Mungkin, bagi sebagian orang, menjadi Pegawai Negeri Sipil (PNS) adalah pilihan utama. Bagi Rasyid Assaf Dongoran (35), status itu malah membuatnya tak bisa nyaman. Maka, tanpa pikir panjang, dia keluar dan langsung masuk hutan.
“Jadi PNS bukan dunia saya,” tegas Rasyid yang meninggalkan status PNS-nya di sebuah instansi di Kota Medan pada awal 2010 lalu itu.
Begitulah, kini lajang ini meneruskan ketertarikannya terhadap alam dengan konsern di bidang konservasi lingkungan hidup. Putra sulung dari pasangan Almarhum Aslin Dongoran SH dan Maskot Boru Ritonga ini melanjutkan perjuangannya melalui Sumatera Rainforest Institute, lembaga yang dibentuknya 2002 silam. Ya, mencoba menata kembali hutan dan satwa untuk menghadirkan rantai biologi yang baik. Dengan menerapkan ilmu yang didapatnya dari Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam jurusan Biologi Konservasi Universitas Sumatera Utara, usaha tersebut tidak hanya memberinya kebebasan materi. Juga membuka lapangan pekerjaan bagi masyarakat.
“Intinya apa pun disiplin ilmu yang kita punya asal ditekuni dan dilengkapi dengan berbagai keterampilan, kesempatan itu akan terbuka lebar. Kita pasti dicari. Nanti tidak hanya untuk membebaskan diri kita tapi juga membuka kesempatan bagi masyarakat,” paparnya.
Lewat Sumatera Rainforest Institute, Rasyid pun berkontribusi terhadap kelestarian lingkungan hidup dengan menyusun beberapa program. Seperti penanaman hutan dan pelestarian satwa. Program yang dilakukan untuk membangun kesadaran masyarakat akan pentingnya hutan bagi masyarakat yang dilakukan di Aceh, Mandailing Natal, Padang Lawas, dan Tapanuli Selatan.
Menariknya dalam menjalankan program tersebut Rasyid mengaku tidak menggunakan dana dari pemerintah. Justru dari lembaga pendanaan luar negeri yang didapat lewat penelusuran di internet. Sebut saja Kaidanren Nature Conservation Fund lembaga asal Jepang 2006-2009, WWF 2008-2010, dan The Mohammed Bin Zayid Conservation Fund untuk program 2011 ini.
“Kita mulai saja dengan pemetaan masalah yang ada. Lalu kita tentukan prioritas dari masalah tersebut dan metode yang akan kita gunakan. Untuk pendanaan kita bisa tanya sama “Paman Google” dengan kata kunci small grand (dana hibah). Begitu pun kita harus selektif dan berani bilang tidak bila itu tidak sesuai dengan ideologi dan semangat nasionalisme kita,” beber sulung dari empat bersaudara ini.
Begitu pun keputusan yang dibuat Rasyid bukan tanpa tantangan. Perjalanan keluar masuk hutan dan medan yang berat beberapa kali bahkan hampir merengut nyawanya. Seperti saat menggelar investigasi di Sungai Aras Napal Leuser 2003 silam. Perjalanan panjang membuat kakinya kram saat tengah melintasi sungai Aras Napal. Pun saat investigasi kasus illegal logging di Kabupaten Karo 2004 silam dimana dirinya nyaris terjatuh ke dalam jurang. Sekalipun selamat dirinya masih harus bergulat dengan dinginnya udara pegunungan yang baru diguyur air hujan.
Begitu juga dengan sikap antipati masyarakat terhadap lembaga sejenis Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) dan Non Govermen Organitation (NGO) menjadi tantangan terberat. Saat mengkampanyekan pentingnya hutan bagi masyarakat di daerah Skoci Kabupaten Langkat akhir 2004 lalu, Rasyid dkk dikejar-kejar penduduk yang membawa senjata tajam. “Masyarakat cukup alergi dengan hal yang berbau LSM dan NGO yang dimata mereka sama dengan organisasi preman. Menggerogoti dana APBD tanpa pemberdayaan terhadap masyarakat,” cetusnya.
Nah, apa yang telah dilakukan dan dirasakannya itu lalu didokumentasikan dalam dua judul buku yang ditulisnya yaitu “Suara Rimba Alam: Lestarikan Leuser Kebanggaan. Indonesia.” USU Press Medan: 2004. dan buku “Upaya Meretas Menggalang Aspirasi: Menuju kebangkitan Subsektor Tanaman pangan, Hortikultura dan Perkebunan Berkelanjutan.” Perdana Publishing Medan: 2010. (jul)
—
Sempat Gagal Masuk Militer
Perjalanan hidup seseorang memang bak misteri. Demikian pula Rasyid Assaf Dongoran yang akhirnya terjun di bidang konservasi lingkungan hidup. Padahal, sebelumnya dirinya malah sangat ingin bergabung dengan dunia kemiliteran.
“Sebenarnya waktu kecil saya punya cita-cita masuk militer. Tapi, karena SMA saya harus pakai lensa, ya, tak jadi,” kenang Rasyid.
Namun hal itu tidak mengurangi semangatnya menjaga martabat negara Indonesia dengan melibatkan diri dalam kegiatan-kegiatan gerakan pecinta alam di SMAN 2 Bukit Tinggi tempatnya menuntut ilmu. Di situlah ketertarikan Rasyid tumbuh subur dan berlanjut di perguruan tinggi.
Dirinya sadar hanya dengan mengasah segenap potensi untuk bisa berbuat kepada orang lain. Berbagai pengetahuan pun dipelajari baik managemen, bahasa, hingga penggunaan teknologi informasi. Dengan semua itu dirinya masuk ke lingkungan internasional saat bergabung di Local Governance Support Program (LGSP) USAID lembaga internasional di bidang pengelolaan pemerintahan 2006-2007. Berlanjut di German Agro Action lembaga pengembangan pertanian berkelanjutan 2007-2008. Juga Islamic Relief World Wild yang membidangi pertanian.
Kini dirinya pun kembali untuk mengembangkan Sumatera Rainforest Institute yang didirikannya 2002 silam. Selain melanjutkan pergerakannya menyelamatkan kelangsungan lingkungan hidup, juga menghasilkan individu-individu bebas dengan mengasah semua potensi yang dimiliki.
“Cita-cita saya sekarang yaitu mendidik generasi muda untuk terampil di bidangnya. Sumatera Rainforest Institut ini nantinya akan menjadi lembaga pendidikan kedua untuk banyak hal. Tidak hanya pertanian juga kehutanan, satwa, hingga keuangan atau manajemen,” pungkasnya. (jul)