30 C
Medan
Monday, May 6, 2024

Anak-anak Syria Tak Bermasa Depan

Anak-anak di Suriah. Mereka dinilai tidak memiliki masa depan cerah karena konflik di negaranya.
Anak-anak di Suriah. Mereka dinilai tidak memiliki masa depan cerah karena konflik di negaranya.

AMMAN, SUMUTPOS.CO – Krisis Syria yang berlangsung selama hampir tiga tahun belum menunjukkan tanda-tanda akan berakhir. Hingga kemarin (11/3), korban jiwa masih terus berjatuhan. Selain korban jiwa dan terluka, kemelut politik di republik tepi Laut Mediterania itu melahirkan generasi anak-anak yang putus harapan.

PBB menyatakan, krisis yang oleh sebagian media disebut perang sipil Syria itu berdampak serius bagi sedikitnya 5,5 juta anak. Angka tersebut meningkat dua kali lipat dibandingkan dengan tahun lalu. Mereka rata-rata terjebak di area pertempuran yang tidak pernah sepi oleh kontak senjata. Sementara itu, sebagian lainnya terperangkap di daerah-daerah yang terisolasi gara-gara permusuhan oposisi dan pasukan pemerintah.

Dalam laporan tahunannya bertajuk Under Siege — The Devastating Impact on Children of Three Years of Conflict in Syria, UNICEF menyatakan bahwa situasi Syria berpotensi menjadi lebih buruk. Karena itu, jumlah anak-anak yang menjadi korban perang dan terpaksa tidak bisa bersekolah atau menikmati masa kecil mereka pun semakin bertambah.

“Anak-anak Syria yang tidak mendapatkan bantuan apa pun, tinggal di tengah-tengah reruntuhan, dan harus bersusah payah mencari makanan tersebut harus bertahan hidup tanpa jaminan perlindungan keamanan, perawatan kesehatan, serta pendampingan psikologi,” papar UNICEF dalam laporan tertulisnya. Selain itu, menurut salah satu badan PBB tersebut, anak-anak Syria terpaksa tidak bisa menikmati pendidikan.

Mereka yang setiap hari hidup dalam ketakutan dan ketidakpastian itu juga kehilangan hak untuk menjadi pintar. Sebab, di wilayah rawan konflik, tidak ada sekolah yang berani buka. Nyaris tidak ada aktivitas ekonomi atau pendidikan di kawasan seperti itu. Warga cenderung mengurung diri di dalam rumah untuk menghindari peluru nyasar atau tembakan sniper dan pesawat tempur.

Direktur Eksekutif UNICEF Anthony Lake mengungkapkan, saat ini ada sekitar satu juta bocah Syria yang terpaksa hidup dalam ketakutan. Sebab, mereka tinggal di wilayah rawan konflik yang tidak terjangkau oleh bantuan kemanusiaan. Sedangkan sekitar dua juta bocah Syria lainnya membutuhkan pendampingan psikologi dan dukungan mental karena trauma.

“Bagi anak-anak Syria, peristiwa sekitar tiga tahun terakhir merupakan episode hidup paling lama yang harus mereka jalani. Apakah harus selamanya mereka bertahan dalam penderitaan seperti ini?” ucap Lake. Selain bocah Syria yang telantar di wilayah konflik, penderitaan serupa harus dialami anak-anak yang tinggal di kamp-kamp pengungsian.

Lake menyebutkan, krisis Syria yang pecah mulai 15 Maret 2011 itu merupakan penghancur generasi muda. “Masa depan sekitar 5,5 juta anak-anak Syria yang hidup di area konflik maupun di pengungsian harus bertahan di tengah layanan kesehatan dan pendidikan yang sangat buruk serta tekanan psikologi yang sangat tinggi. Ditambah kondisi ekonomi yang buruk, anak-anak itu jelas tidak punya masa depan,” paparnya. (AP/AFP/hep/c15/tia)

Anak-anak di Suriah. Mereka dinilai tidak memiliki masa depan cerah karena konflik di negaranya.
Anak-anak di Suriah. Mereka dinilai tidak memiliki masa depan cerah karena konflik di negaranya.

AMMAN, SUMUTPOS.CO – Krisis Syria yang berlangsung selama hampir tiga tahun belum menunjukkan tanda-tanda akan berakhir. Hingga kemarin (11/3), korban jiwa masih terus berjatuhan. Selain korban jiwa dan terluka, kemelut politik di republik tepi Laut Mediterania itu melahirkan generasi anak-anak yang putus harapan.

PBB menyatakan, krisis yang oleh sebagian media disebut perang sipil Syria itu berdampak serius bagi sedikitnya 5,5 juta anak. Angka tersebut meningkat dua kali lipat dibandingkan dengan tahun lalu. Mereka rata-rata terjebak di area pertempuran yang tidak pernah sepi oleh kontak senjata. Sementara itu, sebagian lainnya terperangkap di daerah-daerah yang terisolasi gara-gara permusuhan oposisi dan pasukan pemerintah.

Dalam laporan tahunannya bertajuk Under Siege — The Devastating Impact on Children of Three Years of Conflict in Syria, UNICEF menyatakan bahwa situasi Syria berpotensi menjadi lebih buruk. Karena itu, jumlah anak-anak yang menjadi korban perang dan terpaksa tidak bisa bersekolah atau menikmati masa kecil mereka pun semakin bertambah.

“Anak-anak Syria yang tidak mendapatkan bantuan apa pun, tinggal di tengah-tengah reruntuhan, dan harus bersusah payah mencari makanan tersebut harus bertahan hidup tanpa jaminan perlindungan keamanan, perawatan kesehatan, serta pendampingan psikologi,” papar UNICEF dalam laporan tertulisnya. Selain itu, menurut salah satu badan PBB tersebut, anak-anak Syria terpaksa tidak bisa menikmati pendidikan.

Mereka yang setiap hari hidup dalam ketakutan dan ketidakpastian itu juga kehilangan hak untuk menjadi pintar. Sebab, di wilayah rawan konflik, tidak ada sekolah yang berani buka. Nyaris tidak ada aktivitas ekonomi atau pendidikan di kawasan seperti itu. Warga cenderung mengurung diri di dalam rumah untuk menghindari peluru nyasar atau tembakan sniper dan pesawat tempur.

Direktur Eksekutif UNICEF Anthony Lake mengungkapkan, saat ini ada sekitar satu juta bocah Syria yang terpaksa hidup dalam ketakutan. Sebab, mereka tinggal di wilayah rawan konflik yang tidak terjangkau oleh bantuan kemanusiaan. Sedangkan sekitar dua juta bocah Syria lainnya membutuhkan pendampingan psikologi dan dukungan mental karena trauma.

“Bagi anak-anak Syria, peristiwa sekitar tiga tahun terakhir merupakan episode hidup paling lama yang harus mereka jalani. Apakah harus selamanya mereka bertahan dalam penderitaan seperti ini?” ucap Lake. Selain bocah Syria yang telantar di wilayah konflik, penderitaan serupa harus dialami anak-anak yang tinggal di kamp-kamp pengungsian.

Lake menyebutkan, krisis Syria yang pecah mulai 15 Maret 2011 itu merupakan penghancur generasi muda. “Masa depan sekitar 5,5 juta anak-anak Syria yang hidup di area konflik maupun di pengungsian harus bertahan di tengah layanan kesehatan dan pendidikan yang sangat buruk serta tekanan psikologi yang sangat tinggi. Ditambah kondisi ekonomi yang buruk, anak-anak itu jelas tidak punya masa depan,” paparnya. (AP/AFP/hep/c15/tia)

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/