29 C
Medan
Friday, November 22, 2024
spot_img

Ikuti Kegigihan yang Pernah Ditempuh Jurnalis Indonesia

Dawit Isaak Hadir lewat Foto saat Dianugerahi Pena Emas di Wina, Austria

Di tengah serunya bergelut ide tentang bagaimana beradaptasi dengan perubahan zaman, Kongres Surat Kabar Sedunia tak melupakan tradisi merawat kebebasan pers. Forum diajak menengok nasib Dawit Isaak dari Eritrea yang hilang sejak 2005. Dawit mendapat Pena Emas, penghargaan yang juga pernah diterima jurnalis Indonesia.

ROHMAN BUDIJANTO, Wina

DAWIT Isaak menelepon keluarganya di Swedia bahwa dirinya akan pulang. Keluarganya gembira karena wartawan gigih itu dilepaskan setelah ditahan pemerintah Eritrea sejak empat tahun sebelumnya, 2001.

Tapi, telepon pada 2005 tersebut menjadi telepon terakhir. Dia ‘menghilang’ hingga kini. Hanya foto yang muncul saat dirinya menerima Golden Pen Award dalam Kongres Surat Kabar Sedunia atau World Association of Newspapers and News Publishers (WAN-IFRA) 2011 di Wina Austria, Kamis lalu (13/10).

Adiknya, Isaias Isaak, tak kuasa menahan kepiluan saat naik panggung mewakili Dawit. Setiap mengawali kalimat untuk menyambut Pena Emas itu kata-katanya selalu berlanjut dengan isak tangis. Begitu berulang-ulang. Akhirnya, kata-kata yang jelas hanyalah, “Thank you.”

Dengan air mata bercucuran, dia turun panggung. Forum yang dihadiri sekitar seribu tokoh pers dunia itu pun senyap oleh keharuan. Dawit mendapat penghargaan sebagai pejuangn
kebebasan pers. Sosok itu mengungsi ke Swedia tatkala bangsanya, Eritrea, kacau karena dijajah Ethiopia yang sama-sama miskin. Dua bangsa itu bertetangga di wilayah Tanduk Afrika. Meski sudah mendapat kewarganegaraan Swedia, ketika Eritrea merdeka pada 1993, Dawit memilih kembali ke tanah airnya yang semrawut tersebut. Dia menikahi Sofia Berhane, punya tiga anak, dan tetap melanjutkan perjuangan.

Dawit menempuh medan perjuangan yang rawan: pers. Dia turut mendirikan koran Setit. Koran yang dinamai dari sungai utama di negaranya tersebut kemudian menjadi yang paling berpengaruh. Koran itu menjadi amplifier semangat kemajuan dan kebebasan. Di antaranya, memublikasikan petisi 15 anggota parlemen agar memulihkan demokrasi dan penyelidikan atas penyebab perang dengan Ethiopia pada 1998-2000. Perang itu terjadi karena Eritrea menginvasi Ethiopia, tapi kalah.

Suara akal sehat itu dinilai lain oleh Presiden Isayas Afewerki. Reaksi khas rezim otoriter pun terjadi, semua koran kritis ditutup. Dawit dipenjarakan sejak 23 September 2001 bersama 13 jurnalis serta 11 di antara 15 anggota parlemen vokalis itu. Mereka disekap tanpa akses ke dunia luar. Kabarnya, Dawit menjadi tahanan nomor 36 di Penjara Eira Eiro yang berada di utara ibu kota Asmara. Jumlah tahanan tersebut menyusut karena 15 orang dirumorkan meninggal. Tak seorang pun tahanan itu dikenai tuduhan resmi di pengadilan.

Pemenjaraan tersebut menggugah pemerintah Swedia untuk mengupayakan pembebasan Dawit. Pada awal penahanannya, konsul Swedia berhasil berbicara beberapa patah kata dengan Dawit. Pada 2005, bahkan, Dawit dilepas untuk bertemu dokter karena sakit. Saat itulah dia menelepon keluarganya yang diungsikan di Gothenburg, Swedia, bahwa dirinya akan ‘pulang’ ke negeri keduanya tersebut. Tanpa sempat keluar dari Eritrea, dia ditahan lagi. Hingga kini, posisi penderita diabetes itu tak diketahui.

Selain pemerintah Swedia, adiknya terus-menerus mengampanyekan pembebasan Dawit. Isaias menggandeng organisasi jurnalis Swedia serta organisasi internasional seperti Reporters without Borders dan Amnesty International. Mereka membuka situs www.freedawit.com. Pada 27 Maret 2009, empat koran utama Swedia menggalang petisi pembebasan Dawit dan ditandatangani lebih dari 200 ribu orang. Dia juga dianugerahi Award Norwegia untuk Kebebasan Pers pada 2009. Dalam forum kongres di Wina juga ada stan Free Dawit dan aktivis yang menjaga membagikan kaus serta pin.

Berbagai upaya itu tak melunakkan rezim Afewerki. Status kewarganegaraan Swedia yang disandang Dawit dikomentari dengan, “Bagi saya, Swedia tidak relevan. Pemerintah Swedia tak berkaitan dengan apa pun dengan kami.” Tuntutan agar dia dihadapkan ke pengadilan juga dijawab sang presiden, “Kami tak akan menggelar sidang apa pun dan kami tak akan membebaskannya. Kami tahu bagaimana menangani ini.”

Kabar terakhir Dawit beredar pada 11 Januari 2009. Sang jurnalis, sastrawan, dan penulis kelahiran 27 Oktober 1964 itu dilarikan ke RS militer. Meski pemerintah menjamin dia akan mendapat perawatan yang baik, tak ada verifikasi independen.

Hingga kini, nasib Dawit masih misterius. Kutipan yang pernah ditulis di korannya kini menjadi abadi: Orang bisa tahan lapar dan persoalan lain untuk waktu lama, tapi mereka tak akan tahan dengan ketiadaan pemerintahan yang baik dan keadilan.

Penghargaan Golden Pen bagi Dawit itu merupakan tradisi tahunan ke-47 (sejak 1961) dalam Kongres Surat Kabar Sedunia. Penghargaan keenam diterima wartawan legendaris Indonesia, Mochtar Lubis, pada 1967. Pemimpin redaksi koran Indonesia Raya itu dinilai gigih menyuarakan akal sehat dan tak gentar dengan pembredelan serta penahanan selama sembilan tahun oleh rezim Soekarno sampai 1966.

Tokoh yang dijuluki ‘Wartawan Jihad’ tersebut terkenal dengan liputan melawan korupsi. Pembungkaman seperti itu turut membiakkan korupsi yang kini terbukti sangat merusak jiwa dan raga bangsa. (c5/jpnn)

Dawit Isaak Hadir lewat Foto saat Dianugerahi Pena Emas di Wina, Austria

Di tengah serunya bergelut ide tentang bagaimana beradaptasi dengan perubahan zaman, Kongres Surat Kabar Sedunia tak melupakan tradisi merawat kebebasan pers. Forum diajak menengok nasib Dawit Isaak dari Eritrea yang hilang sejak 2005. Dawit mendapat Pena Emas, penghargaan yang juga pernah diterima jurnalis Indonesia.

ROHMAN BUDIJANTO, Wina

DAWIT Isaak menelepon keluarganya di Swedia bahwa dirinya akan pulang. Keluarganya gembira karena wartawan gigih itu dilepaskan setelah ditahan pemerintah Eritrea sejak empat tahun sebelumnya, 2001.

Tapi, telepon pada 2005 tersebut menjadi telepon terakhir. Dia ‘menghilang’ hingga kini. Hanya foto yang muncul saat dirinya menerima Golden Pen Award dalam Kongres Surat Kabar Sedunia atau World Association of Newspapers and News Publishers (WAN-IFRA) 2011 di Wina Austria, Kamis lalu (13/10).

Adiknya, Isaias Isaak, tak kuasa menahan kepiluan saat naik panggung mewakili Dawit. Setiap mengawali kalimat untuk menyambut Pena Emas itu kata-katanya selalu berlanjut dengan isak tangis. Begitu berulang-ulang. Akhirnya, kata-kata yang jelas hanyalah, “Thank you.”

Dengan air mata bercucuran, dia turun panggung. Forum yang dihadiri sekitar seribu tokoh pers dunia itu pun senyap oleh keharuan. Dawit mendapat penghargaan sebagai pejuangn
kebebasan pers. Sosok itu mengungsi ke Swedia tatkala bangsanya, Eritrea, kacau karena dijajah Ethiopia yang sama-sama miskin. Dua bangsa itu bertetangga di wilayah Tanduk Afrika. Meski sudah mendapat kewarganegaraan Swedia, ketika Eritrea merdeka pada 1993, Dawit memilih kembali ke tanah airnya yang semrawut tersebut. Dia menikahi Sofia Berhane, punya tiga anak, dan tetap melanjutkan perjuangan.

Dawit menempuh medan perjuangan yang rawan: pers. Dia turut mendirikan koran Setit. Koran yang dinamai dari sungai utama di negaranya tersebut kemudian menjadi yang paling berpengaruh. Koran itu menjadi amplifier semangat kemajuan dan kebebasan. Di antaranya, memublikasikan petisi 15 anggota parlemen agar memulihkan demokrasi dan penyelidikan atas penyebab perang dengan Ethiopia pada 1998-2000. Perang itu terjadi karena Eritrea menginvasi Ethiopia, tapi kalah.

Suara akal sehat itu dinilai lain oleh Presiden Isayas Afewerki. Reaksi khas rezim otoriter pun terjadi, semua koran kritis ditutup. Dawit dipenjarakan sejak 23 September 2001 bersama 13 jurnalis serta 11 di antara 15 anggota parlemen vokalis itu. Mereka disekap tanpa akses ke dunia luar. Kabarnya, Dawit menjadi tahanan nomor 36 di Penjara Eira Eiro yang berada di utara ibu kota Asmara. Jumlah tahanan tersebut menyusut karena 15 orang dirumorkan meninggal. Tak seorang pun tahanan itu dikenai tuduhan resmi di pengadilan.

Pemenjaraan tersebut menggugah pemerintah Swedia untuk mengupayakan pembebasan Dawit. Pada awal penahanannya, konsul Swedia berhasil berbicara beberapa patah kata dengan Dawit. Pada 2005, bahkan, Dawit dilepas untuk bertemu dokter karena sakit. Saat itulah dia menelepon keluarganya yang diungsikan di Gothenburg, Swedia, bahwa dirinya akan ‘pulang’ ke negeri keduanya tersebut. Tanpa sempat keluar dari Eritrea, dia ditahan lagi. Hingga kini, posisi penderita diabetes itu tak diketahui.

Selain pemerintah Swedia, adiknya terus-menerus mengampanyekan pembebasan Dawit. Isaias menggandeng organisasi jurnalis Swedia serta organisasi internasional seperti Reporters without Borders dan Amnesty International. Mereka membuka situs www.freedawit.com. Pada 27 Maret 2009, empat koran utama Swedia menggalang petisi pembebasan Dawit dan ditandatangani lebih dari 200 ribu orang. Dia juga dianugerahi Award Norwegia untuk Kebebasan Pers pada 2009. Dalam forum kongres di Wina juga ada stan Free Dawit dan aktivis yang menjaga membagikan kaus serta pin.

Berbagai upaya itu tak melunakkan rezim Afewerki. Status kewarganegaraan Swedia yang disandang Dawit dikomentari dengan, “Bagi saya, Swedia tidak relevan. Pemerintah Swedia tak berkaitan dengan apa pun dengan kami.” Tuntutan agar dia dihadapkan ke pengadilan juga dijawab sang presiden, “Kami tak akan menggelar sidang apa pun dan kami tak akan membebaskannya. Kami tahu bagaimana menangani ini.”

Kabar terakhir Dawit beredar pada 11 Januari 2009. Sang jurnalis, sastrawan, dan penulis kelahiran 27 Oktober 1964 itu dilarikan ke RS militer. Meski pemerintah menjamin dia akan mendapat perawatan yang baik, tak ada verifikasi independen.

Hingga kini, nasib Dawit masih misterius. Kutipan yang pernah ditulis di korannya kini menjadi abadi: Orang bisa tahan lapar dan persoalan lain untuk waktu lama, tapi mereka tak akan tahan dengan ketiadaan pemerintahan yang baik dan keadilan.

Penghargaan Golden Pen bagi Dawit itu merupakan tradisi tahunan ke-47 (sejak 1961) dalam Kongres Surat Kabar Sedunia. Penghargaan keenam diterima wartawan legendaris Indonesia, Mochtar Lubis, pada 1967. Pemimpin redaksi koran Indonesia Raya itu dinilai gigih menyuarakan akal sehat dan tak gentar dengan pembredelan serta penahanan selama sembilan tahun oleh rezim Soekarno sampai 1966.

Tokoh yang dijuluki ‘Wartawan Jihad’ tersebut terkenal dengan liputan melawan korupsi. Pembungkaman seperti itu turut membiakkan korupsi yang kini terbukti sangat merusak jiwa dan raga bangsa. (c5/jpnn)

Artikel Terkait

spot_imgspot_imgspot_img

Terpopuler

Artikel Terbaru

/