27.8 C
Medan
Saturday, May 18, 2024

Kasus Kerangkeng, Tak Ditahan, 8 Tersangka Cuma Wajib Lapor

MEDAN, SUMUTPOS.CO – Delapan tersangka kasus kerangkeng di rumah Bupati Langkat nonaktif Terbit Rencana Peranginangin atau Cana tidak ditahan, usai menjalani pemeriksaan di Mapolda Sumut, Jumat (25/3) pekan lalu. Alasannya, mereka dinilai kooperatif selama menjalani pemeriksaan.

Ke delapan tersangka kasus dugaan penganiayaan atas tewasnya tiga tahanan kerangkeng itu, yakni DP, yang merupakan anak kandung Cana, lalu HS, IS, TS, RG, JS, HG dan SP hanya dikenakan wajib lapor seminggu sekali. “Mereka wajib lapor seminggu sekali ke Polda Sumut. Penyidik masih mendalami kasus kerangkeng itu,” ujar Direskrimum Poldasu, Kombes Pol Tatan Dirsan Atmaja kepada sejumlah wartawan saat ditemui di Mapolda Sumut, Sabtu (26/3) siang.

Dalam hal ini, lanjutnya, pihaknya mempertimbangkan untuk tidak melakukan penahanan, karena terduga tersangka dianggap kooperatif saat interogasi awal bersama penasehat hukumnya. Sebelumnya, jelas Tatan, memang ke delapan tersangka sudah ditetapkan sebagai tersangka. Mereka hadir didampingi langsung oleh penasehat pada pemeriksaan, Jumat (25/3).

Selain itu, sambungnya, pada saat dilakukan pemeriksaan sebagai saksi ke delapan tersangka juga hadir pada saat dipanggil. “Dalam penetapan kedelapan tersangka ini Polda Sumut akan berkoordinasi dengan pihak Kejati Sumut,” katanya.

Meskipun demikian, Tatan tidak menampik jika DP diketahui benar melakukan penganiayaan. “Dari hasil pemeriksaan terhadap DP, anak Bupati Langkat nonaktif itu terbukti melakukan penganiayaan terhadap SG, penghuni kerangkeng hingga meninggal dunia,” ungkapnya.

Dijelaskannya, terungkapnya DP melakukan penganiayaan setelah penyidik melakukan pemeriksaan puluhan saksi yang menyatakan anak Bupati Langkat nonaktif itu menyiksa penghuni saat berada di dalam kerangkeng.

Tatan menambahkan, kerangkeng itu awalnya digunakan untuk melakukan pembinaan salah satu organisasi kepemudaan yang ada di wilayah Langkat. Seiring berjalannya waktu, kerangkeng itu berubah menjadi lokasi pembinaan pengguna narkoba. “Kemudian tahun 2015 tempat itu dipindahkan berjarak lebih kurang 200 meter dari lokasi awal,” bebernya.

Dikatakannya, pada Tahun 2015 terjadilah pemanfaatan terhadap warga yang berada dalam kerangkeng. “Dipekerjakan di salah satu pabrik kelapa sawit. Lalu dalam prosesnya juga terjadi penganiayaan,” jelasnya.

Bakal Ada Tersangka Baru

Menurut Tatan, pihaknya telah menjadwalkan pemeriksaan terhadap Bupati Langkat nonaktif, Terbit Rencana Peranginangin (TRP) pada pekan depan. “Iya TRP akan kami periksa pekan depan. Tim penyidik akan berangkat ke Jakarta untuk memeriksa yang bersangkutan,” ujar Tatan.

Dia menjelaskan, TRP akan diperiksa sebagai saksi. Itu sehubungan dengan kepemilikan rumah di mana kerangkeng itu ditemukan dan terkait beberapa hal lainnya. “Sebagai saksi,” ucapnya.

Selain TRP, lanjutnya, pihaknya juga menjadwalkan pemeriksaan terhadap dua orang lainnya yakni berinisial SB dan L. SB adalah istri dari Cana sedangkan L adalah salah seorang pekerja Cana. Dia dipanggil setelah namanya mencuat dari hasil pemeriksaan delapan orang yang telah menjadi tersangka dalam kasus itu. “Keduanya diperiksa sebagai saksi. Suratnya sudah kita kirimkan tadi. Pemeriksaannya bergilir mulai Senin pekan depan,” tandasnya.

Dalam hal ini, Tatan mengaku, penyidikan atas kasus TPPO ini masih akan sangat panjang. Masih akan banyak orang yang diperiksa dan mungkin menjadi tersangka dalam kasus itu. “Total sudah ada 80 orang saksi yang kita periksa dalam kasus ini,” bebernya.

Tatan juga menyebutkan, ada kemungkinan penetapan tersangka baru dalam kasus dugaan TPPO dibalik praktik kerangkeng manusia yang ditemukan di rumah Bupati Langkat nonaktif ini. Hal ini mengemuka setelah polisi memeriksa delapan orang yang kini menjadi tersangka dalam kasus itu.

“Iya ada beberapa nama baru yang kami dapat dari para tersangka. Kami akan panggil dulu mereka sebagai saksi. Nanti kita lihat apakah memenuhi unsur untuk dijadikan tersangka atau tidak,” ungkapnya.

Terkait siapakah nama baru yang kemungkinan menjadi tersangka itu, Tatan masih enggan mengungkapkannya. Namun dia memastikan nama baru itu bukanlah sang mantan orang nomor satu di Langkat itu. “Hasil pemeriksaan yang kita lakukan, belum ada yang mengarah ke beliau,” tandasnya.

Menyikapi belum ditahannya para tersangka, Wakil Ketua Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) Edwin Partogi Pasaribu mempertanyakan keputusan polisi tersebut. Menurutnya, penyidik seharusnya memiliki pertimbangan subjektif dan objektif untuk menahan tersangka. “Subjektifnya ancaman hukuman kedelapan tersangka diatas lima tahun dan perbuatan mereka menyebabkan luka badan, trauma hingga nyawa melayang.” kata Pasaribu.

Edwin membandingkan kasus ini dengan kasus penipuan melalui aplikasi: Indra Kenz dan Doni Salmanan. Dia menilai keduanya juga cukup kooperatif saat diperiksa. “Padahal kasus binary option tidak menyebabkan luka badan hingga kehilangan nyawa. Tersangkanya juga kooperatif, tapi polisi menahan tersangkanya” ujarnya.

Padahal, menurut dia, publik menaruh harapan besar terhadap keadilan atas kasus penyiksaan dan praktik perdagangan orang penghuni kerangkeng manusia milik Terbit Rencana Perangin Angin ini.

Sementara,Wakil Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS), Rivanlee Anandar menilai keputusan penyidik tidak menahan para tersangka dengan dalih kooperatif patut dicurigai. “Jika sikap kepolisian seperti ini, wajar jika publik menduga kalau ada dugaan patgulipat di luar alasan kooperatifnya tersangka. Polisi mesti sadar bahwa kooperatifnya tersangka bukan berarti mengabaikan atas pelanggarannya sekian puluh tahun,” kata Rivanlee seperti dikutip dari Suara.com, Minggu (27/3).

Menurut KontraS, sejak awal penanganan kasus pelanggaran HAM terkait kerangkeng manusia di rumah Cana ini memang terkesan tidak serius. Padahal kejahatan kemanusiaan yang terjadi di dalam kerangkeng ini semestinya perlu pendapat perhatian serius agar tak kembali terulang. “TPPO (Tindak Pidana Perdagangan Orang) atau jenis kekerasan yang lain terjadi di kerangkeng mestinya jadi tamparan betul bahwa ada warga sipil yang bertindak melampauo hukum. Sehingga tindakannya perlu mendapatkan sanksi yang serius dengan harapan kejadian serupa tidak terjadi lagi,” ujar Rivanlee.

Atas hal itu, KontraS menyarankan Mabes Polri turut serta dengan serius memantau dan mengawasi penanganan kasus ini di Polda Sumatera Utara. Sehingga dapat dipastikan tidak ada kewenangan-wenangan yang dilakukan oleh oknum demi kepentingannya. “Sudah semestinya Mabes Polri memantau penanganan kasus ini secara serius. Tidak membiarkan kesewenang-wenangan ini terus terjadi,” pintanya. (dwi/bbs)

MEDAN, SUMUTPOS.CO – Delapan tersangka kasus kerangkeng di rumah Bupati Langkat nonaktif Terbit Rencana Peranginangin atau Cana tidak ditahan, usai menjalani pemeriksaan di Mapolda Sumut, Jumat (25/3) pekan lalu. Alasannya, mereka dinilai kooperatif selama menjalani pemeriksaan.

Ke delapan tersangka kasus dugaan penganiayaan atas tewasnya tiga tahanan kerangkeng itu, yakni DP, yang merupakan anak kandung Cana, lalu HS, IS, TS, RG, JS, HG dan SP hanya dikenakan wajib lapor seminggu sekali. “Mereka wajib lapor seminggu sekali ke Polda Sumut. Penyidik masih mendalami kasus kerangkeng itu,” ujar Direskrimum Poldasu, Kombes Pol Tatan Dirsan Atmaja kepada sejumlah wartawan saat ditemui di Mapolda Sumut, Sabtu (26/3) siang.

Dalam hal ini, lanjutnya, pihaknya mempertimbangkan untuk tidak melakukan penahanan, karena terduga tersangka dianggap kooperatif saat interogasi awal bersama penasehat hukumnya. Sebelumnya, jelas Tatan, memang ke delapan tersangka sudah ditetapkan sebagai tersangka. Mereka hadir didampingi langsung oleh penasehat pada pemeriksaan, Jumat (25/3).

Selain itu, sambungnya, pada saat dilakukan pemeriksaan sebagai saksi ke delapan tersangka juga hadir pada saat dipanggil. “Dalam penetapan kedelapan tersangka ini Polda Sumut akan berkoordinasi dengan pihak Kejati Sumut,” katanya.

Meskipun demikian, Tatan tidak menampik jika DP diketahui benar melakukan penganiayaan. “Dari hasil pemeriksaan terhadap DP, anak Bupati Langkat nonaktif itu terbukti melakukan penganiayaan terhadap SG, penghuni kerangkeng hingga meninggal dunia,” ungkapnya.

Dijelaskannya, terungkapnya DP melakukan penganiayaan setelah penyidik melakukan pemeriksaan puluhan saksi yang menyatakan anak Bupati Langkat nonaktif itu menyiksa penghuni saat berada di dalam kerangkeng.

Tatan menambahkan, kerangkeng itu awalnya digunakan untuk melakukan pembinaan salah satu organisasi kepemudaan yang ada di wilayah Langkat. Seiring berjalannya waktu, kerangkeng itu berubah menjadi lokasi pembinaan pengguna narkoba. “Kemudian tahun 2015 tempat itu dipindahkan berjarak lebih kurang 200 meter dari lokasi awal,” bebernya.

Dikatakannya, pada Tahun 2015 terjadilah pemanfaatan terhadap warga yang berada dalam kerangkeng. “Dipekerjakan di salah satu pabrik kelapa sawit. Lalu dalam prosesnya juga terjadi penganiayaan,” jelasnya.

Bakal Ada Tersangka Baru

Menurut Tatan, pihaknya telah menjadwalkan pemeriksaan terhadap Bupati Langkat nonaktif, Terbit Rencana Peranginangin (TRP) pada pekan depan. “Iya TRP akan kami periksa pekan depan. Tim penyidik akan berangkat ke Jakarta untuk memeriksa yang bersangkutan,” ujar Tatan.

Dia menjelaskan, TRP akan diperiksa sebagai saksi. Itu sehubungan dengan kepemilikan rumah di mana kerangkeng itu ditemukan dan terkait beberapa hal lainnya. “Sebagai saksi,” ucapnya.

Selain TRP, lanjutnya, pihaknya juga menjadwalkan pemeriksaan terhadap dua orang lainnya yakni berinisial SB dan L. SB adalah istri dari Cana sedangkan L adalah salah seorang pekerja Cana. Dia dipanggil setelah namanya mencuat dari hasil pemeriksaan delapan orang yang telah menjadi tersangka dalam kasus itu. “Keduanya diperiksa sebagai saksi. Suratnya sudah kita kirimkan tadi. Pemeriksaannya bergilir mulai Senin pekan depan,” tandasnya.

Dalam hal ini, Tatan mengaku, penyidikan atas kasus TPPO ini masih akan sangat panjang. Masih akan banyak orang yang diperiksa dan mungkin menjadi tersangka dalam kasus itu. “Total sudah ada 80 orang saksi yang kita periksa dalam kasus ini,” bebernya.

Tatan juga menyebutkan, ada kemungkinan penetapan tersangka baru dalam kasus dugaan TPPO dibalik praktik kerangkeng manusia yang ditemukan di rumah Bupati Langkat nonaktif ini. Hal ini mengemuka setelah polisi memeriksa delapan orang yang kini menjadi tersangka dalam kasus itu.

“Iya ada beberapa nama baru yang kami dapat dari para tersangka. Kami akan panggil dulu mereka sebagai saksi. Nanti kita lihat apakah memenuhi unsur untuk dijadikan tersangka atau tidak,” ungkapnya.

Terkait siapakah nama baru yang kemungkinan menjadi tersangka itu, Tatan masih enggan mengungkapkannya. Namun dia memastikan nama baru itu bukanlah sang mantan orang nomor satu di Langkat itu. “Hasil pemeriksaan yang kita lakukan, belum ada yang mengarah ke beliau,” tandasnya.

Menyikapi belum ditahannya para tersangka, Wakil Ketua Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) Edwin Partogi Pasaribu mempertanyakan keputusan polisi tersebut. Menurutnya, penyidik seharusnya memiliki pertimbangan subjektif dan objektif untuk menahan tersangka. “Subjektifnya ancaman hukuman kedelapan tersangka diatas lima tahun dan perbuatan mereka menyebabkan luka badan, trauma hingga nyawa melayang.” kata Pasaribu.

Edwin membandingkan kasus ini dengan kasus penipuan melalui aplikasi: Indra Kenz dan Doni Salmanan. Dia menilai keduanya juga cukup kooperatif saat diperiksa. “Padahal kasus binary option tidak menyebabkan luka badan hingga kehilangan nyawa. Tersangkanya juga kooperatif, tapi polisi menahan tersangkanya” ujarnya.

Padahal, menurut dia, publik menaruh harapan besar terhadap keadilan atas kasus penyiksaan dan praktik perdagangan orang penghuni kerangkeng manusia milik Terbit Rencana Perangin Angin ini.

Sementara,Wakil Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS), Rivanlee Anandar menilai keputusan penyidik tidak menahan para tersangka dengan dalih kooperatif patut dicurigai. “Jika sikap kepolisian seperti ini, wajar jika publik menduga kalau ada dugaan patgulipat di luar alasan kooperatifnya tersangka. Polisi mesti sadar bahwa kooperatifnya tersangka bukan berarti mengabaikan atas pelanggarannya sekian puluh tahun,” kata Rivanlee seperti dikutip dari Suara.com, Minggu (27/3).

Menurut KontraS, sejak awal penanganan kasus pelanggaran HAM terkait kerangkeng manusia di rumah Cana ini memang terkesan tidak serius. Padahal kejahatan kemanusiaan yang terjadi di dalam kerangkeng ini semestinya perlu pendapat perhatian serius agar tak kembali terulang. “TPPO (Tindak Pidana Perdagangan Orang) atau jenis kekerasan yang lain terjadi di kerangkeng mestinya jadi tamparan betul bahwa ada warga sipil yang bertindak melampauo hukum. Sehingga tindakannya perlu mendapatkan sanksi yang serius dengan harapan kejadian serupa tidak terjadi lagi,” ujar Rivanlee.

Atas hal itu, KontraS menyarankan Mabes Polri turut serta dengan serius memantau dan mengawasi penanganan kasus ini di Polda Sumatera Utara. Sehingga dapat dipastikan tidak ada kewenangan-wenangan yang dilakukan oleh oknum demi kepentingannya. “Sudah semestinya Mabes Polri memantau penanganan kasus ini secara serius. Tidak membiarkan kesewenang-wenangan ini terus terjadi,” pintanya. (dwi/bbs)

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/