28.9 C
Medan
Tuesday, May 28, 2024

Festival Setara Oktoberfest, Bebas Minum sampai Mabuk

Ke Beer Street, Tetenger Terkenal Qingdao, si Kota Bir Tiongkok

Lewat pabrik dan museum bir di Beer Street Qingdao, bisa disimak pertumbuhan kota tersebut hingga menjadi kota paling layak huni di Tiongkok. Berikut laporan wartawan Jawa Pos (grup Sumut Pos) MUHAMMAD AMJAD yang baru kembaliĀ  dari sana.

REPLIKA tiga kaleng bir raksasa yang menjulang di atas atap salah satu gedung itu sebenarnya sudah cukup mengabarkan identitas jalan kebanggaan Kota Qingdao, Tiongkok, tersebut. Itulah Beer Street atau yang oleh warga setempat lebih dikenal dengan nama Pi Jiu Jie.

Bir memang menjadi ā€œjati diriā€ Qingdao yang paling dikenal. Sebab, di kota di Provinsi Shandong itulah berdiri pabrik bir tertua sekaligus terbesar di Tiongkok, Tsingtao Beer. Nah, gedung di bawah kaleng bir raksasa itu merupakan lokasi pabrik yang beroperasi mulai 1903 tersebut.

Pabrik itu didirikan orang-orang Jerman yang menduduki kota tersebut mulai akhir 1800-an hingga 1914. Ke sanalah sekarang mayoritas arus wisatawan ke Qingdao biasanya mengalir. Misalnya, siang yang panas akhir Mei lalu saat Jawa Pos berkesempatan berkunjung ke sana.

ā€œIni adalah pabrik tua. Kebanyakan alat yang digunakan juga masih berusia cukup tua. Tapi, mereka bisa bekerja dengan maksimal,ā€ terang Leng Xue, salah seorang pekerja pabrik yang sekaligus bertugas menjaga museum bir.
Museum bir? Ya, bukan hanya pabrik yang ada di bawah tetenger tiga kaleng raksasa itun
Di samping kanannya ada museum bir yang diklaim sebagai yang pertama sekaligus satu-satunya di seantero Tiongkok. Museum tersebut baru didirikan pada 2003 setelah beberapa negara besar di dunia semakin mengenal minuman beralkohol produksi kota di pesisir Laut Kuning itu.

Melalui museum tersebut, siapa saja tak hanya bisa menapaktilasi sejarah bir tertua di Tiongkok yang kini diproduksi 2 ribu ton per hari itu. Tapi, sedikit banyak mereka sekaligus bisa menyimak rekam jejak Qingdao hingga akhirnya terpilih sebagai kota paling layak huni di seantero Tiongkok pada 2009 versi The Chinese Institute of City Competitiveness.

Bangunan museum itu merupakan bangunan pabrik Tsingtao saat kali pertama dibangun orang-orang Jerman. Secara umum bentuknya masih asli, meski sudah ada perbaikan di beberapa sisi.

Di dalamnya terdapat tiga bangunan yang harus dilewati setiap pengunjung. Sejarah Tsingtao Beer beserta produk-produknya yang hingga kini tetap menjadi yang terlaris di negeri dengan jumlah penduduk terbesar di dunia tersebut bisa didapatkan di bangunan pertama. Menginjak bangunan kedua, akan tersaji proses pembuatan bir. Mulai pengolahan bahan dasar seperti gandum maupun ketan hitam sampai proses fermentasi.

Di bangunan kedua itu pula terdapat mesin yang digunakan untuk memaksimalkan proses fermentasi. Istimewanya, itu merupakan alat pertama yang dibawa Jerman. Tertera pada bagian luarnya, mesin tersebut dibuat pada 1896 dan baru dioperasikan pada 1903, seturut dengan mulai beroperasinya pabrik.

Menurut Leng, hingga kini pun alat tersebut masih bisa digunakan. Begitu pula dengan beberapa peralatan sepuh lain yang dibikin dan dibawa Jerman. Namun, perempuan 30 tahun itu juga mengakui ada beberapa alat tua lain yang sudah dipensiunkan. Bukan karena rusak, melainkan lebih karena masalah kecepatan yang tak sepadan dengan produksi yang harus dihasilkan.

ā€œAnda bayangkan, dulu kami hanya memproduksi 2.000 ton bir per tahun saat pertama berdiri. Sekarang kami memproduksi total 2.000 ton bir per hari. Jadi, kami gunakan alat yang masih layak dan memuseumkan alat yang sudah tidak layak,ā€ ungkap perempuan asli Qingdao tersebut. Masih di bangunan kedua museum bir itu, pengunjung bisa memperoleh sedikit gambaran mengapa Qingdao tumbuh menjadi kota yang elok dan nyaman dihuni. Yakni, karena lingkungannya yang terjaga.

Pemerintah Kota Qingdao mewajibkan pabrik seperti Tsingtao yang didirikan di atas lahan 6 ribu meter persegi tersebut untuk mengolah limbah dengan benar dan baik. Dengan demikian, selain tak mengotori sekitar, limbah itu berfaedah.

Pengolahan tersebut dijelaskan dengan gamblang di museum itu. Limbah sisa beras ketan dan gandum yang sudah diolah digunakan sebagai campuran bahan pembuatan batu bata. Sementara itu, kulit gandum didaur ulang menjadi suvenir. Misalnya, celengan. Ada pun sisa produksi yang halus seperti minyak-minyak yang keluar dari produksi bisa dijadikan bahan obat pijat.

ā€œIni bagian dari komitmen Kota Qingdao menjadi kota yang hijau. Semua limbah harus bisa didaur ulang. Semua bisa berguna dan tidak ada yang terbuang percuma,ā€ tutur Leng.

Sementara itu, di bangunan ketiga, pengunjung dibawa masuk ke ruang pabrik yang masih aktif. Mereka menyaksikan proses pembuatan bir yang sebenarnya sampai akhirnya dikemas dan siap dipasarkan.

Selesai? Belum, masih ada bonus: mencicipi bir produksi Tsingtao yang terkenal itu. Caranya, cukup dengan menukarkan tiket masuk seharga 50 yuan. Yang tak suka bir bisa langsung menuju tempat penjualan suvenir yang berkaitan dengan wajah Qingdao, si Kota Bir yang baru saja menjadi tuan rumah perhelatan Piala Sudirman 2011 tersebut.

Selain pabrik dan museum bir, ternyata ada alasan lain mengapa Pi Jiu Jie yang bernama resmi Dengzhou Lu itu dijuluki Beer Street. Yaitu, gara-gara dihelatnya untuk kali pertama festival bir internasional di jalan yang tiap hari ramai oleh lalu lalang turis asing dan domestik tersebut pada 1991.

Ketika itu semua stan di sepanjang jalan, di sisi kiri dan kanan, membuka meja sampai ke pinggir jalan dan menyuguhkan sea food beserta bir dari berbagai negara. Even itu ternyata disambut dengan sangat antusias. Pemerintah kota pelabuhan itu pun terdorong untuk menjadikannya kegiatan tetap tahunan pada setiap musim panas. Dari situlah lahir nama tersebut: Beer Street.

ā€œIni masih awal musim panas. Kalau datang pada Agustus atau September, Anda akan menyaksikan ramainya jalan ini dengan orang yang meminum bir. Aroma yang ada hanya bir, sea food-nya sampai kalah,ā€ papar Leng yang memiliki nama Inggris Nancy itu.

Leng bahkan berani menyejajarkan festival di Beer Street Qingdao itu dengan Oktoberfest, festival ngebir tahunan yang berlangsung dua minggu di Muenchen, Jerman, yang tersohor tersebut. Bukan hanya warga lokal yang ikut dalam festival di Beer Street Qingdao tersebut. Para wisatawan mancanegara pun bebas larut dalam acara minum sampai mabuk itu.

ā€œJuga, tak perlu khawatir kepada petugas keamanan. Sebab, itu adalah legal dan memang sengaja dijadikan tradisi untuk mengundang wisatawan asing,ā€ katanya. Tertarik mencoba? (*/c5/ttg/jpnn)

Ke Beer Street, Tetenger Terkenal Qingdao, si Kota Bir Tiongkok

Lewat pabrik dan museum bir di Beer Street Qingdao, bisa disimak pertumbuhan kota tersebut hingga menjadi kota paling layak huni di Tiongkok. Berikut laporan wartawan Jawa Pos (grup Sumut Pos) MUHAMMAD AMJAD yang baru kembaliĀ  dari sana.

REPLIKA tiga kaleng bir raksasa yang menjulang di atas atap salah satu gedung itu sebenarnya sudah cukup mengabarkan identitas jalan kebanggaan Kota Qingdao, Tiongkok, tersebut. Itulah Beer Street atau yang oleh warga setempat lebih dikenal dengan nama Pi Jiu Jie.

Bir memang menjadi ā€œjati diriā€ Qingdao yang paling dikenal. Sebab, di kota di Provinsi Shandong itulah berdiri pabrik bir tertua sekaligus terbesar di Tiongkok, Tsingtao Beer. Nah, gedung di bawah kaleng bir raksasa itu merupakan lokasi pabrik yang beroperasi mulai 1903 tersebut.

Pabrik itu didirikan orang-orang Jerman yang menduduki kota tersebut mulai akhir 1800-an hingga 1914. Ke sanalah sekarang mayoritas arus wisatawan ke Qingdao biasanya mengalir. Misalnya, siang yang panas akhir Mei lalu saat Jawa Pos berkesempatan berkunjung ke sana.

ā€œIni adalah pabrik tua. Kebanyakan alat yang digunakan juga masih berusia cukup tua. Tapi, mereka bisa bekerja dengan maksimal,ā€ terang Leng Xue, salah seorang pekerja pabrik yang sekaligus bertugas menjaga museum bir.
Museum bir? Ya, bukan hanya pabrik yang ada di bawah tetenger tiga kaleng raksasa itun
Di samping kanannya ada museum bir yang diklaim sebagai yang pertama sekaligus satu-satunya di seantero Tiongkok. Museum tersebut baru didirikan pada 2003 setelah beberapa negara besar di dunia semakin mengenal minuman beralkohol produksi kota di pesisir Laut Kuning itu.

Melalui museum tersebut, siapa saja tak hanya bisa menapaktilasi sejarah bir tertua di Tiongkok yang kini diproduksi 2 ribu ton per hari itu. Tapi, sedikit banyak mereka sekaligus bisa menyimak rekam jejak Qingdao hingga akhirnya terpilih sebagai kota paling layak huni di seantero Tiongkok pada 2009 versi The Chinese Institute of City Competitiveness.

Bangunan museum itu merupakan bangunan pabrik Tsingtao saat kali pertama dibangun orang-orang Jerman. Secara umum bentuknya masih asli, meski sudah ada perbaikan di beberapa sisi.

Di dalamnya terdapat tiga bangunan yang harus dilewati setiap pengunjung. Sejarah Tsingtao Beer beserta produk-produknya yang hingga kini tetap menjadi yang terlaris di negeri dengan jumlah penduduk terbesar di dunia tersebut bisa didapatkan di bangunan pertama. Menginjak bangunan kedua, akan tersaji proses pembuatan bir. Mulai pengolahan bahan dasar seperti gandum maupun ketan hitam sampai proses fermentasi.

Di bangunan kedua itu pula terdapat mesin yang digunakan untuk memaksimalkan proses fermentasi. Istimewanya, itu merupakan alat pertama yang dibawa Jerman. Tertera pada bagian luarnya, mesin tersebut dibuat pada 1896 dan baru dioperasikan pada 1903, seturut dengan mulai beroperasinya pabrik.

Menurut Leng, hingga kini pun alat tersebut masih bisa digunakan. Begitu pula dengan beberapa peralatan sepuh lain yang dibikin dan dibawa Jerman. Namun, perempuan 30 tahun itu juga mengakui ada beberapa alat tua lain yang sudah dipensiunkan. Bukan karena rusak, melainkan lebih karena masalah kecepatan yang tak sepadan dengan produksi yang harus dihasilkan.

ā€œAnda bayangkan, dulu kami hanya memproduksi 2.000 ton bir per tahun saat pertama berdiri. Sekarang kami memproduksi total 2.000 ton bir per hari. Jadi, kami gunakan alat yang masih layak dan memuseumkan alat yang sudah tidak layak,ā€ ungkap perempuan asli Qingdao tersebut. Masih di bangunan kedua museum bir itu, pengunjung bisa memperoleh sedikit gambaran mengapa Qingdao tumbuh menjadi kota yang elok dan nyaman dihuni. Yakni, karena lingkungannya yang terjaga.

Pemerintah Kota Qingdao mewajibkan pabrik seperti Tsingtao yang didirikan di atas lahan 6 ribu meter persegi tersebut untuk mengolah limbah dengan benar dan baik. Dengan demikian, selain tak mengotori sekitar, limbah itu berfaedah.

Pengolahan tersebut dijelaskan dengan gamblang di museum itu. Limbah sisa beras ketan dan gandum yang sudah diolah digunakan sebagai campuran bahan pembuatan batu bata. Sementara itu, kulit gandum didaur ulang menjadi suvenir. Misalnya, celengan. Ada pun sisa produksi yang halus seperti minyak-minyak yang keluar dari produksi bisa dijadikan bahan obat pijat.

ā€œIni bagian dari komitmen Kota Qingdao menjadi kota yang hijau. Semua limbah harus bisa didaur ulang. Semua bisa berguna dan tidak ada yang terbuang percuma,ā€ tutur Leng.

Sementara itu, di bangunan ketiga, pengunjung dibawa masuk ke ruang pabrik yang masih aktif. Mereka menyaksikan proses pembuatan bir yang sebenarnya sampai akhirnya dikemas dan siap dipasarkan.

Selesai? Belum, masih ada bonus: mencicipi bir produksi Tsingtao yang terkenal itu. Caranya, cukup dengan menukarkan tiket masuk seharga 50 yuan. Yang tak suka bir bisa langsung menuju tempat penjualan suvenir yang berkaitan dengan wajah Qingdao, si Kota Bir yang baru saja menjadi tuan rumah perhelatan Piala Sudirman 2011 tersebut.

Selain pabrik dan museum bir, ternyata ada alasan lain mengapa Pi Jiu Jie yang bernama resmi Dengzhou Lu itu dijuluki Beer Street. Yaitu, gara-gara dihelatnya untuk kali pertama festival bir internasional di jalan yang tiap hari ramai oleh lalu lalang turis asing dan domestik tersebut pada 1991.

Ketika itu semua stan di sepanjang jalan, di sisi kiri dan kanan, membuka meja sampai ke pinggir jalan dan menyuguhkan sea food beserta bir dari berbagai negara. Even itu ternyata disambut dengan sangat antusias. Pemerintah kota pelabuhan itu pun terdorong untuk menjadikannya kegiatan tetap tahunan pada setiap musim panas. Dari situlah lahir nama tersebut: Beer Street.

ā€œIni masih awal musim panas. Kalau datang pada Agustus atau September, Anda akan menyaksikan ramainya jalan ini dengan orang yang meminum bir. Aroma yang ada hanya bir, sea food-nya sampai kalah,ā€ papar Leng yang memiliki nama Inggris Nancy itu.

Leng bahkan berani menyejajarkan festival di Beer Street Qingdao itu dengan Oktoberfest, festival ngebir tahunan yang berlangsung dua minggu di Muenchen, Jerman, yang tersohor tersebut. Bukan hanya warga lokal yang ikut dalam festival di Beer Street Qingdao tersebut. Para wisatawan mancanegara pun bebas larut dalam acara minum sampai mabuk itu.

ā€œJuga, tak perlu khawatir kepada petugas keamanan. Sebab, itu adalah legal dan memang sengaja dijadikan tradisi untuk mengundang wisatawan asing,ā€ katanya. Tertarik mencoba? (*/c5/ttg/jpnn)

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/