29 C
Medan
Friday, November 22, 2024
spot_img

dr Fatharani: Skabies, Penyakit Kulit Menular Disebabkan Tungau

MEDAN, SUMUTPOS.CO – Skabies yang dikenal secara awan dengan istilah kudis merupakan salah satu penyakit kulit yang paling sering terjadi di kalangan Masyarakat. Infeksi kulit ini menular dan menyebar dengan cepat. Penyakit ini disebabkan oleh tungau Sarcoptes Scabiei yang menimbulkan gatal diseluruh tubuh, terutama di malam hari.

Dokter Umum di Rumah Sakit Umum (RSU) Sylvani Binjai, dr Fatharani menjelaskan, Sarcoptes Scabiei, adalah tungau yang berbentuk oval dan gepeng. Tungau betina berukuran 300×350 µ, sedangkan yang Jantan berukuran 150×200 µ. Tungau dewasa mempunyai 4 pasang kaki, 2 pasang merupakan kaki depan dan 2 pasang lainnya kaki belakang.

“Tungau betina membuat galian di bawah kulit atau terowongan dan meninggalkan telur di lokasi tersebut. Sel telur menetas, larva tungau mulai beralih ke lapisan terluar kulit. Larva tersebut mengalami maturasi dan menyebar ke area lain dari kulit atau individu lain. Tungau betina hidup selama 30-60 hari di dalam ‘terowongan’. Selama itu pula, tungau tersebut terus memperluas terowongannya,” ujarnya kepada Sumut Pos di Medan, Minggu (27/1/2024).

Adapun, paparnya, faktor resiko tingginya penularan skabies terjadi pada lingkungan yang hidup berkelompok. Tingginya kepadatan penghuni rumah, interaksi dan kontak fisik erat yang memudahkan penularan. Misalnya di panti asuhan, panti jompo, asrama atau pengungsian.

“Penularan tersebut bisa terjadi kepada orang yang aktif berhubungan seksual dengan penderita skabies, keterbatasan air bersih serta perilaku kebersihan yang buruk, dan pasien dengan kekebalan tubuh rendah, misalnya pada HIV,” imbuhnya.

dr Fatharani mengungkapkan, gatal pada malam hari merupakan gejala skabies yang utama, karena aktivitas tungau meningkat pada suhu kulit yang lembab dan hangat. Lesi atau ruam khas pada kudis, adalah papul dan vesikel sepanjang terowongan yang berisi tungau.

Dikatakannya, umumnya simetrik daan sebagai tempat predileksi, adalah sela jari tangan, fleksor siku dan lutut, pergelangan tangan, areola mammae, umbilicus, daerah genitalia eksterna, aksila, abdomen bagian bawah dan bokong. “Pada anak-anak terutama pada bayi mengenai bagian lain seperti telapak kaki, telapak tangan, sela jari-jari kaki, dan juga muka (pipi). Dengan garukan dapat timbul erosi, ekskoriasi, krusta, dan infeksi sekunder,” katanya.

dr Fatharani menyebutkan, skabies memiliki beberapa varian, di antaranya skabies Norwegia (skabies berkrusta). Bentuk skabies ini ditandai dengan dermatosis berkrusta pada tangan dan kaki, kuku yang distrofik, serta skuama yang generalisata. Bentuk ini sangat menular, tetapi rasa gatalnya sangat sedikit.

Kemudian, lanjutnya, skabies nodular. Skabies ini dapat berbentuk nodular bila lama tidak mendapat terapi, sering terjadi pada bayi dan anak, atau pada pasien imunokompromais. Skabies pada orang bersih. Skabies yang terdapat pada orang yang tingkat kebersihannya cukup bisa salah diagnosis. Biasanya sangat sukar ditemukan terowongan. Tungau biasanya hilang akibat mandi secara teratur.

Selanjutnya, skabies pada bayi dan anak. Lesi skabies pada anak dapat mengenai seluruh tubuh, termasuk kepala, leher, telapak tangan, telapak kaki, dan sering terjadi infeksi sekunder berupa impetigo, ektima sehingga terowongan jarang ditemukan. Pada bayi, lesi skabies terdapat di muka. Berikutnya, skabies yang ditularkan oleh hewan. Sarcoptes skabiei varian canis dapat menyerang manusia yang pekerjaannya berhubungan erat dengan hewan tersebut. Misalnya peternak dan gembala. Gejalanya ringan, rasa gatal kurang, tidak timbul terowongan, lesi terutama terdapat pada tempat-tempat kontak dan akan sembuh sendiri bila menjauhi hewan tersebut dan mandi bersih-bersih.

Lalu, Skabies incognito. Obat steroid topical atau sistemik dapat menyamarkan gejala dan tanda skabies, sementara infestasi tetap ada. Sebaliknya, pengobatan dengan steroid topical yang lama dapat pula menyebabkan lesi bertambah hebat. Hal ini mungkin disebabkan oleh penurunan respon imun seluler. Dan skabies terbaring di tempat tidur. Penderita penyakit kronis dan orang tua yang terpaksa harus tinggal di tempat tidur dpt menderita skabies yang lesinya terbatas.

“Diagnosis skabies perlu dipertimbangkan apabila ditemukan riwayat gatal, terutama pada malam hari, mungkin juga ditemukan pada anggota keluarga yang lain, terdapat nya lesi polimorf terutama di tempat predileksi. Diagnosis pasti ditegakkan dengan ditemukannya tungau pada pemeriksaan mikroskop, yang dapat dilakukan dengan berbagai cara, yaitu kerokan kulit, mengambil tungau dengan jarum, epidermal shave biopsy, kuretasi terowongan, test tinta burrow, tetrasiklin topical, apusan kulit, biopsy plong, dermoskopi,” urainya.

Ia menerangkan pengobatan yang dapat digunakan pada penderita skabies, di antaranya gama benzene heksaklorid (Lindane). Merupakan obat yang tersering digunakan dan merupakan obat pilihan karena dapat membunuh tungau dan telurnya. Korotamiton 10 persen dalam krim atau losion. Merupakan skabisid yang efektif. Namun dapat menimbulkan iritasi apabila digunakan dalam jangka waktu lama. Dan Sulfur, telah digunakan sejak lama, sebagai sulfur presipitatum 5-10 persen dalam vaselin.

“Dioleskan pada badan dan ekstremitas selam 3 hari berturut-turut, kemudian dicuci (mandi) 24 jam setelah aplikasi terakhir. Obat ini dapat dipakai pada bayi, ibu hamil dan menyusui. Obat ini membunuh larva dan tungau, namun kerugian pemkaiannya adalah baunya yang tidak enak, lekat, mewarnai pakaian dan kadang-kadang menimbulkan iritasi,” pungkasnya. (dwi/tri)

MEDAN, SUMUTPOS.CO – Skabies yang dikenal secara awan dengan istilah kudis merupakan salah satu penyakit kulit yang paling sering terjadi di kalangan Masyarakat. Infeksi kulit ini menular dan menyebar dengan cepat. Penyakit ini disebabkan oleh tungau Sarcoptes Scabiei yang menimbulkan gatal diseluruh tubuh, terutama di malam hari.

Dokter Umum di Rumah Sakit Umum (RSU) Sylvani Binjai, dr Fatharani menjelaskan, Sarcoptes Scabiei, adalah tungau yang berbentuk oval dan gepeng. Tungau betina berukuran 300×350 µ, sedangkan yang Jantan berukuran 150×200 µ. Tungau dewasa mempunyai 4 pasang kaki, 2 pasang merupakan kaki depan dan 2 pasang lainnya kaki belakang.

“Tungau betina membuat galian di bawah kulit atau terowongan dan meninggalkan telur di lokasi tersebut. Sel telur menetas, larva tungau mulai beralih ke lapisan terluar kulit. Larva tersebut mengalami maturasi dan menyebar ke area lain dari kulit atau individu lain. Tungau betina hidup selama 30-60 hari di dalam ‘terowongan’. Selama itu pula, tungau tersebut terus memperluas terowongannya,” ujarnya kepada Sumut Pos di Medan, Minggu (27/1/2024).

Adapun, paparnya, faktor resiko tingginya penularan skabies terjadi pada lingkungan yang hidup berkelompok. Tingginya kepadatan penghuni rumah, interaksi dan kontak fisik erat yang memudahkan penularan. Misalnya di panti asuhan, panti jompo, asrama atau pengungsian.

“Penularan tersebut bisa terjadi kepada orang yang aktif berhubungan seksual dengan penderita skabies, keterbatasan air bersih serta perilaku kebersihan yang buruk, dan pasien dengan kekebalan tubuh rendah, misalnya pada HIV,” imbuhnya.

dr Fatharani mengungkapkan, gatal pada malam hari merupakan gejala skabies yang utama, karena aktivitas tungau meningkat pada suhu kulit yang lembab dan hangat. Lesi atau ruam khas pada kudis, adalah papul dan vesikel sepanjang terowongan yang berisi tungau.

Dikatakannya, umumnya simetrik daan sebagai tempat predileksi, adalah sela jari tangan, fleksor siku dan lutut, pergelangan tangan, areola mammae, umbilicus, daerah genitalia eksterna, aksila, abdomen bagian bawah dan bokong. “Pada anak-anak terutama pada bayi mengenai bagian lain seperti telapak kaki, telapak tangan, sela jari-jari kaki, dan juga muka (pipi). Dengan garukan dapat timbul erosi, ekskoriasi, krusta, dan infeksi sekunder,” katanya.

dr Fatharani menyebutkan, skabies memiliki beberapa varian, di antaranya skabies Norwegia (skabies berkrusta). Bentuk skabies ini ditandai dengan dermatosis berkrusta pada tangan dan kaki, kuku yang distrofik, serta skuama yang generalisata. Bentuk ini sangat menular, tetapi rasa gatalnya sangat sedikit.

Kemudian, lanjutnya, skabies nodular. Skabies ini dapat berbentuk nodular bila lama tidak mendapat terapi, sering terjadi pada bayi dan anak, atau pada pasien imunokompromais. Skabies pada orang bersih. Skabies yang terdapat pada orang yang tingkat kebersihannya cukup bisa salah diagnosis. Biasanya sangat sukar ditemukan terowongan. Tungau biasanya hilang akibat mandi secara teratur.

Selanjutnya, skabies pada bayi dan anak. Lesi skabies pada anak dapat mengenai seluruh tubuh, termasuk kepala, leher, telapak tangan, telapak kaki, dan sering terjadi infeksi sekunder berupa impetigo, ektima sehingga terowongan jarang ditemukan. Pada bayi, lesi skabies terdapat di muka. Berikutnya, skabies yang ditularkan oleh hewan. Sarcoptes skabiei varian canis dapat menyerang manusia yang pekerjaannya berhubungan erat dengan hewan tersebut. Misalnya peternak dan gembala. Gejalanya ringan, rasa gatal kurang, tidak timbul terowongan, lesi terutama terdapat pada tempat-tempat kontak dan akan sembuh sendiri bila menjauhi hewan tersebut dan mandi bersih-bersih.

Lalu, Skabies incognito. Obat steroid topical atau sistemik dapat menyamarkan gejala dan tanda skabies, sementara infestasi tetap ada. Sebaliknya, pengobatan dengan steroid topical yang lama dapat pula menyebabkan lesi bertambah hebat. Hal ini mungkin disebabkan oleh penurunan respon imun seluler. Dan skabies terbaring di tempat tidur. Penderita penyakit kronis dan orang tua yang terpaksa harus tinggal di tempat tidur dpt menderita skabies yang lesinya terbatas.

“Diagnosis skabies perlu dipertimbangkan apabila ditemukan riwayat gatal, terutama pada malam hari, mungkin juga ditemukan pada anggota keluarga yang lain, terdapat nya lesi polimorf terutama di tempat predileksi. Diagnosis pasti ditegakkan dengan ditemukannya tungau pada pemeriksaan mikroskop, yang dapat dilakukan dengan berbagai cara, yaitu kerokan kulit, mengambil tungau dengan jarum, epidermal shave biopsy, kuretasi terowongan, test tinta burrow, tetrasiklin topical, apusan kulit, biopsy plong, dermoskopi,” urainya.

Ia menerangkan pengobatan yang dapat digunakan pada penderita skabies, di antaranya gama benzene heksaklorid (Lindane). Merupakan obat yang tersering digunakan dan merupakan obat pilihan karena dapat membunuh tungau dan telurnya. Korotamiton 10 persen dalam krim atau losion. Merupakan skabisid yang efektif. Namun dapat menimbulkan iritasi apabila digunakan dalam jangka waktu lama. Dan Sulfur, telah digunakan sejak lama, sebagai sulfur presipitatum 5-10 persen dalam vaselin.

“Dioleskan pada badan dan ekstremitas selam 3 hari berturut-turut, kemudian dicuci (mandi) 24 jam setelah aplikasi terakhir. Obat ini dapat dipakai pada bayi, ibu hamil dan menyusui. Obat ini membunuh larva dan tungau, namun kerugian pemkaiannya adalah baunya yang tidak enak, lekat, mewarnai pakaian dan kadang-kadang menimbulkan iritasi,” pungkasnya. (dwi/tri)

Artikel Terkait

spot_imgspot_imgspot_img

Terpopuler

Artikel Terbaru

/