Drs Maringan Panjaitan MSi
Berkaca pada pengalaman, Drs Maringan Panjaitan MSi (47) memilih merangkul untuk mengarahkan aspirasi mahasiswa ke arah yang tepat. Pendekatan persuasif menjadi panglima untuk menyelesaikan setiap gejolak yang dihadapi.
Memang, tak jarang kita mendengar berita bentrokan antara mahasiswa dan pihak birokrat kampus yang juga akademisi. Kondisi yang menurut Maringan adanya kesalahpahaman di antara kedua belah pihak. Kekakuan dari kalangan birokrat di satu sisi dan kekeliruan pemahaman di sisi mahasiswa.
“Saya juga pernah ada di kehidupan itu. Ya, layaknya anak meminta sesuatu kepada orangtua saja. Tidak ada mahasiswa itu yang bandel, mereka hanya kurang perhatian saja. Karena niat awal mahasiswa itu baik yaitu ingin belajar, jadi manusia yang berguna,” ucap Maringan kepada Sumut Pos saat ditemui di ruang kerjanya beberapa waktu lalu.
Begitu pun, dirinya tidak membantah bila terjadi penurunan jiwa kepemimpinan mahasiswa saat ini. Hal itu tampak dari cara-cara yang ditempuh mahasiswa dalam menyampaikan aspirasi. Seperti demonstrasi dibarengi dengan tindakan anarkis yang dapat merugikan masyarakat. Tindakan yang menurutnya dapat menjauhkan simpati masyarakat terhadap pergerakan mahasiswa itu tadi.
“Saya suka mahasiswa yang kreatif dan kritis. Karena dengan kritik itu tadi saya bisa melakukan koreksi untuk lebih baik lagi ke depan. Saya juga selalu mengingatkan ke teman-teman dan mahasiswa untuk selalu mengingatkan saya bila melakukan kesalahan,” tambahnya.
Untuk itu di awal masa kerjanya sebagai Wakil Rektor III Universitas HKBP Nommensen yang membidangi kemahasiswaan dan alumni, awal April 2011, Maringan menciptakan program Caracter Building untuk dilaksanakan di seluruh fakultas yang ada. Lewat pembangunan tujuh karakter pada diri mahasiswa yang nantinya adalah pemimpin di masa depan.
“Ada tujuh yang menjadi fokus dari pembangunan karakter ini yaitu bagaimana membangun mahasiswa yang cerdas, kreatif, adaptif, beradab, beretika, sopan-santun, berkarya dan inovatif. Program ini juga akan kita laksanakan di setiap fakultas, Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM), dan organisasi intrakampus secara dialogis,” paparnya.
Keinginan Maringan tersebut tak lepas dari kerasnya hidup yang dilaluinya. Sebagai putra Batak, Maringan kecil tak lepas dari kerasnya didikan yang diterapkan orangtuanya. Setiap kesalahan yang dilakukan akan dibayar dengan pukulan di tubuh. Keputusan terlibat di Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) semasa kuliah di Ilmu Politik Universitas Jayabaya lalu mengenalkannya dengan kehidupan seorang mahasiswa. (jul)
—
Tak Betah dengan Mobil Baru
Selain dekat dengan mahasiswanya, Maringan Panjaitan ternyata memiliki ketertarikan kepada otomotif khususnya pada mobil dan motor tua. Mobil Mercedes Tiger 1983 putih yang masih awet adalah buktinya.
“Ini mobil sudah saya bawa ke Balige, Tarutung, Berastagi untuk liburan bersama keluarga” aku Maringan.
Tapi keawetan tadi bukan tanpa sebab. Pria yang hobi catur dan beres-beres pekarangan ini mengaku langsung turun tangan untuk perawatan. Seperti mengganti oli dan perawatan rutin lainnya. “Saya lebih suka bengkel yang dipinggir jalan karena mereka pasti sudah ahli makanya buka sendiri. Kita juga bisa melihat langsung untuk belajar,” tambahnya.
Sebagai peminat mobil tua, Maringan mengawalinya dengan mobil Ford buatan tahun 1987. Sebelum beralih ke Mercedes Tiger 1983, Maringan sempat berkenalan dengan mobil Toyota Kijang 1996 yang tak bertahan lama. “Saya memang tidak betah dengan mobil terbaru. Mungkin karena tidak punya cukup uang ya?” ucapnya merendah. (jul)
Kini pria yang suka mencuci pakaian sendiri ini berencana menambah koleksi kendaraan tuanya. Bukan dari roda empat, Maringan mengaku membidik Vespa Congo yang legendaris. (jul)