26 C
Medan
Tuesday, October 22, 2024
spot_img

Ada Luka di Kampung Kolam

Menggali Tragedi 1965 di Sumut

Tersebutlah tragedi 1965. Pembalasan terhadap ‘kekejaman’ Partai Komunis Indonesia (PKI) mengakibatkan ribuan, ratusan ribu, bahkan jutaan nyawa melayang. Meski tidak ‘sehebat’ Jawa Timur dan Jawa Tengah, Sumatera Utara (Sumut) pun tidak ketinggalan melakukan ‘pembersihan’ antek-antek PKI. Kampung Kolam di kawasan Tembung adalah satu di antara daerah di Sumut yang identik dengan tragedi itu. Benarkah?

Kesuma Ramadhan, Medan

TUGU: Ketua MPW PP Sumut Anwar Shah sebelum renungan suci  Tugu Ampera  berada  Kampung Kolam tempat tewasnya dua anggota PP  tragedi 1965 lalu, Minggu (30/9) malam.//tomy sanjaya/sumutpos
TUGU: Ketua MPW PP Sumut Anwar Shah sebelum renungan suci di Tugu Ampera yang berada di Kampung Kolam tempat tewasnya dua anggota PP dalam tragedi 1965 lalu, Minggu (30/9) malam.//tomy sanjaya/sumutpos

Hanya mengandalkan niat kuat untuk menggali kisah pilu 47 tahun yang lalu itu ternyata tidak cukup. Sumut Pos butuh waktu panjang. Setidaknya data untuk tulisan ini baru bisa terkumpul dalam sepekan (17/9-24/9). Kampung Kolam bukanlah kawasan yang ramah. Warganya tertutup. Berulang kali memasuki kawasan itu yang didapat hanya tatapan aneh. Curiga. Itulah sebab, mencari saksi hidup dari kejadian itu merupakan perjuangan tersendiri.
Beruntung, kampung itu memiliki seorang tokoh yang bernama Tengku Burhanuddin. Memang, untuk menemukan sosok yang dikenal mau berbicara tentang tragedi 1965 tersebut tidak gampang. “Kalian ini dari mana, mau perlu apa dengan Pak Udin?” begitu sambut seorang ibu.

Ibu itu menatap penuh curiga. Namun, setelah diterangkan maksud kedatangan, sinar mata ibu itu mulai melunak. Meski tidak tersenyum, dia menunjukkan arah ke rumah Tengku Burhanuddin yang akrab dipanggil Pak Udin itu. “Kalau tidak salah rumahnya di sana,” katanya.

Sesaat kami ragu untuk melangkah. Beruntung, ibu yang diperkirakan berusia 40 tahunan itu langsung mengantarkan ke tempat kediaman Pak Udin. Makin beruntung, Pak Udin baru saja tiba di rumahnya. Lalu, di balik balutan kemeja putih panjang dan sarung kotak-kotak yang serasi dengan rambut putih yang termakan usia, Pak Udin mencoba mengingat kembali kenangan masa lalunya. “Dulunya memang di sini basis PKI,” buka Pak Udin.
Sesaat mata lelaki yang  telah uzur itu menerawang jauh. “Mereka rutin mengadakan pengaderan setiap minggu di sekolah yang dulunya bernama Fajar Harapan, sekitar 100 meter dari sini,” sambung pria paruh baya pemilik 10 anak, 28 cucu, dan tiga cicit itu.

Sebagai aktivis yang besar bersama organisasi pemuda GP Anshor Kampung Kolam, kehadiran PKI menurut Pak Udin awalnya tidak mengganggu stabilitas kehidupan masyarakat sekitar. Hanya saja, gejolak mulai terjadi saat pemerintah menetapkan PKI sebagai organisasi terlarang setelah peristiwa 30 September.

Spontan pemerintah ‘membersihkan’ seluruh kekuatan PKI di semua daerah. Bahkan, pemerintah pusat memberikan instruksi kepada pemerintah daerah, salah satunya di Sumatera Utara yang dibacakan langsung oleh Wakil Ketua DPRD Sumut Abir Zudy Daulay, agar orang-orang PKI segera menyerahkan diri. “Tapi mereka enggan menyerahkan diri dan tetap bertahan dengan ideologi komunisnya. Itu memancing kemarahan sejumlah tokoh organisasi masyarakat Sumut,” kata Pak Udin.

Seorang warga menunjuk Tugu Perjuangan atau tugu PKI  desa Kampung Kolam Deli Serdang, rabu (29/9)//ANDRI GINTING/SUMUT POS
Seorang warga menunjuk Tugu Perjuangan atau tugu PKI di desa Kampung Kolam Deli Serdang, rabu (29/9)//ANDRI GINTING/SUMUT POS
Maka, ‘pembersihan’ pun dilakukan. Kampung Kolam yang dianggap sebagai basis PKI jadi incaran. Aksi ini di bawah satu aksi komando organisasi Pemuda Pancasila (PP) yang langsung dipimpin Ketua MPW PP Sumut MY Effendy Nasution atau akrab disapa Fendi Keling. “Yang ikut bergabung dengan komando di antarnya GP Anshor, Gerakan Pemuda Marhaenisme (GPM), NU, P3I, HMI, dan lainnya. Masyarakat sekitar yang resah dengan keberadaan PKI di kampung ini pun ikut membantu,” sebutnya lagi.

Menurut ingatan pria kelahiran Labuhanbatu 20 Desember 1940 silam itu, awal pergerakan dimulai dari kediaman Ketua PP Fendi Keling di Jalan Mandala By Pass Simpang Garuda, Senin pagi (25 Oktober 1965) sekitar pukul 10.00 WIB. Dalam strategi yang telah disusun, penumpasan dan pengepungan PKI dilakukan dari tiga sektor yakni dari daerah Pekan Tembung, Batangkuis, dan Pasar 10 Tembung. Untuk mengetahui mana kawan dan lawan, angka 4 dan 2 menjadi kode tersendiri dalam aksi tersebut. Dengan kata lain, jika seseorang menyebut angka 4 maka teman yang lain harus menyahuti dengan angka 2, jika tidak ada sahutan maka disebut lawan. Sesuai strategi seluruhnya menyerbu secara bersamaan sekitar pukul 14.00 WIB.
Sesuai rencana, sekitar 500 lebih massa yang tergabung dalam satu aksi komando, mulai masuk ke Kampung Kolam yang memiliki luas sekitar 600 hektar. Sayangnya, dari pengakuan Pak Udin, telah terjadi kesalahan komunikasi. Satu kelompok yang melakukan penyerangan dari sektor Pekan Tembung  tidak mengikuti koordinasi penyergapan yakni pukul 14.00 WIB. Terang saja PKI yang memiliki jumlah massa yang juga cukup besar dan lebih menguasai wilayah dengan mudah melumpuhkan tim aksi tersebut.

“Tim yang masuk dari Pekan Tembung langsung dikejar anggota PKI menyebabkan M Jacop (anggota PP) dan Adlin Prawiranegara (anggota HMI/PP) ditangkap dan akhirnya dibunuh dengan keji” kenang Pak Udin.

Para PKI takut kedua mayat tersebut ditemukan. Mereka memindahkan jasad kedua korban ke dalam sebuah parit dengan kondisi terikat besi rel kereta api yang ditutupi dengan pelepah dan batang  pohon pisang. Alas atasnya diletakan bangkai kambing agar tidak menimbulkan kecurigaan dari bau jasad tersebut.

Lima hari pascatragedi pembunuhan, abang ipar dari Adlin Prawiranegara, yang bertugas di Kodam I BB berpangkat Peltu, melakukan pencarian. Dibantu aparat intelijen Kodam, akhirnya seorang anggota PKI berhasil ditangkap. Dari situlah terbuka tabir keberadaan kedua jasad.

“Saya tahu kondisi kedua almarhum (Jacop dan Adlin) ketika mengantarkannya ke RSUD dr Pirngadi Medan. Saat itu dari kedua tubuh korban terdapat puluhan luka bacok dan kondisi kedua matanya telah dicongkel,” ujar Pak Udin sembari sesekali menghembuskan asap rokok kretek dari bibirnya yang termakan usia.

Hanya saja, dalam kesempatan itu Pak Udin enggan bercerita bagaimana kisah pembalasan oleh aksi satu komando.  Selesai dari rumah Pak Udin, kami berusaha mencari narasumber yang ‘PKI’. Setidaknya, seperti pengakuan Pak Udin, di Kampung kolam masih ada ratusan warga yang merupakan eks PKI maupun keturunannya. Sayang, untuk hal ini Kampung Kolam sepertinya menutup diri. Kami hanya mendapati tatapan curiga. Kami tak bisa menemukan seseorang walau hanya sekadar namanya saja.   (*)

Menggali Tragedi 1965 di Sumut

Tersebutlah tragedi 1965. Pembalasan terhadap ‘kekejaman’ Partai Komunis Indonesia (PKI) mengakibatkan ribuan, ratusan ribu, bahkan jutaan nyawa melayang. Meski tidak ‘sehebat’ Jawa Timur dan Jawa Tengah, Sumatera Utara (Sumut) pun tidak ketinggalan melakukan ‘pembersihan’ antek-antek PKI. Kampung Kolam di kawasan Tembung adalah satu di antara daerah di Sumut yang identik dengan tragedi itu. Benarkah?

Kesuma Ramadhan, Medan

TUGU: Ketua MPW PP Sumut Anwar Shah sebelum renungan suci  Tugu Ampera  berada  Kampung Kolam tempat tewasnya dua anggota PP  tragedi 1965 lalu, Minggu (30/9) malam.//tomy sanjaya/sumutpos
TUGU: Ketua MPW PP Sumut Anwar Shah sebelum renungan suci di Tugu Ampera yang berada di Kampung Kolam tempat tewasnya dua anggota PP dalam tragedi 1965 lalu, Minggu (30/9) malam.//tomy sanjaya/sumutpos

Hanya mengandalkan niat kuat untuk menggali kisah pilu 47 tahun yang lalu itu ternyata tidak cukup. Sumut Pos butuh waktu panjang. Setidaknya data untuk tulisan ini baru bisa terkumpul dalam sepekan (17/9-24/9). Kampung Kolam bukanlah kawasan yang ramah. Warganya tertutup. Berulang kali memasuki kawasan itu yang didapat hanya tatapan aneh. Curiga. Itulah sebab, mencari saksi hidup dari kejadian itu merupakan perjuangan tersendiri.
Beruntung, kampung itu memiliki seorang tokoh yang bernama Tengku Burhanuddin. Memang, untuk menemukan sosok yang dikenal mau berbicara tentang tragedi 1965 tersebut tidak gampang. “Kalian ini dari mana, mau perlu apa dengan Pak Udin?” begitu sambut seorang ibu.

Ibu itu menatap penuh curiga. Namun, setelah diterangkan maksud kedatangan, sinar mata ibu itu mulai melunak. Meski tidak tersenyum, dia menunjukkan arah ke rumah Tengku Burhanuddin yang akrab dipanggil Pak Udin itu. “Kalau tidak salah rumahnya di sana,” katanya.

Sesaat kami ragu untuk melangkah. Beruntung, ibu yang diperkirakan berusia 40 tahunan itu langsung mengantarkan ke tempat kediaman Pak Udin. Makin beruntung, Pak Udin baru saja tiba di rumahnya. Lalu, di balik balutan kemeja putih panjang dan sarung kotak-kotak yang serasi dengan rambut putih yang termakan usia, Pak Udin mencoba mengingat kembali kenangan masa lalunya. “Dulunya memang di sini basis PKI,” buka Pak Udin.
Sesaat mata lelaki yang  telah uzur itu menerawang jauh. “Mereka rutin mengadakan pengaderan setiap minggu di sekolah yang dulunya bernama Fajar Harapan, sekitar 100 meter dari sini,” sambung pria paruh baya pemilik 10 anak, 28 cucu, dan tiga cicit itu.

Sebagai aktivis yang besar bersama organisasi pemuda GP Anshor Kampung Kolam, kehadiran PKI menurut Pak Udin awalnya tidak mengganggu stabilitas kehidupan masyarakat sekitar. Hanya saja, gejolak mulai terjadi saat pemerintah menetapkan PKI sebagai organisasi terlarang setelah peristiwa 30 September.

Spontan pemerintah ‘membersihkan’ seluruh kekuatan PKI di semua daerah. Bahkan, pemerintah pusat memberikan instruksi kepada pemerintah daerah, salah satunya di Sumatera Utara yang dibacakan langsung oleh Wakil Ketua DPRD Sumut Abir Zudy Daulay, agar orang-orang PKI segera menyerahkan diri. “Tapi mereka enggan menyerahkan diri dan tetap bertahan dengan ideologi komunisnya. Itu memancing kemarahan sejumlah tokoh organisasi masyarakat Sumut,” kata Pak Udin.

Seorang warga menunjuk Tugu Perjuangan atau tugu PKI  desa Kampung Kolam Deli Serdang, rabu (29/9)//ANDRI GINTING/SUMUT POS
Seorang warga menunjuk Tugu Perjuangan atau tugu PKI di desa Kampung Kolam Deli Serdang, rabu (29/9)//ANDRI GINTING/SUMUT POS
Maka, ‘pembersihan’ pun dilakukan. Kampung Kolam yang dianggap sebagai basis PKI jadi incaran. Aksi ini di bawah satu aksi komando organisasi Pemuda Pancasila (PP) yang langsung dipimpin Ketua MPW PP Sumut MY Effendy Nasution atau akrab disapa Fendi Keling. “Yang ikut bergabung dengan komando di antarnya GP Anshor, Gerakan Pemuda Marhaenisme (GPM), NU, P3I, HMI, dan lainnya. Masyarakat sekitar yang resah dengan keberadaan PKI di kampung ini pun ikut membantu,” sebutnya lagi.

Menurut ingatan pria kelahiran Labuhanbatu 20 Desember 1940 silam itu, awal pergerakan dimulai dari kediaman Ketua PP Fendi Keling di Jalan Mandala By Pass Simpang Garuda, Senin pagi (25 Oktober 1965) sekitar pukul 10.00 WIB. Dalam strategi yang telah disusun, penumpasan dan pengepungan PKI dilakukan dari tiga sektor yakni dari daerah Pekan Tembung, Batangkuis, dan Pasar 10 Tembung. Untuk mengetahui mana kawan dan lawan, angka 4 dan 2 menjadi kode tersendiri dalam aksi tersebut. Dengan kata lain, jika seseorang menyebut angka 4 maka teman yang lain harus menyahuti dengan angka 2, jika tidak ada sahutan maka disebut lawan. Sesuai strategi seluruhnya menyerbu secara bersamaan sekitar pukul 14.00 WIB.
Sesuai rencana, sekitar 500 lebih massa yang tergabung dalam satu aksi komando, mulai masuk ke Kampung Kolam yang memiliki luas sekitar 600 hektar. Sayangnya, dari pengakuan Pak Udin, telah terjadi kesalahan komunikasi. Satu kelompok yang melakukan penyerangan dari sektor Pekan Tembung  tidak mengikuti koordinasi penyergapan yakni pukul 14.00 WIB. Terang saja PKI yang memiliki jumlah massa yang juga cukup besar dan lebih menguasai wilayah dengan mudah melumpuhkan tim aksi tersebut.

“Tim yang masuk dari Pekan Tembung langsung dikejar anggota PKI menyebabkan M Jacop (anggota PP) dan Adlin Prawiranegara (anggota HMI/PP) ditangkap dan akhirnya dibunuh dengan keji” kenang Pak Udin.

Para PKI takut kedua mayat tersebut ditemukan. Mereka memindahkan jasad kedua korban ke dalam sebuah parit dengan kondisi terikat besi rel kereta api yang ditutupi dengan pelepah dan batang  pohon pisang. Alas atasnya diletakan bangkai kambing agar tidak menimbulkan kecurigaan dari bau jasad tersebut.

Lima hari pascatragedi pembunuhan, abang ipar dari Adlin Prawiranegara, yang bertugas di Kodam I BB berpangkat Peltu, melakukan pencarian. Dibantu aparat intelijen Kodam, akhirnya seorang anggota PKI berhasil ditangkap. Dari situlah terbuka tabir keberadaan kedua jasad.

“Saya tahu kondisi kedua almarhum (Jacop dan Adlin) ketika mengantarkannya ke RSUD dr Pirngadi Medan. Saat itu dari kedua tubuh korban terdapat puluhan luka bacok dan kondisi kedua matanya telah dicongkel,” ujar Pak Udin sembari sesekali menghembuskan asap rokok kretek dari bibirnya yang termakan usia.

Hanya saja, dalam kesempatan itu Pak Udin enggan bercerita bagaimana kisah pembalasan oleh aksi satu komando.  Selesai dari rumah Pak Udin, kami berusaha mencari narasumber yang ‘PKI’. Setidaknya, seperti pengakuan Pak Udin, di Kampung kolam masih ada ratusan warga yang merupakan eks PKI maupun keturunannya. Sayang, untuk hal ini Kampung Kolam sepertinya menutup diri. Kami hanya mendapati tatapan curiga. Kami tak bisa menemukan seseorang walau hanya sekadar namanya saja.   (*)

Artikel Terkait

Tragedi Akhir Tahun si Logo Merah

Incar Bule karena Hasil Lebih Besar

Baru Mudik Usai Lebaran

spot_imgspot_imgspot_img

Terpopuler

Artikel Terbaru