26 C
Medan
Friday, November 22, 2024
spot_img

7 Anggota DPRD Sumut Didakwa Terima Suap dari Gatot, Rp15 Juta untuk Cabut Interpelasi

JAKARTA, SUMUTPOS.CO – Hak interpelasi yang digulirkan 57 anggota DPRD Sumut pada Maret 2015 lalu ternyata membuat Gatot Pujo Nugroho yang saat itu masih menjabat Gubernur Sumatera Utara (Gubsu) panik. Karenanya, untuk menggagalkannya, Gatot memberikan Rp15 juta kepada anggota dewan untuk mencabut usulan interpelasi tersebut.

Hal itu terungkap dalam surat dakwaan jaksa penuntut KPK terhadap tiga anggota DPRD Sumut yakni Helmiati, Muslim Simbolon, dan Sonny Firdaus yang dibacakan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta, Rabu (28/11). Selain ketiganya, empat mantan anggota DPRD Sumut lainnya yakni Arifin Nainggolan, Mustofawiyah Sitompul, Sopar Siburian, dan Analisman Zalukhu juga menjalani sidang perdana, namun mereka disidang secara terpisah dari ketiga anggota dewan sebelumnya.

Menurut jaksa, pada Maret 2015, sebanyak 57 anggota DPRD Sumut mengajukan hak interpelasi dengan alasan adanya dugaan pelanggaran terhadap Peraturan Menteri Dalam Negeri. Dugaan pelanggaran itu terkait Evaluasi Raperda Provinsi Sumut tentang APBD Tahun 2014 dan Rancangan Peraturan Gubernur tentang penjabaran RAPBD Tahun 2014.

Selanjutnya, menurut jaksa, Gatot menghubungi Ketua DPRD Sumut Ajib Shah. Gatot meminta agar anggota DPRD Sumut tidak mengajukan hak interpelasi. Untuk memenuhi permintaan Gatot, lalu Ajib menghubungi Indra Alamsyah agar menyiapkan hotel sebagai tempat pertemuan antara Gatot dengan anggota DPRD.

Di hotel tersebut, ada 15 orang yang hadir mewakili fraksi-fraksi diantaranya terdakwa Sonny Firdaus. Di pertemuan itu, Muhammad Affan menanyakan kepada Gatot mengenai jumlah uang yang akan diberikan kepada anggota DPRD Sumut yang menolak dan menarik usulan interpelasi.

“Gatot menanggapi agar semua fraksi menolak interpelasi dengan alasan materi interpelasi merupakan materi yang sama dari tahun-tahun sebelumnya. Terkait materi poligami merupakan urusan yang sifatnya pribadi dari Gatot. Untuk itu, Gatot akan memberikan uang ke anggota DPRD yang menolak dan menarik usulan hak interpelasinya,” ungkap Jaksa KPK.

Atas pernyataan Gatot, Affan dan anggota DPRD Sumut yang hadir dalam pertemuan itu menyetujui untuk menarik usulan interpelasi dengan kompensasi Rp15 juta untuk masing-masing anggota yang didistribusikan oleh Indra Alamsyah segera setelah menerima uang kompensasi dari Gatot.

Kemudian pada April 2015, Gatot meminta Pandapotan Siregar dan Ahmad Fuad menyediakan uang Rp1 miliarý untuk diberikan ke anggota DPRD Sumut sebagai kompensasi atas penolakan interpelasi tersebut.

Untuk anggota DPRD Sumut Fraksi PDI-Perjuangan mendapat sejumlah Rp240 juta yang diterima oleh Tulus. Anggota DPRD Sumut Fraksi Golkar menerima Rp175 juta yang diterima oleh Indra Alamsyah. Anggota DPRD Sumut Fraksi Gerindra sejumlah Rp195 juta yang diterima oleh Fahrizal Dalimunte dan anggota DPRD Sumut Fraksi PAN sejumlah Rp90 juta yang diterima oleh Syah Affandin. “Partai Hanura sebanyak dua orang, Aduhot Simamora dan Zulkifli Effendi ýoleh Guntur Manurung diserahkan melalui Aduhot Simamora dan untuk Fraksi Gerindra satu orang, terdakwa Sonny Firdaus diserahkan oleh Guntur Manurung,” ungkap jaksa.

Pada 19 Desember 2014, terdakwa Helmiati, Biller Pasaribu, Tiasiah Ritonga, Jamaludin Hasibuan dan Brilian Muchtar menerima uang dari Ahmad Fuas Lubis melalui Zulkarnain alias Zul Jenggot masing-masing Rp50 juta saat rapat di Hotel Grand Mutiara Brastagi.

Atas perbuatannya, mereka didakwa melanggar Pasal 12 huruf a atau Pasal 12 huruf b atau Pasal 11 jo Pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 ayat 1 ke-1 jo Pasal 64 ayat 1 KUHP.

Dalam kasus ini, Helmiati didakwa menerima uang Rp495 juta. Kemudian, Muslim Simbolon menerima Rp615 juta. Sementara, Sonny Firdaus menerima Rp 495 juta. Kemudian Arifin sebesar Rp560 juta, Mustofawiyah dan Sopar masing-masing sebesar Rp480 juta serta Analisman sebesar Rp970 juta.

Menurut jaksa, uang tersebut diduga diberikan agar para terdakwa memberikan pengesahan terhadap Laporan Pertanggungjawaban Pelaksanaan (LPJP) Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Provinsi Sumut Tahun Anggaran 2012, dan pengesahan APBD Perubahan TA 2013.

Kemudian, agar memberikan persetujuan pengesahan APBD TA 2014 dan APBD Perubahan TA 2014. Selain itu, persetujuan pengesahan APBD TA 2015. Selain itu, agar ketiganya menyetujui LPJP APBD Tahun Anggaran 2014.

JC Sopar Tak Menguntungkan
Terkait pengajuan justice collaborator (JC) oleh Sopar Siburian, terdakwa kasus dugaan suap DPRD Sumut periode 2009-2014 dan 2014-2019, praktisi hukum Julheri Sinaga SH beranggapan, jika yang bersangkutan memanfaatkan situasi di tengah proses penyidikan yang tengah berlangsung.

“Kecuali proses hukum belum berlanjut, dia (Sopar Siburian) menawarkan diri untuk menjadi justice collborator boleh diterima akal sehat. Kalau sudah bermasalah malah jadi tersangka menawarkan diri, saya pikir tak perlu lagi. Tapi itupun pertimbangannya tetap pada penyidik (KPK). Karna apa pemanfaatannya dia menjadi JC, kalau tidak ada keuntungannya untuk apa,” ungkap Julheri kepada Sumut Pos, Rabu (28/11).

Pun begitu, kata Julheri, tidak serta merta menghapus sanksi pidana terhadap Sopar dengan mengajukan JC. Sebab terangnya, dalam undang-undang tindak pidana korupsi (Tipikor), penyelesaian aspek perdata tidak menghapus aspek pidana. “Artinya, walaupun uang yang diduga dikorupsi itu dikembalikan, tidak secara otomatis menghapuskan perbuatan pidananya. Meringankan bisa jadi. Jadi jangan sementang udah dibayar, terus dihapus pidana. Ndak mungkin, azasnya tidak seperti itu, tetap proses hukum harus berjalan,” tegasnya.

Julheri sendiri beranggapan, pengajuan JC bagi seorang tersangka dinilai sebagai suatu target. “Bisa saja keinginan hukumannya lebih ringan, atau bisa saja memang itikadnya baik. Kalau sudah berjalan proses hukum, ya itu tidak bisa lagi. Kecuali mungkin (subjektif), penyidik menganggap keterangan dia sangat dibutuhkan kalau bertindak sebagai JC. Tapi dengan ada putusan dari berbagai pihak, saya pikir nggak dibutuhkan lagi, karna sudah ada hukuman,” urainya.

Diapun tidak mempersoalkan bila 38 tersangka kasus suap mantan Gubernur Sumut, Gatot Pujo Nugroho mengajukan JC. Kata Julheri, hal itu akan lebih bagus untuk memudahkan proses hukum. “Cuma yang mau diambil keterangannya apa? Dengan kemampuan penyidik kan tak perlu dia menjadi JC, kan sudah cukup bukti. Keterangan mereka dipersidangan kan sudah menjadi dasar untuk menghukum yang lain. Banyak bukti kok, dalam pidana itu ada 5 bukti yang bisa dijadikan dasar,” pungkas Julheri. (bbs/adz/man)

JAKARTA, SUMUTPOS.CO – Hak interpelasi yang digulirkan 57 anggota DPRD Sumut pada Maret 2015 lalu ternyata membuat Gatot Pujo Nugroho yang saat itu masih menjabat Gubernur Sumatera Utara (Gubsu) panik. Karenanya, untuk menggagalkannya, Gatot memberikan Rp15 juta kepada anggota dewan untuk mencabut usulan interpelasi tersebut.

Hal itu terungkap dalam surat dakwaan jaksa penuntut KPK terhadap tiga anggota DPRD Sumut yakni Helmiati, Muslim Simbolon, dan Sonny Firdaus yang dibacakan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta, Rabu (28/11). Selain ketiganya, empat mantan anggota DPRD Sumut lainnya yakni Arifin Nainggolan, Mustofawiyah Sitompul, Sopar Siburian, dan Analisman Zalukhu juga menjalani sidang perdana, namun mereka disidang secara terpisah dari ketiga anggota dewan sebelumnya.

Menurut jaksa, pada Maret 2015, sebanyak 57 anggota DPRD Sumut mengajukan hak interpelasi dengan alasan adanya dugaan pelanggaran terhadap Peraturan Menteri Dalam Negeri. Dugaan pelanggaran itu terkait Evaluasi Raperda Provinsi Sumut tentang APBD Tahun 2014 dan Rancangan Peraturan Gubernur tentang penjabaran RAPBD Tahun 2014.

Selanjutnya, menurut jaksa, Gatot menghubungi Ketua DPRD Sumut Ajib Shah. Gatot meminta agar anggota DPRD Sumut tidak mengajukan hak interpelasi. Untuk memenuhi permintaan Gatot, lalu Ajib menghubungi Indra Alamsyah agar menyiapkan hotel sebagai tempat pertemuan antara Gatot dengan anggota DPRD.

Di hotel tersebut, ada 15 orang yang hadir mewakili fraksi-fraksi diantaranya terdakwa Sonny Firdaus. Di pertemuan itu, Muhammad Affan menanyakan kepada Gatot mengenai jumlah uang yang akan diberikan kepada anggota DPRD Sumut yang menolak dan menarik usulan interpelasi.

“Gatot menanggapi agar semua fraksi menolak interpelasi dengan alasan materi interpelasi merupakan materi yang sama dari tahun-tahun sebelumnya. Terkait materi poligami merupakan urusan yang sifatnya pribadi dari Gatot. Untuk itu, Gatot akan memberikan uang ke anggota DPRD yang menolak dan menarik usulan hak interpelasinya,” ungkap Jaksa KPK.

Atas pernyataan Gatot, Affan dan anggota DPRD Sumut yang hadir dalam pertemuan itu menyetujui untuk menarik usulan interpelasi dengan kompensasi Rp15 juta untuk masing-masing anggota yang didistribusikan oleh Indra Alamsyah segera setelah menerima uang kompensasi dari Gatot.

Kemudian pada April 2015, Gatot meminta Pandapotan Siregar dan Ahmad Fuad menyediakan uang Rp1 miliarý untuk diberikan ke anggota DPRD Sumut sebagai kompensasi atas penolakan interpelasi tersebut.

Untuk anggota DPRD Sumut Fraksi PDI-Perjuangan mendapat sejumlah Rp240 juta yang diterima oleh Tulus. Anggota DPRD Sumut Fraksi Golkar menerima Rp175 juta yang diterima oleh Indra Alamsyah. Anggota DPRD Sumut Fraksi Gerindra sejumlah Rp195 juta yang diterima oleh Fahrizal Dalimunte dan anggota DPRD Sumut Fraksi PAN sejumlah Rp90 juta yang diterima oleh Syah Affandin. “Partai Hanura sebanyak dua orang, Aduhot Simamora dan Zulkifli Effendi ýoleh Guntur Manurung diserahkan melalui Aduhot Simamora dan untuk Fraksi Gerindra satu orang, terdakwa Sonny Firdaus diserahkan oleh Guntur Manurung,” ungkap jaksa.

Pada 19 Desember 2014, terdakwa Helmiati, Biller Pasaribu, Tiasiah Ritonga, Jamaludin Hasibuan dan Brilian Muchtar menerima uang dari Ahmad Fuas Lubis melalui Zulkarnain alias Zul Jenggot masing-masing Rp50 juta saat rapat di Hotel Grand Mutiara Brastagi.

Atas perbuatannya, mereka didakwa melanggar Pasal 12 huruf a atau Pasal 12 huruf b atau Pasal 11 jo Pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 ayat 1 ke-1 jo Pasal 64 ayat 1 KUHP.

Dalam kasus ini, Helmiati didakwa menerima uang Rp495 juta. Kemudian, Muslim Simbolon menerima Rp615 juta. Sementara, Sonny Firdaus menerima Rp 495 juta. Kemudian Arifin sebesar Rp560 juta, Mustofawiyah dan Sopar masing-masing sebesar Rp480 juta serta Analisman sebesar Rp970 juta.

Menurut jaksa, uang tersebut diduga diberikan agar para terdakwa memberikan pengesahan terhadap Laporan Pertanggungjawaban Pelaksanaan (LPJP) Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Provinsi Sumut Tahun Anggaran 2012, dan pengesahan APBD Perubahan TA 2013.

Kemudian, agar memberikan persetujuan pengesahan APBD TA 2014 dan APBD Perubahan TA 2014. Selain itu, persetujuan pengesahan APBD TA 2015. Selain itu, agar ketiganya menyetujui LPJP APBD Tahun Anggaran 2014.

JC Sopar Tak Menguntungkan
Terkait pengajuan justice collaborator (JC) oleh Sopar Siburian, terdakwa kasus dugaan suap DPRD Sumut periode 2009-2014 dan 2014-2019, praktisi hukum Julheri Sinaga SH beranggapan, jika yang bersangkutan memanfaatkan situasi di tengah proses penyidikan yang tengah berlangsung.

“Kecuali proses hukum belum berlanjut, dia (Sopar Siburian) menawarkan diri untuk menjadi justice collborator boleh diterima akal sehat. Kalau sudah bermasalah malah jadi tersangka menawarkan diri, saya pikir tak perlu lagi. Tapi itupun pertimbangannya tetap pada penyidik (KPK). Karna apa pemanfaatannya dia menjadi JC, kalau tidak ada keuntungannya untuk apa,” ungkap Julheri kepada Sumut Pos, Rabu (28/11).

Pun begitu, kata Julheri, tidak serta merta menghapus sanksi pidana terhadap Sopar dengan mengajukan JC. Sebab terangnya, dalam undang-undang tindak pidana korupsi (Tipikor), penyelesaian aspek perdata tidak menghapus aspek pidana. “Artinya, walaupun uang yang diduga dikorupsi itu dikembalikan, tidak secara otomatis menghapuskan perbuatan pidananya. Meringankan bisa jadi. Jadi jangan sementang udah dibayar, terus dihapus pidana. Ndak mungkin, azasnya tidak seperti itu, tetap proses hukum harus berjalan,” tegasnya.

Julheri sendiri beranggapan, pengajuan JC bagi seorang tersangka dinilai sebagai suatu target. “Bisa saja keinginan hukumannya lebih ringan, atau bisa saja memang itikadnya baik. Kalau sudah berjalan proses hukum, ya itu tidak bisa lagi. Kecuali mungkin (subjektif), penyidik menganggap keterangan dia sangat dibutuhkan kalau bertindak sebagai JC. Tapi dengan ada putusan dari berbagai pihak, saya pikir nggak dibutuhkan lagi, karna sudah ada hukuman,” urainya.

Diapun tidak mempersoalkan bila 38 tersangka kasus suap mantan Gubernur Sumut, Gatot Pujo Nugroho mengajukan JC. Kata Julheri, hal itu akan lebih bagus untuk memudahkan proses hukum. “Cuma yang mau diambil keterangannya apa? Dengan kemampuan penyidik kan tak perlu dia menjadi JC, kan sudah cukup bukti. Keterangan mereka dipersidangan kan sudah menjadi dasar untuk menghukum yang lain. Banyak bukti kok, dalam pidana itu ada 5 bukti yang bisa dijadikan dasar,” pungkas Julheri. (bbs/adz/man)

Artikel Terkait

spot_imgspot_imgspot_img

Terpopuler

Artikel Terbaru

/