Pelarangan operasional kapal pukat teri yang sudah dua pekan terakhir tidak melakukan aktivitas penangkapan, juga berimbas bagi ratusan orang nelayan.
“Sekarang begini saja, kalau anak dan isteri saya di rumah minta nasi, maka saya harus berusaha mencari beras. Dan kalau tempat saya bekerja mencari nafkah sudah tidak beroperasi lagi, kami seluruh nelayan di sini siap bertindak tegas,” ungkap B Hutabarat (41) buruh nelayan pukat teri tarik dua di Pelabuhan Perikanan Samudera Belawan (PPSB).
Penuturan serupa juga diutarakan, Zainuddin (38) nelayan pukat teri tarik dua lainnya. Bahkan dampak dari tidak berangkatnya kapal pukat teri tarik dua akibat Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan (PSDKP) tidak memberikan izin SLO dan SIB membuat kebutuhan ekonomi keluaraganya saat ini kian terpuruk.
“Entahlah tak tahu lagi mau bagaimana, utang terus bertumpuk. Kebutuhan biaya hidup terus mendesak. Kalau sudah soal perut diganggu jangan salahkan nelayan bila nantinya bertindak,” ujar dia.
Dia menilai, keputusan yang dibuat pemerintah membuatnya bingung dan tak habis pikir. Banyak kapal-kapal ikan dengan alat tangkap bermasalah, bahkan mencapai ratusan unit kapal bebas beroperasi tanpa mendapatkan tindakan tegas dari instansi terkait.
“Banyak kapal ikan bermasalah kenapa dibiarkan, apakah karena yang punya itu rata-rata pengusaha besar terus diizinkan pengoperasiannya. Sementara pungusaha kecil seperti pukat teri yang cuma sehari menangkap paling banyak membawa pulang 80 kilogram terus ditangkapi. Sedangkan mereka yang merusak dan menangkap ikan sampai berton-ton dibiarkan,” ungkapnya.
Ketidaknyamanan itu membuat gelojak. Di beberapa tempat terjadi pertentangan nelayan tradional dengan membakar pukat trawl milik pengusaha, misalnya di Langkat. Aksi pembakaran terhadap pukat trawl sepertinya bukan kali pertama terjadi khususnya di Kabupaten Langkat. Selain menewaskan seorang nelayan, seorang lagi dinyatakan hilang dan beberapa mendapat perawatan medis di rumah sakit.
Teranyar, pembakaran pukat disertai bentrok warga nelayan versus polisi. Padahal dalam setahun terakhir, tercatat dua kali nelayan tradisional berhadapan dengan pengusaha dan proses hukum di kepolisian. Aktivitas pukat dan proses hukum itu, membuat warga nelayan tradisional semakin terjepit. Pasalnya, nelayan yang beranggapan membela diri atau memperjuangkan haknya malah dihadapkan permasalahan baru yakni diamankan pihak kepolisian karena berbuat anarkis.
Di hadapan legislator asal Komisi A DPRD Provinsi Sumut saat mengunjungi keluarga nelayan pascabentrok kemarin, nelayan berharap adanya keseimbangan proses hukum. Harap warga, polisi juga memproses kematian Suparman, seorang warga mereka yang ditabrak pukat seusai terjadinya pembakaran. Tidak hanya itu, satu lainnya warga bernama Syafruddin atau Udin Senyum sampai kini dikabarkan masih belum ditemukan.
Ruslan Ade seorang warga nelayan Desa Perlis Kecamatan Brandan Barat kepada Sumut Pos, Minggu (27/1), menceritakan warga sangat berharap pembebasan puluhan warga nelayan yang hingga kini masih ditahan di Mapoldasu. “Nelayan hanya membela diri kalau pukat trawl itu tidak mengusik nelayan tradisional juga tertib,” ulas dia. (mag-17/mag-4)