampung. Selama di Medan, kami tidak pernah memegang hape. Kami bangun pagi jam 5 pagi lalu menyapu dan mengepel, setelah jam 8, kami kerja membersihkan sarang burung walet hingga pukul 18.00 WIB. Lalu membersihkan tempat kami kerja lagi. Kemudian kami makan dengan lauk tahu tempe dan ikan asin. Kami sangat menyesal datang ke Medan, lebih baik di kampung makan ubi daripada di sini tapi seperti budak dan tidak bisa ibadah,” ucapnya dengan berderai air mata.

“Kami tidur di tikar dan dipisah-pisahkan, ada yang di lantai dua dan tiga. Kalau kami keluar rumah, kami dimaki-maki oleh Mohar,” kata para korban. Hal senada juga diakui  Son Baik (20), salah seorang kerabat Erni. “Saya sudah 2 tahun tinggal di Medan, ketika saya dengar Marni meninggal, saya langsung mencari alamat Mohar. Setelah bertemu saya mengetuk pintu rumahnya, tapi tak dibukanya. Saya langsung pulang dan kos di jalan Karya Medan. Kemudian saya tau, kalau ke-16 telah bebas dan berada di kantor polisi. Rencanya kami akan pulang ke Kupang untuk bertemu dengan orangtua,”tandas pria kurus itu sembari merangkul kerabatnya. (gib/deo)

Foto: Gibson/PM/JPNN Mohar (baju merah) majikan yang menganiaya pekerja dan memperkerjakan anak di bawah umur saat diboyong ke Polresta Medan.
Foto: Gibson/PM/JPNN
Mohar (baju merah) majikan yang menganiaya pekerja dan memperkerjakan anak di bawah umur saat diboyong ke Polresta Medan.

MEDAN, SUMUTPOS.CO – Setelah tiga hari diperiksa, Mohar, pengusaha sarang burung walet yang menyekap dan mempekerjakan puluhan wanita asal Nusa Tenggara Timur (NTT) di rumahnya, Jl. Brigjen Katamso, Komplek Family, Kel. Titi Kuning, Kec. Medan Johor, akhirnya resmi ditetapkan sebagai tersangka. Hal ini ditegaskan Kasat Reskrim Polresta Medan, Kompol Jean Calvijn Simanjuntak didampingi Kanit Judisila AKP Jama Kita Purba saat ditemui kru koran ini, Rabu (26/2) siang.

“Dia (Mohar-red) kita jerat dengan Undang-undang (UU) No. 23/2002 tentang Perlindungan Anak dan UU No. 21/2007 tentang Tindak Pidana Pencegahan Orang, dengan ancaman hukuman 15 tahun penjara. Selain itu, tersangka juga resmi kita tahan. Untuk selanjutnya, kami akan mendalaminya dan mengejar calo yang mengirim para korban ke Medan bernama Rebecca. Selain itu, Juli wanita yang berperan membantu Rebecca dalam menyelundupkan remaja-remaja di bawah umur ini juga masih kita buron,” terang Calvijn.

Ditanya mengenai unsur penganiayaan yang dilakukan Mohar, hingga menewaskan salah satu korban? Calvijn mengaku masih mendalaminya. Sebab, yang bisa membuktikan korban tewas karena dianaiya adalah dokter di Kupang. Karena pasca tewas, jenazahnya langsung dibawa ke sana. “Tapi kami akan berkordinasi dengan Polda NTT. Intinya, kami masih tetap mendalami kasus ini, kalau memang tersangka ada menganiaya korban, kita akan menjeratnya dengan pasal lain. Dari beberapa saksi yang kita periksa, mereka mengatakan tidak ada dianiaya,” ujarnya.

Lanjutnya, setelah pemeriksaan, para pekerja yang jadi korban di antaranya Sutri Bani (20), Deli Foni (24), Juliani Seu (19), Katerina Bako (24)  Erni Ani Baik (25), Deli (24) akan dititipkan ke Komisi Perlindungan Anak. “Sementara untuk menututp ijin usaha tersangka adalah wewenang Pemko Medan. Tersangka membuka usaha itu sejak 2011 dan memang di rumahnya,” tandas Calvijn.

Selain Mohar, ternyata sang istri, Hariati juga ikut membantu dalam kasus ini, bahkan selama bekerja, ia melarang para korban beribadah. Hal ini diakui salah seorang korban bernama Deli (24) yang mengaku selama 4 tahun bekerja, ia tak pernah diijinkan beribadah.

“Tahun 2010 saya mulai bekerja di Medan, saya  dijanjikan gaji sebesar Rp 750 ribu sebulan. Setelah sepakat, aku dan teman-temanku dipekerjakan di tempat usaha Mohar. Ternyata gaji kami hanya dibayar Rp 450 ribu. Kami baru tau waktu Marni meninggal,” lirih Deli diamini rekannya. Karena sudah tiba di Medan, mau tak mau ia dan teman-temannya terpaksa menyetujuinya. Tapi beberapa bulan bekerja, ternyata gaji mereka tidak pernah dibayar.

“Waktu tiba gajian, kami hanya disodorkan kertas kosong yang kami tak tau apa artinya. Selama empat tahun bekerja, kami semua tidak pernah digaji. Bahkan, kami dilarang untuk menanyakan gaji kepadanya,” lirih wanita berambut kriting itu.

Hal senada juga dikatakan Sutribani. “Kami juga tidak diperbolehkan ibadah, apalagi keluar rumah. Kalau memang tidak diberikan gaji, biarla kami beribadah. Hape kami juga disita oleh Mohar, hingga kami tak bisa menghubungi dan mengadu pada keluarga di kampung. Selama di Medan, kami tidak pernah memegang hape. Kami bangun pagi jam 5 pagi lalu menyapu dan mengepel, setelah jam 8, kami kerja membersihkan sarang burung walet hingga pukul 18.00 WIB. Lalu membersihkan tempat kami kerja lagi. Kemudian kami makan dengan lauk tahu tempe dan ikan asin. Kami sangat menyesal datang ke Medan, lebih baik di kampung makan ubi daripada di sini tapi seperti budak dan tidak bisa ibadah,” ucapnya dengan berderai air mata.

“Kami tidur di tikar dan dipisah-pisahkan, ada yang di lantai dua dan tiga. Kalau kami keluar rumah, kami dimaki-maki oleh Mohar,” kata para korban. Hal senada juga diakui  Son Baik (20), salah seorang kerabat Erni. “Saya sudah 2 tahun tinggal di Medan, ketika saya dengar Marni meninggal, saya langsung mencari alamat Mohar. Setelah bertemu saya mengetuk pintu rumahnya, tapi tak dibukanya. Saya langsung pulang dan kos di jalan Karya Medan. Kemudian saya tau, kalau ke-16 telah bebas dan berada di kantor polisi. Rencanya kami akan pulang ke Kupang untuk bertemu dengan orangtua,”tandas pria kurus itu sembari merangkul kerabatnya. (gib/deo)

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/