27.8 C
Medan
Sunday, June 2, 2024

Kian Tersudut, Nasib Kadhafi Bergantung Sirte

Pemberontak Rebut Tiga Kota Lagi

AJDABIYA-Pelan-pelan posisi Muammar Kadhafi kian tersudut. Setelah Ajdabiya, dalam waktu sekitar 24 jam kemarin (27/3), pemimpin Libya selama 42 tahun terakhir itu kehilangan kontrol atas tiga kota di wilayah timur. Yaitu, Brega, Uqayla, dan Ras Lanuf.

Tidak seperti saat berupaya merebut Ajdabiya yang membutuhkan waktu sepekan, kubu pemberontak nyaris tidak mendapatkan perlawanan berarti ketika mengambil alih Brega, Uqayla, dan Ras Lanuf. Itu menyusul gempuran udara tujuh hari beruntun pasukan koalisi di Ajdabiya dan sekitarnya yang benar-benar memukul kekuatan pasukan pro-Kadhafi hingga mereka menarik diri ke Sirte

“Tak ada pasukan Kadhafi di sini. Kami sepenuhnya menguasai Brega,” kata Ahmed Jibril, salah seorang komandan pemberontak, dari pinggiran Brega, kepada koran Inggris The Guardian.

“Ras Lanuf steril dari pasukan pemerintah,” ujar Walid al-Arabi, salah seorang pejuang anti-Kadhafi, secara terpisah dari Ras Lanuf, kepada koran yang sama.

Akuisisi tiga kota itu beriringan dengan klaim keberhasilan kubu koalisi. Prancis, misalnya, mengaku pada Sabtu malam waktu Libya (Minggu dini hari WIB, 27/3) telah menghancurkan lima jet tempur dan dua helikopter milik loyalis Kadhafi yang mengudara di langit Ajdabiya.

Enam tank pasukan Kadhafi juga terserak menjadi bangkai di gerbang timur menuju Ajdabiya. Sedangkan di gerbang barat, lebih banyak lagi kendaraan militer pemerintah yang menjadi korban.
Menurut catatan Associated Press, tank, truk, granat, dan peluncur roket milik kubu pro-Kadhafi bertebaran. Itu menunjukkan bahwa pasukan Kadhafi tersegesa-gesa meninggalkan wilayah tersebut ke barat.

Brega dan Ras Lanuf memiliki arti penting karena merupakan kota penghasil minyak terbesar di Libya. Di Brega, ada pelabuhan ekspor besar, sedangkan di Ras Lanuf terdapat penambangan minyak raksasa. Namun, sejak revolusi di Libya meletus pada 15 Februari silam, penambangan itu berhenti beroperasi.

Praktis, Kadhafi kini tersudut di Tripoli, ibu kota yang berada di bagian barat negara bekas jajahan Italia itu. Kota besar terdekat dari Tripoli yang berada di timurnya, Misrata, juga sudah dikuasai pemberontak.

Nasib Kadhafi kini bergantung kepada Sirte, kota kelahirannya yang berada di antara Brega dan Misrata. Kalau Sirte juga jatuh ke pemberontak, semakin kecillah peluang sang kolonel bertahan.

Tetapi, juga bakal tak mudah bagi pemberontak untuk merebut Sirte. Sebab, di kota yang pernah diusulkan Kadhafi menjadi ibu kota Libya itulah kekuatan pendukung Kadhafi berpusat. Tidak pernah ada demonstrasi anti-Kadhafi di sana.

Padahal, untuk merebut Ajdabiya yang tidak terlalu ketat dijaga loyalis Kadhafi saja pemberontak megap-megap. Kalau bukan karena gempuran udara koalisi secara terus-menerus, nyaris tidak mungkin kelompok anti-Kadhafi mengakuisisi kota tersebut.

Itu terjadi karena selain kalah persenjataan, pejuang anti-Kadhafi kebanyakan dulu warga sipil yang tidak punya pengalaman tempur. Mereka gampang grogi ketika mendapat perlawanan ketat.

Persoalannya, bakal sulit bagi koalisi untuk menggempur Sirte habis-habisan. Sebab, selama ini mereka berkilah menggasak Libya untuk melindungi warga sipil yang dibabati pro-Kadhafi. Karena itu, serangan dikonsentrasikan ke Benghazi, Ajdabiya, dan Misrata, tempat gerakan anti-Kadhafi berpusat.

Padahal, tidak pernah ada pembantaian sipil di Sirte karena memang tak ada gerakan anti-Kadhafi. Kalau nekat menyerang Sirte, bakal semakin sulit bagi koalisi untuk mengelak dari tuduhan bahwa aksi mereka di Libya sejatinya tidak ada yang berhubungan dengan upaya melindungi warga sipil. Tetapi, itu lebih menurunkan Kadhafi dan menguasai sumur-sumur minyak negeri di Afrika Utara tersebut.

Satu-satunya cara bagi koalisi untuk tetap bisa mendukung perjuangan pemberontak hanyalah menyuplai persenjataan. Kabarnya, itu juga mulai dilakukan koalisi. Apalagi, Inggris, salah satu motor koalisi, juga telah menempatkan ratusan serdadu di sejumlah wilayah Libya.

Tetapi, Menteri Pertahanan Inggris Liam Fox buru-buru menepis skenario itu. “PBB sudah menetapkan embargo senjata di seluruh wilayah Libya. Kami harus menerima itu,” katanya kepada BBC.

Secara terpisah, Juru Bicara Militer Pemberontak Kolonel Ahmed Omar Bani mengatakan bahwa sejumlah negara sebenarnya telah menawari pihaknya menambah persenjataan. Namun, hingga kini tidak ada satu pun yang ditepati. Bani menolak menyebutkan negara mana saja yang dimaksud.

Sementara itu, kubu Kadhafi terus menuding bahwa motivasi sesungguhnya koalisi adalah memerangi pasukan mereka, bukan melindungi warga sipil. “Akibatnya, Libya kini di ambang perang saudara,” kata Khaled Kaim, wakil perdana menteri Libya, sebagaimana dikutip Associated Press.

Juru Bicara Pemerintah Libya Mussa Ibrahim juga mengklaim, bukannya melindungi, aksi pasukan koalisi malah menimbulkan korban di kalangan rakyat tak berdosa. “Kami kehilangan semuanya, tentara, senjata, dan warga sipil,” kata Ibrahim.

Tripoli menyatakan, hingga kini sudah 100 warga sipil tewas akibat serangan koalisi. Mereka bahkan memfasilitasi sejumlah wartawan asing untuk melihat langsung para korban.
Namun, Menteri Pertahanan Amerika Serikat Robert Gates membantah. “Ada laporan intelijen bahwa orang-orang Kadhafi menempatkan korban pembantaian mereka di lokasi serangan koalisi sehingga seakan-akan mereka tewas karena serangan udara,” katanya. (c4/ttg/jpnn)

Pemberontak Rebut Tiga Kota Lagi

AJDABIYA-Pelan-pelan posisi Muammar Kadhafi kian tersudut. Setelah Ajdabiya, dalam waktu sekitar 24 jam kemarin (27/3), pemimpin Libya selama 42 tahun terakhir itu kehilangan kontrol atas tiga kota di wilayah timur. Yaitu, Brega, Uqayla, dan Ras Lanuf.

Tidak seperti saat berupaya merebut Ajdabiya yang membutuhkan waktu sepekan, kubu pemberontak nyaris tidak mendapatkan perlawanan berarti ketika mengambil alih Brega, Uqayla, dan Ras Lanuf. Itu menyusul gempuran udara tujuh hari beruntun pasukan koalisi di Ajdabiya dan sekitarnya yang benar-benar memukul kekuatan pasukan pro-Kadhafi hingga mereka menarik diri ke Sirte

“Tak ada pasukan Kadhafi di sini. Kami sepenuhnya menguasai Brega,” kata Ahmed Jibril, salah seorang komandan pemberontak, dari pinggiran Brega, kepada koran Inggris The Guardian.

“Ras Lanuf steril dari pasukan pemerintah,” ujar Walid al-Arabi, salah seorang pejuang anti-Kadhafi, secara terpisah dari Ras Lanuf, kepada koran yang sama.

Akuisisi tiga kota itu beriringan dengan klaim keberhasilan kubu koalisi. Prancis, misalnya, mengaku pada Sabtu malam waktu Libya (Minggu dini hari WIB, 27/3) telah menghancurkan lima jet tempur dan dua helikopter milik loyalis Kadhafi yang mengudara di langit Ajdabiya.

Enam tank pasukan Kadhafi juga terserak menjadi bangkai di gerbang timur menuju Ajdabiya. Sedangkan di gerbang barat, lebih banyak lagi kendaraan militer pemerintah yang menjadi korban.
Menurut catatan Associated Press, tank, truk, granat, dan peluncur roket milik kubu pro-Kadhafi bertebaran. Itu menunjukkan bahwa pasukan Kadhafi tersegesa-gesa meninggalkan wilayah tersebut ke barat.

Brega dan Ras Lanuf memiliki arti penting karena merupakan kota penghasil minyak terbesar di Libya. Di Brega, ada pelabuhan ekspor besar, sedangkan di Ras Lanuf terdapat penambangan minyak raksasa. Namun, sejak revolusi di Libya meletus pada 15 Februari silam, penambangan itu berhenti beroperasi.

Praktis, Kadhafi kini tersudut di Tripoli, ibu kota yang berada di bagian barat negara bekas jajahan Italia itu. Kota besar terdekat dari Tripoli yang berada di timurnya, Misrata, juga sudah dikuasai pemberontak.

Nasib Kadhafi kini bergantung kepada Sirte, kota kelahirannya yang berada di antara Brega dan Misrata. Kalau Sirte juga jatuh ke pemberontak, semakin kecillah peluang sang kolonel bertahan.

Tetapi, juga bakal tak mudah bagi pemberontak untuk merebut Sirte. Sebab, di kota yang pernah diusulkan Kadhafi menjadi ibu kota Libya itulah kekuatan pendukung Kadhafi berpusat. Tidak pernah ada demonstrasi anti-Kadhafi di sana.

Padahal, untuk merebut Ajdabiya yang tidak terlalu ketat dijaga loyalis Kadhafi saja pemberontak megap-megap. Kalau bukan karena gempuran udara koalisi secara terus-menerus, nyaris tidak mungkin kelompok anti-Kadhafi mengakuisisi kota tersebut.

Itu terjadi karena selain kalah persenjataan, pejuang anti-Kadhafi kebanyakan dulu warga sipil yang tidak punya pengalaman tempur. Mereka gampang grogi ketika mendapat perlawanan ketat.

Persoalannya, bakal sulit bagi koalisi untuk menggempur Sirte habis-habisan. Sebab, selama ini mereka berkilah menggasak Libya untuk melindungi warga sipil yang dibabati pro-Kadhafi. Karena itu, serangan dikonsentrasikan ke Benghazi, Ajdabiya, dan Misrata, tempat gerakan anti-Kadhafi berpusat.

Padahal, tidak pernah ada pembantaian sipil di Sirte karena memang tak ada gerakan anti-Kadhafi. Kalau nekat menyerang Sirte, bakal semakin sulit bagi koalisi untuk mengelak dari tuduhan bahwa aksi mereka di Libya sejatinya tidak ada yang berhubungan dengan upaya melindungi warga sipil. Tetapi, itu lebih menurunkan Kadhafi dan menguasai sumur-sumur minyak negeri di Afrika Utara tersebut.

Satu-satunya cara bagi koalisi untuk tetap bisa mendukung perjuangan pemberontak hanyalah menyuplai persenjataan. Kabarnya, itu juga mulai dilakukan koalisi. Apalagi, Inggris, salah satu motor koalisi, juga telah menempatkan ratusan serdadu di sejumlah wilayah Libya.

Tetapi, Menteri Pertahanan Inggris Liam Fox buru-buru menepis skenario itu. “PBB sudah menetapkan embargo senjata di seluruh wilayah Libya. Kami harus menerima itu,” katanya kepada BBC.

Secara terpisah, Juru Bicara Militer Pemberontak Kolonel Ahmed Omar Bani mengatakan bahwa sejumlah negara sebenarnya telah menawari pihaknya menambah persenjataan. Namun, hingga kini tidak ada satu pun yang ditepati. Bani menolak menyebutkan negara mana saja yang dimaksud.

Sementara itu, kubu Kadhafi terus menuding bahwa motivasi sesungguhnya koalisi adalah memerangi pasukan mereka, bukan melindungi warga sipil. “Akibatnya, Libya kini di ambang perang saudara,” kata Khaled Kaim, wakil perdana menteri Libya, sebagaimana dikutip Associated Press.

Juru Bicara Pemerintah Libya Mussa Ibrahim juga mengklaim, bukannya melindungi, aksi pasukan koalisi malah menimbulkan korban di kalangan rakyat tak berdosa. “Kami kehilangan semuanya, tentara, senjata, dan warga sipil,” kata Ibrahim.

Tripoli menyatakan, hingga kini sudah 100 warga sipil tewas akibat serangan koalisi. Mereka bahkan memfasilitasi sejumlah wartawan asing untuk melihat langsung para korban.
Namun, Menteri Pertahanan Amerika Serikat Robert Gates membantah. “Ada laporan intelijen bahwa orang-orang Kadhafi menempatkan korban pembantaian mereka di lokasi serangan koalisi sehingga seakan-akan mereka tewas karena serangan udara,” katanya. (c4/ttg/jpnn)

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/