26 C
Medan
Saturday, November 23, 2024
spot_img

Semua karena Bola

Suharto

Sebagai anggota Tentara Nasional Indonesia berpangkat Pembantu Letnan Dua (Pelda), Suharto bisa dikatakan tidak biasa. Pasalnya, tokoh yang kini berdinas di Jasmani Komando Daerah Militer (Jasdam) I Bukit Barisan jadi tentara karena sepak bola. Kini, dia malah jadi pelatih sepak bola mumpuni.

Ya, lewat keinginan yang kuat disertai semangat untuk terus meraih kemajuan Suharto bisa tampil memukau di lapangan hijau. Berbagai prestasi yang diraih pun tidak hanya mendatangkan pujian dan penghargaan.

Kemahirannya mengolah si kulit bundar itu pula yang memberinya jaminan kehidupan sekarang ini.
“Saya masuk TNI ini, ya, dari sepak bola. Sekarang ini justru pemain sepak bola mempunyai masa depan yang cerah. Lebih berkemungkinan untuk kaya,” buka Suharto yang ditemui dikediamannya Jalan Karya Jaya Gang Karya X No 3 Titi Kuning-Medan, Jumat (3/6) malam.

Suharto lalu menuturkan bila semua yang didapat saat ini pun tidak datang dengan sendirinya. Tetapi melalui semangat yang tak pernah berhenti untuk meraih kemajuan di setiap penampilannya sebagai penyerang. Meskipun untuk itu, dalam satu minggu, dirinya hanya memiliki waktu satu hari untuk istirahat. Mengawali karir di usia 16 tahun  Suharto kecil bergabung dengan PS Domino Junior sebelum memperkuat PS Domino meramaikan kompetisi PSMS di usia 18 tahun. Pada 1984 Suharto dipercaya memperkuat PS Rambung Sialang (PSRS) saat menundukkan PSAD dengan skor 4-1. Tiga gol yang disumbangkan membuat putra ketiga dari 10 bersaudara ini ditarik masuk TNI sekaligus memperkuat PSAD yang ikut meramaikan kompetisi PSMS.

Penampilannya saat tampil di kompetisi PSMS 1995 pun dilirik untuk kemudian dipilih meramaikan seleksi yang digelar PSMS untuk mengisi bangku cadangan. Jadilah Suharto bergabung dengan 174 peserta untuk memperebutkan tujuh kursi cadangan di skuad PSMS kala itu. “Kala itu seleksi memang ketat dan yang masuk PSMS itu memang pemain berkualitas. Saya cuma berpikir, kalau mereka bisa, saya juga harus bisa. Karena suatu kebanggaan ketika itu bagi pemain bila mengenakan kostum PSMS,” kenangnya.

Untuk mewujudkan ambisinya itu, hari demi hari dilalui dengan latihan dan latihan. Tak sungkan dirinya meminta pendapat dari pelatih untuk menutupi kelemahan sehingga siap melakoni seleksi yang ketat. Apalagi ketika itu ada Yusni, Syamsir Alamsyah, dan striker hebat lainnya.  Buahnya, tidak hanya lulus, dirinya turut mengantar Sumatera Utara (Sumut) meraih medali emas pada Pekan Olahraga Nasional (PON) XII setelah di partai final menundukkan Jawa Timur dengan skor 2-1. Satu gol Suharto yang dicetak dari jarak 40 meter bahkan menjadi gol terbaik.
Konsistensi itu kembali berbuah penghargaan dari Panglima Kodam I/BB saat itu Mayjen Djoko Pramono.

Sepulangnya ke Sumut, dirinya mengikuti pendidikan sebagai Pembantu Letnan Dua (Pelda). Semua itu menjadi tanggung jawab baru dan motivasi untuk selalu memberi yang terbaik, tidak hanya sebagai pemain juga sebagai pelatih.

“Semua ini juga berkat Kajasdam I/BB Letkol Inf Indra Purnama, dia begitu pengertian dengan apa yang telah saya lakukan,” katanya. (jul)

Tekankan Kebersamaan di PSMS

Sebagai pelatih, suami dari Almarhumah Sri Rahmawati pun tidak diragukan. Di awal karir, Suharto mengantar PSMS sebagai runner up di Piala Caltex 1995. Berlanjut di tahun berikutnya menggantikan Alm Karim untuk mempertahankan PSMS tidak terdegradasi pada Liga Kansas.

Begitu juga saat menangani PS Bank Sumut sepanjang 2002-2010 menghasilkan gelar juara yang tak tergantikan. Berlanjut menangani PSMS Usia 23 dan saat menangani tim Divisi I Kalimantan. Hingga, awal Januari lalu dipercaya menangani PSMS dan mengakhiri kompetisi diperingkat delapan besar. Harga pantas untuk karir yang dipertaruhkan.
“Bukan masalah materi tapi karena prestasi PSMS yang tidak seperti saat kami sebagai pemain dulu. Begitu juga kondisi yang ada memberi saya panggilan moral untuk yang terbaik. Bagaimana pun saya dibesarkan PSMS,” tuturnya.

Dengan pendekatan personal, Suharto menghilangkan sekat yang ada di antara pemain. Setiap kesalahan dipastikan mendapat hukuman dilakukannya untuk menumbuhkan rasa kebersamaan.
“Awalnya pemain asing tidak respek dengan kita. Tapi dengan prinsip tadi mereka akhirnya paham dan bisa bekerja sama,” tegas ayah dari enam anak ini. (jul)

Suharto

Sebagai anggota Tentara Nasional Indonesia berpangkat Pembantu Letnan Dua (Pelda), Suharto bisa dikatakan tidak biasa. Pasalnya, tokoh yang kini berdinas di Jasmani Komando Daerah Militer (Jasdam) I Bukit Barisan jadi tentara karena sepak bola. Kini, dia malah jadi pelatih sepak bola mumpuni.

Ya, lewat keinginan yang kuat disertai semangat untuk terus meraih kemajuan Suharto bisa tampil memukau di lapangan hijau. Berbagai prestasi yang diraih pun tidak hanya mendatangkan pujian dan penghargaan.

Kemahirannya mengolah si kulit bundar itu pula yang memberinya jaminan kehidupan sekarang ini.
“Saya masuk TNI ini, ya, dari sepak bola. Sekarang ini justru pemain sepak bola mempunyai masa depan yang cerah. Lebih berkemungkinan untuk kaya,” buka Suharto yang ditemui dikediamannya Jalan Karya Jaya Gang Karya X No 3 Titi Kuning-Medan, Jumat (3/6) malam.

Suharto lalu menuturkan bila semua yang didapat saat ini pun tidak datang dengan sendirinya. Tetapi melalui semangat yang tak pernah berhenti untuk meraih kemajuan di setiap penampilannya sebagai penyerang. Meskipun untuk itu, dalam satu minggu, dirinya hanya memiliki waktu satu hari untuk istirahat. Mengawali karir di usia 16 tahun  Suharto kecil bergabung dengan PS Domino Junior sebelum memperkuat PS Domino meramaikan kompetisi PSMS di usia 18 tahun. Pada 1984 Suharto dipercaya memperkuat PS Rambung Sialang (PSRS) saat menundukkan PSAD dengan skor 4-1. Tiga gol yang disumbangkan membuat putra ketiga dari 10 bersaudara ini ditarik masuk TNI sekaligus memperkuat PSAD yang ikut meramaikan kompetisi PSMS.

Penampilannya saat tampil di kompetisi PSMS 1995 pun dilirik untuk kemudian dipilih meramaikan seleksi yang digelar PSMS untuk mengisi bangku cadangan. Jadilah Suharto bergabung dengan 174 peserta untuk memperebutkan tujuh kursi cadangan di skuad PSMS kala itu. “Kala itu seleksi memang ketat dan yang masuk PSMS itu memang pemain berkualitas. Saya cuma berpikir, kalau mereka bisa, saya juga harus bisa. Karena suatu kebanggaan ketika itu bagi pemain bila mengenakan kostum PSMS,” kenangnya.

Untuk mewujudkan ambisinya itu, hari demi hari dilalui dengan latihan dan latihan. Tak sungkan dirinya meminta pendapat dari pelatih untuk menutupi kelemahan sehingga siap melakoni seleksi yang ketat. Apalagi ketika itu ada Yusni, Syamsir Alamsyah, dan striker hebat lainnya.  Buahnya, tidak hanya lulus, dirinya turut mengantar Sumatera Utara (Sumut) meraih medali emas pada Pekan Olahraga Nasional (PON) XII setelah di partai final menundukkan Jawa Timur dengan skor 2-1. Satu gol Suharto yang dicetak dari jarak 40 meter bahkan menjadi gol terbaik.
Konsistensi itu kembali berbuah penghargaan dari Panglima Kodam I/BB saat itu Mayjen Djoko Pramono.

Sepulangnya ke Sumut, dirinya mengikuti pendidikan sebagai Pembantu Letnan Dua (Pelda). Semua itu menjadi tanggung jawab baru dan motivasi untuk selalu memberi yang terbaik, tidak hanya sebagai pemain juga sebagai pelatih.

“Semua ini juga berkat Kajasdam I/BB Letkol Inf Indra Purnama, dia begitu pengertian dengan apa yang telah saya lakukan,” katanya. (jul)

Tekankan Kebersamaan di PSMS

Sebagai pelatih, suami dari Almarhumah Sri Rahmawati pun tidak diragukan. Di awal karir, Suharto mengantar PSMS sebagai runner up di Piala Caltex 1995. Berlanjut di tahun berikutnya menggantikan Alm Karim untuk mempertahankan PSMS tidak terdegradasi pada Liga Kansas.

Begitu juga saat menangani PS Bank Sumut sepanjang 2002-2010 menghasilkan gelar juara yang tak tergantikan. Berlanjut menangani PSMS Usia 23 dan saat menangani tim Divisi I Kalimantan. Hingga, awal Januari lalu dipercaya menangani PSMS dan mengakhiri kompetisi diperingkat delapan besar. Harga pantas untuk karir yang dipertaruhkan.
“Bukan masalah materi tapi karena prestasi PSMS yang tidak seperti saat kami sebagai pemain dulu. Begitu juga kondisi yang ada memberi saya panggilan moral untuk yang terbaik. Bagaimana pun saya dibesarkan PSMS,” tuturnya.

Dengan pendekatan personal, Suharto menghilangkan sekat yang ada di antara pemain. Setiap kesalahan dipastikan mendapat hukuman dilakukannya untuk menumbuhkan rasa kebersamaan.
“Awalnya pemain asing tidak respek dengan kita. Tapi dengan prinsip tadi mereka akhirnya paham dan bisa bekerja sama,” tegas ayah dari enam anak ini. (jul)

Previous article
Next article

Artikel Terkait

spot_imgspot_imgspot_img

Terpopuler

Artikel Terbaru

/