25.6 C
Medan
Monday, May 27, 2024

Ulah 7 Naga, Danau Toba Gagal jadi Geopark Dunia

Foto: Sutomo Samsu/Sumut Pos Hinca Panjaitan.
Foto: Sutomo Samsu/Sumut Pos
Hinca Panjaitan.

Mengenakan baju Partai Demokrat, bagian ujung lengan dan kerah bermotif Gorga Batak. Di saku bajunya tersembul sehelai daun sirih yang masih segar.

Soetomo Samsu-Jakarta

“Saya kemana-mana membawa daun sirih karena inilah salah satu warisan budaya dari leluhur orang Batak,” ucap Hinca Panjaitan mengawali perbincangan dengan koran ini di sebuah hotel di kawasan Senayan, Jakarta, Minggu malam (30/11).

Pria kelahiran Asahan 25 September 1964 itu begitu antusias jika berbicara mengenai budaya Batak, juga mengenai Danau Toba. Waketum PSSI itu pun mengaku akan senantiasa membawa jati dirinya sebagai orang Batak, dimana pun. Termasuk, ketika menghadiri Kongres FIFA di Swiss, Mei 2015.

Dia menunjukkan foto dirinya mengenakan kain ulos yang diikatkan di kepala, berselfie bersama Presiden FIFA Sepp Blatter. Di foto lain, dia mengalungkan kain ulos di sebuah acara resmi Partai Demokrat.

Tapi malam itu Hinca bicara soal rencana Presiden Jokowi Widodo membentuk Badan Otorita Pariwisata Kawasan Danau Toba. Dia menguraikan kalimat sebelumnya, yang menyebut Badan Otorita ini nantinya punya tugas berat, yakni menaklukkan “tujuh naga” di sekitar Danau Toba. Yang dimaksud adalah tujuh pemda di sekitar Danau Toba, yakni Samosir, Toba Samosir, Simalungun, Taput, Humbahas, Dairi, dan Karo.

“Ya, karena Pemprov Sumut sudah terbukti gagal menaklukkan tujuh naga. Gara-gara sikap tujuh naga itu, Danau Toba gagal menjadi Geopark Dunia,” ujar pria bergelar doktor itu dengan kalimat lugas.

Dua naga, yakni Samosir dan Simalungun, berebut, merasa paling berhak mendirikan pusat informasi destinasi wisata Danau Toba. Simalungun yang punya Parapat, merasa sudah duluan terkenal dibanding Danau Toba. Sedang Samosir merasa sebagai episentrum “danau ajaib” itu.

“Sedang lima naga yang lain cuek-cuek, karena merasa hanya menjadi beranda. Jadi tidak kompak dan Pemprov Sumut tak mampu mengatasi,” cetusnya.

Hasilnya, penilaian dari Unesco sebagai panitia Geopark Dunia, memberikan nilai nol untuk aspek menajemen. “Padahal, nilai untuk aspek partisipasi masyarakat, tinggi sekali. Saya sempat bilang biar saya saja yang bikin pusat informasi, tapi pihak Unesco bilagn “tidak bisa”, harus pemerintah yang bikin. Ya karena saya ini kan dari kelompok civil society, bukan pemerintah,” ujarnya dengan nada menyesal.

Karena itu, Hinca sangat berharap Badan Otorita nantinya mampu menaklukkan naga-naga di sekitar Danau Toba yang keras kepala. “Setidak-tidaknya, saya berharap Badan Otorita yang nantinya mengoreksi kegagalan Danau Toba menjadi Geopark Dunia,” imbuhnya.

Hinca sendiri bukannya tanpa konsep. Panjang lebar dia membeberkan mengenai hebatnya kawasan sekitar Danau Toba. Ada tiga hal yang bisa “dijual”, yakni batu-batuan, kekayaan biologis, dan kultur budaya Batak yang unik.

Foto: Sutomo Samsu/Sumut Pos Hinca Panjaitan.
Foto: Sutomo Samsu/Sumut Pos
Hinca Panjaitan.

Mengenakan baju Partai Demokrat, bagian ujung lengan dan kerah bermotif Gorga Batak. Di saku bajunya tersembul sehelai daun sirih yang masih segar.

Soetomo Samsu-Jakarta

“Saya kemana-mana membawa daun sirih karena inilah salah satu warisan budaya dari leluhur orang Batak,” ucap Hinca Panjaitan mengawali perbincangan dengan koran ini di sebuah hotel di kawasan Senayan, Jakarta, Minggu malam (30/11).

Pria kelahiran Asahan 25 September 1964 itu begitu antusias jika berbicara mengenai budaya Batak, juga mengenai Danau Toba. Waketum PSSI itu pun mengaku akan senantiasa membawa jati dirinya sebagai orang Batak, dimana pun. Termasuk, ketika menghadiri Kongres FIFA di Swiss, Mei 2015.

Dia menunjukkan foto dirinya mengenakan kain ulos yang diikatkan di kepala, berselfie bersama Presiden FIFA Sepp Blatter. Di foto lain, dia mengalungkan kain ulos di sebuah acara resmi Partai Demokrat.

Tapi malam itu Hinca bicara soal rencana Presiden Jokowi Widodo membentuk Badan Otorita Pariwisata Kawasan Danau Toba. Dia menguraikan kalimat sebelumnya, yang menyebut Badan Otorita ini nantinya punya tugas berat, yakni menaklukkan “tujuh naga” di sekitar Danau Toba. Yang dimaksud adalah tujuh pemda di sekitar Danau Toba, yakni Samosir, Toba Samosir, Simalungun, Taput, Humbahas, Dairi, dan Karo.

“Ya, karena Pemprov Sumut sudah terbukti gagal menaklukkan tujuh naga. Gara-gara sikap tujuh naga itu, Danau Toba gagal menjadi Geopark Dunia,” ujar pria bergelar doktor itu dengan kalimat lugas.

Dua naga, yakni Samosir dan Simalungun, berebut, merasa paling berhak mendirikan pusat informasi destinasi wisata Danau Toba. Simalungun yang punya Parapat, merasa sudah duluan terkenal dibanding Danau Toba. Sedang Samosir merasa sebagai episentrum “danau ajaib” itu.

“Sedang lima naga yang lain cuek-cuek, karena merasa hanya menjadi beranda. Jadi tidak kompak dan Pemprov Sumut tak mampu mengatasi,” cetusnya.

Hasilnya, penilaian dari Unesco sebagai panitia Geopark Dunia, memberikan nilai nol untuk aspek menajemen. “Padahal, nilai untuk aspek partisipasi masyarakat, tinggi sekali. Saya sempat bilang biar saya saja yang bikin pusat informasi, tapi pihak Unesco bilagn “tidak bisa”, harus pemerintah yang bikin. Ya karena saya ini kan dari kelompok civil society, bukan pemerintah,” ujarnya dengan nada menyesal.

Karena itu, Hinca sangat berharap Badan Otorita nantinya mampu menaklukkan naga-naga di sekitar Danau Toba yang keras kepala. “Setidak-tidaknya, saya berharap Badan Otorita yang nantinya mengoreksi kegagalan Danau Toba menjadi Geopark Dunia,” imbuhnya.

Hinca sendiri bukannya tanpa konsep. Panjang lebar dia membeberkan mengenai hebatnya kawasan sekitar Danau Toba. Ada tiga hal yang bisa “dijual”, yakni batu-batuan, kekayaan biologis, dan kultur budaya Batak yang unik.

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/