Sejak masih gadis cilik, Katarina Siburian Hardono sudah memiliki strong-willed (keinginan kuat). Apapun yang diingini, ia senang mengejarnya sampai dapat. Masih ABG, ia bahkan sudah menetapkan tahapan-tahapan target sesuai umur: 15 tahun punya uang sendiri, lulus kuliah kerja begini, punya mobil, rumah, dan seterusnya. Bahkan usia pensiun pun sudah ditargetkannya. Kunci sukses bagi seorang Katarina: fokus dan spesifik mengejar yang dimau.
SUMUTPOS.CO – “Ibu saya pernah cerita, saat lahir saya sempat disangka sudah meninggal. Soalnya saya terbungkus ari-ari dan terlilit-lilit tali pusar. Tapi kata paman, saya masih hidup. Lantas ia mengambil bilah sembilu dan menyayat pembungkus itu. Dan saya pun menangis kencang. Saat itulah paman bilang, rezeki saya rejeki dewa, saya akan memperoleh apapun yang saya mau,” kata Senior Manager Corporate Communications PT Agincourt Resources ini, sambil terkekeh.
Ia mengakui, sejak kecil telah memiliki strong-willed untuk berbagai hal. Semasa gadis SMP, ia telah mencari uang jajan sendiri dengan berinisiatif mengajar anak-anak tetangga les Bahasa Inggris dan berjualan gorengan & es mambo. “Tak ada yang mendorong. Saya lakukan sendiri apa yang saya mau,” kata anak pertama dari enam bersaudara ini dengan mimik serius.
Katarina yang mengaku terkenal ‘sedikit’ galak, sudah menetapkan target saat masih ABG. “Dulu saya pernah menetapkan, umur sekian sudah mulai kerja, umur sekian harus punya penghasilan sekian, punya mobil merek anu, punya rumah sebesar apa di mana, dan seterusnya,” senyumnya lebar.
Ia mengaku, memang tipe yang keras pada diri sendiri. “Prinsip saya, penghasilan harus menyesuaikan gaya hidup, bukan sebaliknya,” kekehnya lagi.
Sempat berniat menjadi Polwan, perempuan yang saat ini menjadi salah satu dari sedikit Senior Manager perempuan di Tambang Emas Martabe di Batangtoru, Tapanuli Selatan ini, menceritakan perjalanan karirnya selama 30 tahun terjun di bidang komunikasi.
“Sambil kuliah, awal 90 saya kerja paruh waktu. Setelah lulus lantas mulai bekerja di sebuah perusahaan Korea bidang garment dan petrochemical,” tutur perempuan kelahiran Sei Bamban, Deliserdang hampir 50 tahun lalu ini.
Sekitar 6 bulan sebagai personal assistant di sana, ia pindah kerja ke Trakindo Utama. Ditempatkan sebagai HR & Internal Publication Officer. “Dari situlah mulai berminat dengan dunia komunikasi,” cetusnya.
Ia lantas berpindah-pindah kerja. Di antaranya Philips Group Indonesia, World Bank Group, IBM Indonesia, AIA Indonesia, World Vision dan terakhir di Agincourt. Semuanya menangani komunikasi.
“Di Philips saya belajar banyak tentang marketing komunikasi. Bedakan fitur produk dari produk lainnya, merancang program promosi paling pas untuk mendukung pemasaran dan sales. Mengkonsep informasi inovasi jasa dan produk yang harus dikomunikasikan ke distributor sampai pelanggan,” katanya.
Di Philip ia belajar sambil praktek. “Capek tapi senang. Soalnya suasananya cenderung hiruk-pikuk dan meriah,” kenangnya mengingat masa lalu.
Awal 1998 saat krismon, ia pindah kerja ke World Bank. Ditempatkan sebagai Communication Specialist and PR. Di sana ia menanggungjawabi penanganan komunikasi di Unit Sosial Monitoring and Early Response. Unit ini membantu para pejabat World Bank memutuskan, di mana, bagaimana, dalam bentuk apa dan perlu atau tidaknya menyalurkan bantuan/pinjaman ke Indonesia.
“Di WB saya banyak belajar berbagai cara mengambil sampel riset dan menggali data. Tujuan riset untuk membantu pengambilan keputusan. Juga belajar bikin laporan komprehensif untuk dokumen maha formal mengenai berbagai hal, semuanya pakai Bahasa Inggris ‘kromo inggil’ loh,” katanya.
Selama bekerja di WB, ia juga semakin fasih memahami bahasa Inggris dalam beragam aksen, serta pemilihan kata yang tepat dalam Bahasa Inggris. “Bedanya, suasana kerja di World Bank cenderung kalem, tenang. Tidak terlalu dinamis dan tidak punya riak,” lanjutnya.
Suasana kerja seperti ini justru akhirnya membuatnya jenuh. Empat tahun di World Bank, ia memutuskan pindah ke AIA Group sebagai Head of Corporate Communication. “Membantu para agen berjualan produk asuransi. Saya belajar membedakan segmentasi pasar berbagai produk asuransi dan investasi dan jalur pemasarannya,” kata perempuan penggila olahraga ini.
Tak ingin terlalu lama di zona nyaman, lima tahun kemudian Katarina pindah kerja ke IBM. Namun hanya bertahan setahun. Pasalnya, ia menemukan dirinya kurang ‘klik’ dengan dinamika komunikasi produk dan jasa IT.
Ada satu waktu di mana Katarina menemukan bahwa ia mengidap tumor payudara. Setelah operasi dan sembuh, ia ingin melakukan sesuatu yang beda, di mana ilmunya bisa bermanfaat bagi yang membutuhkan. Karena itulah, ia menerima tawaran kerja di World Vision Indonesia, sebuah NGO internasional bidang kemanusiaan. Jabatannya Direktur Komunikasi.
“Di sana saya merasa paling tersentuh secara personal. Merasa berarti karena melakukan sesuatu bagi hidup orang lain,” kisah perempuan kelahiran 25 Juli ini.
Di World Vision, ia banyak traveling ke seluruh penjuru Indonesia dan berbagai belahan dunia, mengomunikasikan berbagai program kemanusiaan, membantu ibu dan anak mendapatkan haknya atas akses kepada kesehatan, ekonomi, pendidikan, dll. “Di World Vision saya banyak digembleng, belajar menangani komunikasi saat krisis dan bencana. Juga pernah memimpin satu kampanye anti diskriminasi terhadap pengidap HIV/AIDS bertajuk One Life Evolution,” tuturnya.
Setelah 3 tahun kepuasan jiwanya terpenuhi, Katarina mengaku akhirnya tergoda dengan tawaran kerja di PT Agincourt Resources. Sembari tertawa ngakak, ia mengaku ujung-ujungnya income menjadi alasan beralih kerja. Di samping –seperti biasa– tidak ingin terlalu lama di zona nyaman.
Meski belum pernah kerja di industri pertambangan, ibu dari Nathanael Satrio Wibowo ini pede saja pindah kerja ke Tambang Emas Martabe. Ia percaya, kekayaan ilmu yang didapatnya di berbagai industri lain tentu bisa diaplikasikan di dunia tambang.
“Berbekal rasa percaya diri yang tinggi dan keterbukaan manajemen Agincourt pada pendekatan komunikasi yang baru, pertengahan tahun 2010 saya resmi bergabung,” cetus perempuan menyuka tantangan ini.
Pelan-pelan, Katarina membangun divisi Corporate Communications di Tambang Emas Martabe, hingga saat ini ia menjabat sebagai Senior Manager. Petakan lingkungan, petakan masalah, menyusun program, melakukan perekrutan SDM, pengaruhi lingkungan kerja, masyarakat, dan para pemangku kepentingan dan sebagainya.
“Meski masih banyak yang perlu diperbaiki, tapi saat ini banyak program komunikasi Tambang Emas Martabe yang dijadikan acuan tambang lain. Saya sendiri tetap belajar meluaskan wawasan, karena dunia komunikasi terus berkembang, sambil melakukan evaluasi ke dalam,” cetusnya manis.
Ia menyebut, berbagai tantangan dalam pekerjaan justru memicu kreativitas dalam dirinya. “Jika ada potensi krisis, semangat dan adrenalin malah terpacu. Jadi lebih kreatif dan inovatif,” katanya penuh semangat.
Katarina kemudian mengakui, bisa jadi ramalan pamannya ada benarnya. “Meski tidak kaya, tetapi secara materi saya telah mendapatkan hampir semua yang saya inginkan. Dulu pernah mengagumi perumahan di lingkungan elit. Pengen punya rumah bagus di situ, saya pun mengejarnya. Sekarang sudah tercapai, ya cukuplah” katanya lagi, sembari tertawa lebar.
Inti kesuksesan, cetus perempuan bertubuh atletis dengan tinggi 167 cm ini, yakni fokus mengejar yang diingini. And be specific! “Kata suami, saya perempuan dengan seratus juta kemauan. Tapi begitupun, dia tetap hanya mau saya aja loh… hahahaha….,” katanya.
Meski demikian, kekayaan terpenting buat seorang Katarina adalah keluarga. Keluarga kecilnya adalah yang utama dan segalanya baginya.
Di akhir obrolan, istri Bambang Hardono itu menegaskan, untuk sukses, seseorang perlu terus menyemangati diri dan tidak berhenti belajar. “Keep on fire. Ada banyak cara untuk belajar. Bukan hanya baca buku beratus halaman. Sharing and listening juga bentuk pembelajaran. Teruslah update diri sendiri dengan berbagai informasi; biar jangan bodoh,” ungkapnya bersemangat. (mea)