28 C
Medan
Sunday, February 23, 2025
spot_img

Rekornya Tentukan Keaslian Berlian 40 Karat

Ada empat jenis utama batu mulia dengan grade atau tingkat tertinggi, yakni berlian, ruby, sapphire, dan emerald. Sumarni mengatakan, mempelajari berlian lebih rumit daripada batu permata lainnya. Misalnya, untuk pengetahuan dasar tentang berlian, dibutuhkan sepuluh kali pertemuan perkuliahan, masing-masing tiga jam, untuk mempelajari faktor 4C. Yakni clarity (kejernihan), color (warna), cut (potongan), dan carat (karat). Pengetahuan dasar itu juga menjadi metode penentuan berlian asli atau palsu. Sedangkan untuk mempelajari batu permata seperti ruby, sapphire, dan emerald, dibutuhkan dalam tiga kali pertemuan, masing-masing tiga jam.

Menurut Sumarni, seiring majunya teknologi, proses identifikasi batu permata juga kian sulit karena makin banyak batu permata sintetis yang mirip sekali dengan aslinya. Misalnya, dengan penambahan serat batu, yang palsu terlihat seperti batu asli. Apalagi, banyak beredar batu palsu yang mengalami proses treatment di laboratorium untuk meningkatkan kualitasnya. “Jenis batu aspal (asli tapi palsu) ini sulit diidentifikasi,” ujarnya.

Identifikasi batu sintetis bisa dilakukan dengan alat sederhana seperti lup atau kaca pembesar dan lampu sorot. Namun, untuk batu sintetis yang diolah di laboratorium atau batu “aspal”, identifikasi dengan alat-alat standar tidak akan cukup. Itulah yang membuat batu-batu palsu kian beredar, bahkan di kalangan pedagang atau kolektor.

Karena itu, dibutuhkan alat-alat diagnosis yang lebih canggih. Contohnya, monochromatic light, fiber optic light, dichroscope, specific gravity balance, cairan specific grafity, hingga alat canggih terbaru semacam UV-VIS-NIR spectrophotometer dan fourier transform infrared spectrophotometer (FTIR) yang harganya miliaran rupiah.

Dengan alat-alat canggih itulah, proses identifikasi batu bisa mencapai tingkat keakuratan sangat tinggi. Sumarni menyebutkan, sehebat-hebatnya batu sintetis atau batu permata asli tapi palsu yang dipoles di laboratorium, tetap akan ada cacat yang bisa dilihat. “Sebab, yang asli terbentuk ribuan tahun di alam, sedangkan yang palsu hanya dibentuk beberapa hari di laboratorium,” katanya.

Meski secara tren diketahui ada 40″50 persen batu permata palsu yang ditemukan melalui identifikasi di laboratorium, persentase itu bisa melonjak. Misalnya, saat Jawa Pos diajak masuk ke laboratoium Adamas, ada enam batu permata yang baru saja selesai diidentifikasi. Hasilnya, lima batu dinyatakan palsu atau sintetis, sedangkan satu batu dinyatakan asli tapi sudah mengalami proses pemolesan alias “aspal”.

Untuk batu-batu yang diketahui palsu, gemologist akan mengeluarkan memo atau catatan hasil cek laboratorium. Namun, jika hasilnya dinyatakan asli, pemilik batu bisa meminta memo atau sertifikat keaslian.

Biaya yang harus dikeluarkan pemilik untuk memeriksakan batu permatanya beragam, mulai Rp 100 ribu hingga jutaan rupiah, bergantung jenis, berat, serta tingkat kerumitan. Sumarni mengungkapkan, dengan alat-alat canggih yang dimiliki laboratorium milik keluarganya, proses identifikasi batu hanya memakan waktu sekitar 30 menit. “Tapi, kalau agak rumit, bisa sampai tiga jam,” ujarnya.

Ada empat jenis utama batu mulia dengan grade atau tingkat tertinggi, yakni berlian, ruby, sapphire, dan emerald. Sumarni mengatakan, mempelajari berlian lebih rumit daripada batu permata lainnya. Misalnya, untuk pengetahuan dasar tentang berlian, dibutuhkan sepuluh kali pertemuan perkuliahan, masing-masing tiga jam, untuk mempelajari faktor 4C. Yakni clarity (kejernihan), color (warna), cut (potongan), dan carat (karat). Pengetahuan dasar itu juga menjadi metode penentuan berlian asli atau palsu. Sedangkan untuk mempelajari batu permata seperti ruby, sapphire, dan emerald, dibutuhkan dalam tiga kali pertemuan, masing-masing tiga jam.

Menurut Sumarni, seiring majunya teknologi, proses identifikasi batu permata juga kian sulit karena makin banyak batu permata sintetis yang mirip sekali dengan aslinya. Misalnya, dengan penambahan serat batu, yang palsu terlihat seperti batu asli. Apalagi, banyak beredar batu palsu yang mengalami proses treatment di laboratorium untuk meningkatkan kualitasnya. “Jenis batu aspal (asli tapi palsu) ini sulit diidentifikasi,” ujarnya.

Identifikasi batu sintetis bisa dilakukan dengan alat sederhana seperti lup atau kaca pembesar dan lampu sorot. Namun, untuk batu sintetis yang diolah di laboratorium atau batu “aspal”, identifikasi dengan alat-alat standar tidak akan cukup. Itulah yang membuat batu-batu palsu kian beredar, bahkan di kalangan pedagang atau kolektor.

Karena itu, dibutuhkan alat-alat diagnosis yang lebih canggih. Contohnya, monochromatic light, fiber optic light, dichroscope, specific gravity balance, cairan specific grafity, hingga alat canggih terbaru semacam UV-VIS-NIR spectrophotometer dan fourier transform infrared spectrophotometer (FTIR) yang harganya miliaran rupiah.

Dengan alat-alat canggih itulah, proses identifikasi batu bisa mencapai tingkat keakuratan sangat tinggi. Sumarni menyebutkan, sehebat-hebatnya batu sintetis atau batu permata asli tapi palsu yang dipoles di laboratorium, tetap akan ada cacat yang bisa dilihat. “Sebab, yang asli terbentuk ribuan tahun di alam, sedangkan yang palsu hanya dibentuk beberapa hari di laboratorium,” katanya.

Meski secara tren diketahui ada 40″50 persen batu permata palsu yang ditemukan melalui identifikasi di laboratorium, persentase itu bisa melonjak. Misalnya, saat Jawa Pos diajak masuk ke laboratoium Adamas, ada enam batu permata yang baru saja selesai diidentifikasi. Hasilnya, lima batu dinyatakan palsu atau sintetis, sedangkan satu batu dinyatakan asli tapi sudah mengalami proses pemolesan alias “aspal”.

Untuk batu-batu yang diketahui palsu, gemologist akan mengeluarkan memo atau catatan hasil cek laboratorium. Namun, jika hasilnya dinyatakan asli, pemilik batu bisa meminta memo atau sertifikat keaslian.

Biaya yang harus dikeluarkan pemilik untuk memeriksakan batu permatanya beragam, mulai Rp 100 ribu hingga jutaan rupiah, bergantung jenis, berat, serta tingkat kerumitan. Sumarni mengungkapkan, dengan alat-alat canggih yang dimiliki laboratorium milik keluarganya, proses identifikasi batu hanya memakan waktu sekitar 30 menit. “Tapi, kalau agak rumit, bisa sampai tiga jam,” ujarnya.

spot_img

Artikel Terkait

spot_imgspot_imgspot_img

Terpopuler

spot_imgspot_imgspot_img

Artikel Terbaru

/