26 C
Medan
Wednesday, June 26, 2024

Penggali Nilai Ulos

Midian Sefnat Sihombing

Seperti suku bangsa lainnya, Batak memiliki kebudayaan sebagai investasi untuk mewujudkan kesejahteraan. Hal inilah yang direalisasikan Midian Sefnat Sihombing.

Ditemui di kediamannya Jalan Sei Belutu No.30 Medan, pria yang akrab disapa Mardi ini dengan lugas memberi penjelasan perihal jungkit. Jungkit adalah sebutan bagi teknik pembuatan kain pada masyarakat Batak yang dalam masyarakat Palembang disebut songket. “Semua kain tradisional termasuk Batak mengenal apa yang disebut menyisip benang tambahan ke kain. Ulos sendiri sangat istimewa karena menggunakan beragam teknik penyisipan yang saya sebut dengan double jungkit. Ini yang belum banyak dipahami masyarakat Batak. Jadi orang Batak itu sendiri yang membuat nilai ulos menjadi rendah,” buka Mardi.

Menurut alumnus Fashion Design Bunka Jakarta dan Esmod Jakarta juga sempat mengecap pendidikan di Tekstil Institut Kesenian Jakarta ini, ulos diciptakan oleh leluhur bangsa Batak memiliki nilai-nilai filosofi. Baik dalam pemilihan ragi (motif tenun ikat) hingga penggunaannya. Sebut saja ulos ragi otang yang mengambil unsur rotan atau ragi hidup dari unsur pria dan wanita yang menyatu untuk membuat kehidupan baru.

Dari penggalian yang dilakukan, Mardi bahkan berhasil menemukan keberadaan ulos na nidondang. Kain ini  ditenun dengan menggunakan benang yang didatangkan khusus dari Barus dan dihiasi dengan batu permata. Ulos na nidondang dan ulos runjat dulunya hanya digunakan oleh keluarga raja.

Semua kekayaan tadi coba diangkat lewat inovasi yang dilakukan. Pemilahan benang yang dilakukan secara manual juga minus pewarna kimia membuat kain terasa halus. Untuk benang sendiri, Mardi tak sungkan menggunakan sutra. Demikian pula untuk ragi yang menghasilkan efek cahaya. “Jungkit tidak pernah tergantung kepada benang yang digunakan. Untuk pewarna saya gunakan unsur alam seperti dari enceng gondok, bambu, hariara, harimotting,” tegasnya.

Tak heran karya suami dari Lusi Nainggolan ini dihargai dengan nilai yang tinggi dari Rp5,5 juta hingga Rp50 juta. Tidak itu saja, jungkit buatannya dikabarkan sudah melambai di luar negeri hingga Eropa. Berbagai penghargaan pun berhasil diraih sepanjang 2010 lalu. Terakhir dirinya menggelar pameran tunggal jungkit pada Grand Opening Museum Batak oleh Presiden Republik Indonesia Susilo Bambang Yudhoyono di Soposurung Balige belum lama ini.
Ketertarikan Mardi sendiri terhadap seni sudah ada dari masa kanak-kanak. Diturunkan dari kedua orangtua kepada ketiga saudaranya meskipun hanya Mardi yang konsekuen dengan jalannya. Mardi memulai karir berkesenian pada 1980-an dengan membentuk sanggar seni. Dari bernyanyi, tari, juga drama turut digarap. Untuk selanjutnya melanjutkan pendidikan di Jakarta. “Sekarang ini seniman juga harus sekolah atau tidak akan pernah bisa memberi kontribusi positif,” ketusnya.

Dengan modal yang ada, bapak dari Nantinka Sihombing (7 bulan) ini memulai penggalian terhadap karya-karya sang leluhur. Tidak cukup dengan literatur, Mardi juga menjelajah ke berbagai daerah mencari masukan untuk sebuah karya yang fenomenal. Dan, Mardi akan terus melanjutkan langkah untuk kebangkitan kebudayaan Batak. (jul)

Bangun Rumah Kreatif untuk Remaja

KeberHasilan melewati banyak rintangan memberi Mardi sebuah pemahaman baru. Bahwa prestasi tidak diraih dengan instan. Perlu proses panjang yang dimulai sejak dini.

“Dulu memang menjadi artis modal tampang sudah bisa. Tapi sekarang ini tak laku lagi yang seperti itu. Gitu juga tawaran-tawaran dari agency untuk membuat orang jadi artis itu tidak betul,” tegas Mardi.

Menyadari hal itu,  dirinya mendirikan Rumah Kreatif Merdi Sihombing yang rencananya akan diluncurkan Mei mendatang. Dengan konsep pembinaan Rumah Kreatif Mardi Sihombing akan memulai pembinaan untuk usia lima sampai 15 tahun. Diawali pelatihan dasar modeling, catwalk, hingga akting agar anak didiknya memiliki kemampuan yang bida diandalkan nantinya. Pasalnya, selain latihan dasar tersebut, Mardi juga memberikan pengetahuan lain yang mendukung. Maksudnya, agar si anak lebih kaya. “Untuk modeling kita akan berikan latihan dasar balet untuk melatih kelenturan. Di situ anak-anak juga kita ajar bagaimana mendandani diri sendiri sesuai dengan konteks kegiatan. Akting sebagai komplikasi kehidupan sehingga pelatihan ini juga dapat mempersiapkan si anak untuk menghadapi persaingan global,” paparnya. (jul)

Midian Sefnat Sihombing

Seperti suku bangsa lainnya, Batak memiliki kebudayaan sebagai investasi untuk mewujudkan kesejahteraan. Hal inilah yang direalisasikan Midian Sefnat Sihombing.

Ditemui di kediamannya Jalan Sei Belutu No.30 Medan, pria yang akrab disapa Mardi ini dengan lugas memberi penjelasan perihal jungkit. Jungkit adalah sebutan bagi teknik pembuatan kain pada masyarakat Batak yang dalam masyarakat Palembang disebut songket. “Semua kain tradisional termasuk Batak mengenal apa yang disebut menyisip benang tambahan ke kain. Ulos sendiri sangat istimewa karena menggunakan beragam teknik penyisipan yang saya sebut dengan double jungkit. Ini yang belum banyak dipahami masyarakat Batak. Jadi orang Batak itu sendiri yang membuat nilai ulos menjadi rendah,” buka Mardi.

Menurut alumnus Fashion Design Bunka Jakarta dan Esmod Jakarta juga sempat mengecap pendidikan di Tekstil Institut Kesenian Jakarta ini, ulos diciptakan oleh leluhur bangsa Batak memiliki nilai-nilai filosofi. Baik dalam pemilihan ragi (motif tenun ikat) hingga penggunaannya. Sebut saja ulos ragi otang yang mengambil unsur rotan atau ragi hidup dari unsur pria dan wanita yang menyatu untuk membuat kehidupan baru.

Dari penggalian yang dilakukan, Mardi bahkan berhasil menemukan keberadaan ulos na nidondang. Kain ini  ditenun dengan menggunakan benang yang didatangkan khusus dari Barus dan dihiasi dengan batu permata. Ulos na nidondang dan ulos runjat dulunya hanya digunakan oleh keluarga raja.

Semua kekayaan tadi coba diangkat lewat inovasi yang dilakukan. Pemilahan benang yang dilakukan secara manual juga minus pewarna kimia membuat kain terasa halus. Untuk benang sendiri, Mardi tak sungkan menggunakan sutra. Demikian pula untuk ragi yang menghasilkan efek cahaya. “Jungkit tidak pernah tergantung kepada benang yang digunakan. Untuk pewarna saya gunakan unsur alam seperti dari enceng gondok, bambu, hariara, harimotting,” tegasnya.

Tak heran karya suami dari Lusi Nainggolan ini dihargai dengan nilai yang tinggi dari Rp5,5 juta hingga Rp50 juta. Tidak itu saja, jungkit buatannya dikabarkan sudah melambai di luar negeri hingga Eropa. Berbagai penghargaan pun berhasil diraih sepanjang 2010 lalu. Terakhir dirinya menggelar pameran tunggal jungkit pada Grand Opening Museum Batak oleh Presiden Republik Indonesia Susilo Bambang Yudhoyono di Soposurung Balige belum lama ini.
Ketertarikan Mardi sendiri terhadap seni sudah ada dari masa kanak-kanak. Diturunkan dari kedua orangtua kepada ketiga saudaranya meskipun hanya Mardi yang konsekuen dengan jalannya. Mardi memulai karir berkesenian pada 1980-an dengan membentuk sanggar seni. Dari bernyanyi, tari, juga drama turut digarap. Untuk selanjutnya melanjutkan pendidikan di Jakarta. “Sekarang ini seniman juga harus sekolah atau tidak akan pernah bisa memberi kontribusi positif,” ketusnya.

Dengan modal yang ada, bapak dari Nantinka Sihombing (7 bulan) ini memulai penggalian terhadap karya-karya sang leluhur. Tidak cukup dengan literatur, Mardi juga menjelajah ke berbagai daerah mencari masukan untuk sebuah karya yang fenomenal. Dan, Mardi akan terus melanjutkan langkah untuk kebangkitan kebudayaan Batak. (jul)

Bangun Rumah Kreatif untuk Remaja

KeberHasilan melewati banyak rintangan memberi Mardi sebuah pemahaman baru. Bahwa prestasi tidak diraih dengan instan. Perlu proses panjang yang dimulai sejak dini.

“Dulu memang menjadi artis modal tampang sudah bisa. Tapi sekarang ini tak laku lagi yang seperti itu. Gitu juga tawaran-tawaran dari agency untuk membuat orang jadi artis itu tidak betul,” tegas Mardi.

Menyadari hal itu,  dirinya mendirikan Rumah Kreatif Merdi Sihombing yang rencananya akan diluncurkan Mei mendatang. Dengan konsep pembinaan Rumah Kreatif Mardi Sihombing akan memulai pembinaan untuk usia lima sampai 15 tahun. Diawali pelatihan dasar modeling, catwalk, hingga akting agar anak didiknya memiliki kemampuan yang bida diandalkan nantinya. Pasalnya, selain latihan dasar tersebut, Mardi juga memberikan pengetahuan lain yang mendukung. Maksudnya, agar si anak lebih kaya. “Untuk modeling kita akan berikan latihan dasar balet untuk melatih kelenturan. Di situ anak-anak juga kita ajar bagaimana mendandani diri sendiri sesuai dengan konteks kegiatan. Akting sebagai komplikasi kehidupan sehingga pelatihan ini juga dapat mempersiapkan si anak untuk menghadapi persaingan global,” paparnya. (jul)

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/