Kedubes Israel Diserang, Tiga Tewas
KAIRO- Krisis keamanan belum berlalu dari Mesir. Unjuk rasa besar-besaran menuntut percepatan reformasi pada Jumat sore lalu (9/9) berakhir rusuh. Ratusan orang menyerang dan menghancurkan Kedutaan Besar (Kedubes) Israel di Kairo.
Kerusuhan berlanjut hingga tengah malam. Massa juga membakar mobil dan sejumlah benda serta bangunan di sekitar Kedubes Israel. Menyikapi insiden itu, kemarin (10/9) Dubes Israel Yitzhak Levanon meninggalkan Mesir. Sepeninggal Levanon, hanya tersisa satu diplomat esensial di kantor Kedubes Israel di Kairo.
Tiga orang tewas dalam bentrok antara demonstran dan aparat keamanan saat kerusuhan tersebut. Kementerian Dalam Negeri menyatakan bahwa 450 demonstran terluka. Media pemerintah melaporkan 46 polisi juga terluka.
Perdana Menteri (PM) Mesir Essam Sharaf langsung menggelar rapat kabinet darurat pagi hari kemarin untuk membahas krisis yang terjadi. Kairo pun menyatakan negara dalam kondisi siaga.
“Aksi itu merupakan puncak kemarahan dan frustrasi kaum muda Mesir terhadap Israel. Khususnya, yang terkait serangan di perbatasan kedua negara yang menewaskan lima penjaga (tentara) belum lama ini,” terang Nabil Abdel Fattah, pengamat politik senior Mesir. Meskipun berpihak pada demonstran yang menyuarakan kritik terhadap Israel, sebagian pakar politik Mesir mengecam serangan itu.
Hamdeen Sabahy, salah seorang politikus dan kandidat presiden Mesir, mengimbau militer bertindak secara tegas. “Sudah saatnya militer Mesir melakukan tindakan nyata untuk mengakomodasi kemarahan warga terhadap Israel. Dengan begitu, warga Mesir tak perlu melakukan tindakan kasar seperti ini,” ujarnya. Dia menilai bahwa tindak kekerasan hanya akan memperburuk citra Mesir.
Serangan atas kantor Kedubes Israel pada Jumat lalu itu menjadi puncak ketegangan hubungan di antara dua negara. Bulan lalu, lima penjaga perbatasan Mesir tewas di tangan pasukan Israel yang konon sedang memburu militan. Kairo pun melayangkan protes ke Tel Aviv. Hubungan Mesir dan Israel langsung memanas. Warga yang tak terima dengan insiden tersebut menggelar aksi protes di Kedubes Israel.
Bulan lalu, seorang demonstran memanjat tiang bendera di depan kantor Kedubes Israel. Dia lantas menurunkan bendera Israel yang sedang berkibar dan mengganti dengan bendera Mesir. Aksi itu kian meningkatkan ketegangan dua negara. Pemerintah Mesir pun terpaksa mendirikan tembok permanen di sekeliling Kedubes Israel untuk mencegah aksi serupa.
Tetapi, Jumat lalu tembok berhiaskan slogan anti-Israel tersebut menjadi fokus serangan. Ratusan massa memanjat tembok itu dan kemudian merobohkannya. “Kini, kami telah mendapatkan kembali martabat kami,” ujar Mohi Alaa, 24, salah seorang demonstran dalam unjuk rasa di Kedubes Israel. Dengan runtuhnya tembok pelindung itu, tambah dia, Mesir telah kembali sejajar dengan Israel.
Kemarin Presiden AS Barack Obama pun angkat suara terkait insiden tersebut. Obama mengimbau supaya Mesir menghormati kesepakatan internasional soal misi diplomatik asing. “(Pemerintah) Mesir wajib melindungi kantor perwakilan Israel di sana,” seru Obama. Dia berjanji kepada PM Israel Benjamin Netanyahu untuk segera menyelesaikan krisis politik yang melanda dua negara tersebut.
Kecaman terhadap Mesir juga datang dari Bahrain yang selama ini seperti kebanyakan negara Arab selalu bersikap kritis kepada Israel. “Dengan tidak melindungi Kedubes Israel di Kairo itu berarti (Mesir) telah melanggar Konvensi Wina 1961 tentang hubungan diplomatik,” ujar Menteri Luar Negeri Bahrain Sheikh Khaled bin Ahmad al-Khalifa.
Mesir merupakan satu dari dua saja negara Arab yang memiliki hubungan diplomatik dengan Israel. Satunya lagi adalah Jordania. Tapi, seiring tingginya tekanan publik, bukan tak mungkin, Mesir bakal segera memutuskan relasi bilateral ini.
Kalau itu benar terjadi, posisi Israel jelas bakal makin terpojok. Sebab, hubungan mereka dengan Turki juga tengah panas-panasnya. Istanbul sudah mengusir duta besar Tel Aviv dan memutuskan kerja sama militer dan perdagangan. Itu menyusul penolakan Israel meminta maaf atas tewasnya sembilan warga Turki karena serangan pasukan khusus Angkutan Laut Israel terhadap rombongan Freedom Flotilla pada 31 Mei 2010.
Perdana Menteri Turki Recep Tayyip Erdogan sudah mengancam akan mengirimkan kapal perang untuk mengawal kapal-kapal sipil Turki yang hendak menuju Jalur Gaza yang diblokade wilayah daratnya oleh Israel. Ancaman itu dibalas gertakan dari Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu yang menyatakan kalau Israel bakal melakukan apa saja untuk mempertahankan diri.
“Kami akan menahan diri. Kami meminta Turki juga melakukan hal yang sama,” kata Netanyahu.
Kerusuhan kemarin merupakan yang terburuk sejak Israel mulai mendirikan kedutaan di Mesir pada 1979. Banyak pihak di Israel meyakini, Dewan Militer yang berkuasa di Mesir sejak sepeninggal Hosni Mubarak dan dikepalai Hussein Tantawi tak akan mampu mengendalikan situasi di Negeri Pharaoh tersebut.
“Ini adalah situasi anarkis total. Dewan Militer itu berjarak dari anak-anak muda Mesir. Tak ada seorang pun dari Dewan Militer yang bisa berkata kepada rakyat Mesir, “cukup sudah, hentikan semua ini, kita punya masalah besar. Kita harus memulihkan perekonomian”,” ujar Zvi Mazel, mantan dubes Israel untuk Mesir.
Di era Mubarak, Mesir menjadi tembok pelindung kukuh bagi Israel. Mereka menutup perbatasan dengan Jalur Gaza yang memaksa warga wilayah yang dikuasai Hamas itu untuk membuat terowongan guna menyelundupkan berbagai kebutuhan hidup.
Atas kebijakannya itu, rezim Mubarak mendapat kompensasi berupa bantuan perekonomian dalam jumlah besar dari Amerika Serikat, negeri “induk” Israel. Tapi, bantuan tersebut kebanyakan dibuat bancakan Mubarak dan kroni-kroninya. (AFP/AP/RTR/BBC/hep/dwi/jpnn)