25 C
Medan
Friday, November 22, 2024
spot_img

Tak Susut oleh Usia

Usianya sudah cukup lanjut, hari ini genap 74 tahun. Namun lelaki bertubuh besar ini tetap menunjukkan sinar mata penuh hasrat. Seakan berkata, masih banyak yang harus dikerjakan saat ini, mengapa harus berpangku tangan?

Haji ANif  Rektor USU Syahril Pasaribu saat penyerahan Gedung Kuliah Bersama USU//DMP/Sumut Pos
Haji ANif dan Rektor USU Syahril Pasaribu saat penyerahan Gedung Kuliah Bersama USU//DMP/Sumut Pos

Begitulah, Haji Anif, lelaki yang sering disebut sebagai sesepuh Sumatera Utara (Sumut). Bukan hanya karena usia dan keberhasilannya menjadi pengusaha nasional, namun kehadirannya dalam membantu warga Sumut mengalir tiada henti; menjelma menjadi masjid, rumah sakit, gedung sekolah, kursus-kursus keterampilan, dan segala kegiatan sosial lainnya.

“Saya bahagia jika apa yang saya lakukan bisa bermanfaat bagi orang lain. Kita hidup dan berusaha di sini bersama masyarakat, jadi selagi mampu saya akan berbuat maksimal untuk khalayak,” ungkap Haji Anif kepada Sumut Pos, Rabu (20/3) di ruang makan rumahnya yang berada di Komplek Cemara Asri Medan.

Pagi itu Haji Anif tampak bersemangat sarapan bersama Sumut Pos. Dengan memakai baju kemeja putih, dia terlihat begitu segar. Padahal, jika menilik usianya yang hari Sabtu (23/3) ini genap 74 tahun, harusnya sinar dari wajahnya itu mulai meredup. “Hidup itu dari sini (Haji Anif menunjuk dadanya). Kalau kita senang, dunia pun jadi menyenangkan,” jelasnya.

Lalu, seperti apa meraih itu? Haji Anif pun bercerita tentang perjalanan hidupnya. Bukan kisah indah, tapi cerita yang menyedihkan. Tepatnya, tahun 1967-an. Saat itu, kehidupan ekonominya tidak sebaik sekarang. Dia masih tinggal di rumah kontrakan bersama istri dan keempat anaknya. “Kami tidak punya televisi, jadi ketika anak-anak mau nonton televisi, mereka mengintip di rumah tetangga melalui jendela. Tapi, tetangga menutup kain jendelanya. Saya sedih sekali waktu itu,” urai lelaki yang kini telah memiliki 27 cucu dan 2 cicit ini.

Kesedihan itu berlanjut ketika Ramadan tiba. Jangankan untuk sahur, untuk berbuka puasa saja kadang mereka tak punya makanan. “Saat sahur, istri saya pernah gorengkan nasi basi untuk anak-anak,” aku Haji Anif.

Kemiskinan telah membuat H Anif berubah. Dia semakin rajin berusaha. Apapun dia lakukan agar  terbebas dari jeratan kemiskinan. “Saya dulu miskin sekali. Tapi begitulah, miskin membuat orang jadi berani. Gigih. Siap bekerja apa saja. Saya tidak mau menjadi orang yang dibenci Allah yakni orang miskin yang sombong,” tegasnya.

Dan, dia berhasil. Berawal dari bisnis bengkel kecil-kecilan, dia merambah ke usaha perkebunan. Tak lama kemudian dijalani bisnis properti. Dan, setelah itu, berbagai bisnis lainnya digeluti hingga dia mencapai level pengusaha nasional.

Keberhasilan itu tak membuatnya pongah hingga lupa daratan. Karena berangkat dari miskin, maka dia pun paham betul seperti apa jadi orang miskin. Dia meningkatkan kegiatan sosialnya. Dia bangun Yayasan Haji Anif yang bergerak untuk membantu warga yang pantas dibantu. Menurut Haji Anif, ada kebanggan ketika melihat orang senang. “Setinggi-tingginya rezeki kita, pasti ada kekurangan. Serendah-rendahnya rezeki kita pasti ada kelebihan,” katanya berfilosofi.

Menariknya, setelah dia dapati semuanya, dia tidak berhenti. Ya, hingga usia 74 tahun, tetap saja dia berusaha, melihat peluang, dan menjadikannya keuntungan. Tidak hanya keuntungan, aksi sosial pun seakan tiada henti dia lakukan. Hal ini yang kadang dianggap ‘jelek’ oleh beberapa orang. “Banyak yang bilang saya rakus, sebenarnya tidak demikian. Semakin banyak yang kita punya maka semakin banyak yang bisa dibagikan,” jelasnya.
Beberapa kali perbincangan terhenti. Pasalnya, telepon selulernya seakan tak berhenti bersuara. Beberapa kali pula Anif membiarkan perbincangan didengar Sumut Pos. Dia sengaja meng-loudspeaker-kan handphonenya. Misalnya ketika koleganya dari Singapura telepon. Begitu juga, rekannya di Malaysia. Intinya, perbincangan yang didengar Sumut Pos berkaitan dengan Hari Ulang Tahun Haji Anif yang digelar hari ini.
“Sudah berada di Medan mereka,” ungkapnya sambil tersenyum.

“Teman itu penting. Bertemanlah sampai mati dan jangan berteman karena perlu,” tambah Haji Anif. (rbb)

Usianya sudah cukup lanjut, hari ini genap 74 tahun. Namun lelaki bertubuh besar ini tetap menunjukkan sinar mata penuh hasrat. Seakan berkata, masih banyak yang harus dikerjakan saat ini, mengapa harus berpangku tangan?

Haji ANif  Rektor USU Syahril Pasaribu saat penyerahan Gedung Kuliah Bersama USU//DMP/Sumut Pos
Haji ANif dan Rektor USU Syahril Pasaribu saat penyerahan Gedung Kuliah Bersama USU//DMP/Sumut Pos

Begitulah, Haji Anif, lelaki yang sering disebut sebagai sesepuh Sumatera Utara (Sumut). Bukan hanya karena usia dan keberhasilannya menjadi pengusaha nasional, namun kehadirannya dalam membantu warga Sumut mengalir tiada henti; menjelma menjadi masjid, rumah sakit, gedung sekolah, kursus-kursus keterampilan, dan segala kegiatan sosial lainnya.

“Saya bahagia jika apa yang saya lakukan bisa bermanfaat bagi orang lain. Kita hidup dan berusaha di sini bersama masyarakat, jadi selagi mampu saya akan berbuat maksimal untuk khalayak,” ungkap Haji Anif kepada Sumut Pos, Rabu (20/3) di ruang makan rumahnya yang berada di Komplek Cemara Asri Medan.

Pagi itu Haji Anif tampak bersemangat sarapan bersama Sumut Pos. Dengan memakai baju kemeja putih, dia terlihat begitu segar. Padahal, jika menilik usianya yang hari Sabtu (23/3) ini genap 74 tahun, harusnya sinar dari wajahnya itu mulai meredup. “Hidup itu dari sini (Haji Anif menunjuk dadanya). Kalau kita senang, dunia pun jadi menyenangkan,” jelasnya.

Lalu, seperti apa meraih itu? Haji Anif pun bercerita tentang perjalanan hidupnya. Bukan kisah indah, tapi cerita yang menyedihkan. Tepatnya, tahun 1967-an. Saat itu, kehidupan ekonominya tidak sebaik sekarang. Dia masih tinggal di rumah kontrakan bersama istri dan keempat anaknya. “Kami tidak punya televisi, jadi ketika anak-anak mau nonton televisi, mereka mengintip di rumah tetangga melalui jendela. Tapi, tetangga menutup kain jendelanya. Saya sedih sekali waktu itu,” urai lelaki yang kini telah memiliki 27 cucu dan 2 cicit ini.

Kesedihan itu berlanjut ketika Ramadan tiba. Jangankan untuk sahur, untuk berbuka puasa saja kadang mereka tak punya makanan. “Saat sahur, istri saya pernah gorengkan nasi basi untuk anak-anak,” aku Haji Anif.

Kemiskinan telah membuat H Anif berubah. Dia semakin rajin berusaha. Apapun dia lakukan agar  terbebas dari jeratan kemiskinan. “Saya dulu miskin sekali. Tapi begitulah, miskin membuat orang jadi berani. Gigih. Siap bekerja apa saja. Saya tidak mau menjadi orang yang dibenci Allah yakni orang miskin yang sombong,” tegasnya.

Dan, dia berhasil. Berawal dari bisnis bengkel kecil-kecilan, dia merambah ke usaha perkebunan. Tak lama kemudian dijalani bisnis properti. Dan, setelah itu, berbagai bisnis lainnya digeluti hingga dia mencapai level pengusaha nasional.

Keberhasilan itu tak membuatnya pongah hingga lupa daratan. Karena berangkat dari miskin, maka dia pun paham betul seperti apa jadi orang miskin. Dia meningkatkan kegiatan sosialnya. Dia bangun Yayasan Haji Anif yang bergerak untuk membantu warga yang pantas dibantu. Menurut Haji Anif, ada kebanggan ketika melihat orang senang. “Setinggi-tingginya rezeki kita, pasti ada kekurangan. Serendah-rendahnya rezeki kita pasti ada kelebihan,” katanya berfilosofi.

Menariknya, setelah dia dapati semuanya, dia tidak berhenti. Ya, hingga usia 74 tahun, tetap saja dia berusaha, melihat peluang, dan menjadikannya keuntungan. Tidak hanya keuntungan, aksi sosial pun seakan tiada henti dia lakukan. Hal ini yang kadang dianggap ‘jelek’ oleh beberapa orang. “Banyak yang bilang saya rakus, sebenarnya tidak demikian. Semakin banyak yang kita punya maka semakin banyak yang bisa dibagikan,” jelasnya.
Beberapa kali perbincangan terhenti. Pasalnya, telepon selulernya seakan tak berhenti bersuara. Beberapa kali pula Anif membiarkan perbincangan didengar Sumut Pos. Dia sengaja meng-loudspeaker-kan handphonenya. Misalnya ketika koleganya dari Singapura telepon. Begitu juga, rekannya di Malaysia. Intinya, perbincangan yang didengar Sumut Pos berkaitan dengan Hari Ulang Tahun Haji Anif yang digelar hari ini.
“Sudah berada di Medan mereka,” ungkapnya sambil tersenyum.

“Teman itu penting. Bertemanlah sampai mati dan jangan berteman karena perlu,” tambah Haji Anif. (rbb)

Artikel Terkait

Tragedi Akhir Tahun si Logo Merah

Incar Bule karena Hasil Lebih Besar

Baru Mudik Usai Lebaran

spot_imgspot_imgspot_img

Terpopuler

Artikel Terbaru

/