SUMUTPOS.CO – Setelah Sierra Leone dan Nigeria, kini giliran Liberia yang mengumumkan status darurat dalam menghadapi wabah penyebaran virus ebola.
Liberia merupakan salah satu pusat penyebaran virus ebola disamping Sierra Leone, Guinea, dan Nigeria.
Presiden Liberia Ellen Johnson Sirleaf mengatakan status darurat tersebut akan diberlakukan selama 90 hari dan pada periode itu beberapa hak sipil mungkin harus dibekukan.
“Pemerintah dan rakyat Liberia memerlukan langkah luar biasa untuk keberlangsungan negara dan demi keselamatan nyawa kita semua. Ketidakpedulian dan kemiskinan, serta praktik-praktik budaya dan keagamaan yang mengakar, memperparah penyebaran penyakit ini,” kata Sirleaf.
Para pakar kesehatan sebelumnya mengatakan krisis ebola di Liberia kian buruk lantaran sebagian besar orang justru merawat kerabat yang terpapar virus di rumah ketimbang membawa mereka ke pusat isolasi.
Wabah ebola telah merebak di kawasan barat Afrika, terutama di Guinea, Sierra Leone, dan Nigeria.
Menurut Badan Kesehatan Dunia (WHO), korban meninggal akibat ebola telah mencapai 932 orang. Dari jumlah itu, sedikitnya 282 orang berasal dari Liberia.
Untuk mengatasinya, pada akhir Juli lalu, Presiden Sierra Leone telah mencetuskan keadaan darurat bagi kesehatan publik demi mencegah penyebaran virus.
Dia mengatakan lokasi pusat wabah ebola di kawasan timur negaranya akan dikarantina. Dia mengaku telah menginstuksikan aparat keamanan untuk mengetatkan penjagaan.
Sebagai bagian dari langkah pencegahan, dia juga menginstruksikan para pelancong di bandara mencuci tangan mereka dengan obat suci hama.
Langkah serupa juga ditempuh Nigeria. Menteri Kesehatan Nigeria Onyebuchi Chukwu mendeklarasikan keadaan darurat dan mengatakan bahwa “semua orang di dunia berisiko” karena penyebaran melalui udara.
Tanggap Darurat
Sementara itu, sebagai bagian dari langkah tanggap darurat, WHO akan menggelar pertemuan dengan para spesialis etika medis pekan depan.
Pendirian pusat-pusat isolasi di lokasi penyebaran virus amat krusial untuk menangani pasien. Masalahnya, sebagian besar keluarga pasien memilih merawat mereka di rumah.
Pertemuan itu akan membahas apakah metode pengobatan eksperimental guna menanggulangi virus ebola layak dilakoni.
Sebelumnya, beberapa pakar pengobatan penyakit infeksi menyerukan terapi eksperimental agar para korban bisa segera diobati.
Masyarakat dunia juga berisiko terkena virus ebola mengingat virus tersebut bisa menyebar melalui perjalanan udara.
Sejauh ini, belum ada obat atau vaksin untuk mengobati pasien yang terpapar virus ebola.
Namun, seorang pasien memiliki peluang hidup lebih tinggi apabila menerima pengobatan pada stadium awal.
Gejala-gejala awal seseorang yang terpapar virus ebola sejatinya mirip gejala flu.
Apabila virus tidak segera ditanggulangi, pasien dapat mengalami baik pendarahan eksternal, pada bagian mata dan gusi, maupun pendarahan internal.
Sejauh ini, belum ada obat atau vaksin untuk mengobati pasien yang terpapar virus ebola. (BBC)