25 C
Medan
Sunday, November 24, 2024
spot_img

Ulah 7 Naga, Danau Toba Gagal jadi Geopark Dunia

Dia menyebut ada 100 spesies tumbuhan di Bukit Barisan, di sekitar Danau Toba, yang punya nilai jual tinggi. Dulu, dijaman VOC yang masuk mendompleng syiar agama Kristen, rempah-rempah di Barus diangkuti penjajah. Termasuk sirih itu, yang oleh penjajah melarang penggunaan daun sirih, nilam, dan jeruk purut dalam prosesi-prosesi adat leluluhur. Dengan mengatakan itu bertentangan dengan agama. Padahal, tujuannya agar komoditi itu bisa diangkut VOC. “Perlu diketahui, jeruk purut itu bahan minyak wangi terkenal di Paris,” ujarnya.

“Dan ada 400-an jenis anggrek di sekitar Danau Toba,” imbuhnya lagi.

Mengenai budaya, Hinca cerita, penjajah VOC juga mempreteli kebiasaan-kebiasaan leluhur. “Jadilah orang Batak sekarang seperti orang Jerman, pergi ke gereja memakai jas, gak pakai ulos. Budaya Batak gak boleh mati!” ucapnya dengan nada tinggi, sembari mengacungkan jari telunjuknya.

Nah, tiga hal itu, yakni batu-batuan, kekayaan biologi, dan budaya, harus mampu dikelola Badan Otorita sebagai kekuatan pengembangan Danau Toba sebagai destinasi wisata kelas dunia. Jika nantinya Badan Otorita hanya berkutat pada Danau Toba saja, Hinca yakin tidak akan berhasil menarik wisatawan.

Menurutnya, kekuatan sebuah destinasi wisata terletak pada keunikan budayanya. Dia memberi contoh Bali. Di Pulau Dewata itu, meski diskotik penuh dengan wajah-wajah bule, tapi beberapa meter dari situ tetap ada Pura, warga Bali khusuk beribadah. Pohon-pohon pun disarungi. Sebuah budaya yang menarik wisatawan.

Diingatkan lagi, tidak cukup hanya menjual panorama Danau Toba. “Karena keindahan alam itu paling lama hanya dilihat dua setengah menit. Tapi keindahan budaya, menyentuh hati, perasaan, menimbulkan kerinduan,” urainya.

Lantas dia mencontoh lokasi lain, Tana Toraja, dengan tulang-tulang dan tengkorak para leluhur yang di pajang di tebing-tebing yang tinggi, yang menarik wisatawan mancanegara. Sebuah budaya yang mampu menyedot perhatian dunia.

Karena itu, Hinca mengingatkan, pengisian personel yang duduk di Badan Otorita Danau Toba nantinya juga sangat menentukan.

“SDM-SDM yang duduk di Badan Otorita harus paham kultur Batak, paham bagaimana menghargai warisan para leluhur. Yang punya kearifan lokal. Jangan hanya utak-atik Danau Toba. Sudahlah, Danau Toba itu sudah indah. Yang terpenting bagaimana menjaga budaya, yang sekarang sudah mulai habis, tak ada lagi gondang,” cetusnya lagi.

Dia menekankan pentingnya Badan Otorita nantinya mampu menjaga budaya, bersamaan dengan semangat menarik bule-bule berkunjung ke Danau Toba. “Kalau tidak, bahaya, jumlah penderita HIV/Aids bisa makin tinggi,” ucapnya.

Saat ini, lanjutnya, Sumut sudah menduduki peringkat ke-6 provinsi yang penderita HIV/Aids-nya terbanyak. “Dari 33 kabupaten/kota di Sumut, Balige, Tobasa, nomor satu. Tapi gereja, masjid, semua diam karena itu dianggap aib. Maka kembalilah ke budaya,” ujarnya, lantas menenggak air mineral dari botol bening. ***

Dia menyebut ada 100 spesies tumbuhan di Bukit Barisan, di sekitar Danau Toba, yang punya nilai jual tinggi. Dulu, dijaman VOC yang masuk mendompleng syiar agama Kristen, rempah-rempah di Barus diangkuti penjajah. Termasuk sirih itu, yang oleh penjajah melarang penggunaan daun sirih, nilam, dan jeruk purut dalam prosesi-prosesi adat leluluhur. Dengan mengatakan itu bertentangan dengan agama. Padahal, tujuannya agar komoditi itu bisa diangkut VOC. “Perlu diketahui, jeruk purut itu bahan minyak wangi terkenal di Paris,” ujarnya.

“Dan ada 400-an jenis anggrek di sekitar Danau Toba,” imbuhnya lagi.

Mengenai budaya, Hinca cerita, penjajah VOC juga mempreteli kebiasaan-kebiasaan leluhur. “Jadilah orang Batak sekarang seperti orang Jerman, pergi ke gereja memakai jas, gak pakai ulos. Budaya Batak gak boleh mati!” ucapnya dengan nada tinggi, sembari mengacungkan jari telunjuknya.

Nah, tiga hal itu, yakni batu-batuan, kekayaan biologi, dan budaya, harus mampu dikelola Badan Otorita sebagai kekuatan pengembangan Danau Toba sebagai destinasi wisata kelas dunia. Jika nantinya Badan Otorita hanya berkutat pada Danau Toba saja, Hinca yakin tidak akan berhasil menarik wisatawan.

Menurutnya, kekuatan sebuah destinasi wisata terletak pada keunikan budayanya. Dia memberi contoh Bali. Di Pulau Dewata itu, meski diskotik penuh dengan wajah-wajah bule, tapi beberapa meter dari situ tetap ada Pura, warga Bali khusuk beribadah. Pohon-pohon pun disarungi. Sebuah budaya yang menarik wisatawan.

Diingatkan lagi, tidak cukup hanya menjual panorama Danau Toba. “Karena keindahan alam itu paling lama hanya dilihat dua setengah menit. Tapi keindahan budaya, menyentuh hati, perasaan, menimbulkan kerinduan,” urainya.

Lantas dia mencontoh lokasi lain, Tana Toraja, dengan tulang-tulang dan tengkorak para leluhur yang di pajang di tebing-tebing yang tinggi, yang menarik wisatawan mancanegara. Sebuah budaya yang mampu menyedot perhatian dunia.

Karena itu, Hinca mengingatkan, pengisian personel yang duduk di Badan Otorita Danau Toba nantinya juga sangat menentukan.

“SDM-SDM yang duduk di Badan Otorita harus paham kultur Batak, paham bagaimana menghargai warisan para leluhur. Yang punya kearifan lokal. Jangan hanya utak-atik Danau Toba. Sudahlah, Danau Toba itu sudah indah. Yang terpenting bagaimana menjaga budaya, yang sekarang sudah mulai habis, tak ada lagi gondang,” cetusnya lagi.

Dia menekankan pentingnya Badan Otorita nantinya mampu menjaga budaya, bersamaan dengan semangat menarik bule-bule berkunjung ke Danau Toba. “Kalau tidak, bahaya, jumlah penderita HIV/Aids bisa makin tinggi,” ucapnya.

Saat ini, lanjutnya, Sumut sudah menduduki peringkat ke-6 provinsi yang penderita HIV/Aids-nya terbanyak. “Dari 33 kabupaten/kota di Sumut, Balige, Tobasa, nomor satu. Tapi gereja, masjid, semua diam karena itu dianggap aib. Maka kembalilah ke budaya,” ujarnya, lantas menenggak air mineral dari botol bening. ***

Artikel Terkait

spot_imgspot_imgspot_img

Terpopuler

Artikel Terbaru

/