31 C
Medan
Friday, June 28, 2024

Listrik Padam, Peringatan Hanya Pakai Pluit

Foto: Puput Julianti Damanik/Sumut Pos Hadi saat menanti kereta lewat dan memberikan salam. Ini menjadi kewajiban bagi penjaga palang pintu.
Foto: Puput Julianti Damanik/Sumut Pos
Hadi saat menanti kereta lewat dan memberikan salam. Ini menjadi kewajiban bagi penjaga palang pintu.

SUMUTPOS.CO – Palang pintu perlintasan kereta api (KA) di Jalan Mandala By Pass Medan itu tampak terkendali. Turun berlahan dan sesekali berhenti menunggu sebuah truk dan kendaraan lainnya yang sudah terlanjur melewati palang. Kemudian turun lagi dengan sangat pelan. Pengguna jalan yang ingin melintas berhenti, kereta dengan gagah melintas.

 

Puput Julianti Damanik, Medan

 

Saat kereta mendekat, seorang pria dengan seragam lengkap, rompi berwarna oranye keluar dari pos. Ia berdiri tepat di samping pos yang tak jauh dari palang perlintasan, lalu memberikan salam. Setelah kereta lewat, bergegas ia masuk ke pos dan palang kembali terbuka. Ya, pria tersebut pengendali palang perlintasan KA.

Bayangkan saja bila tidak ada palang perlintasan atau penjaga palang yang tidak fokus dengan pekerjaannya. Semua memang tidak menjadi jaminan. Penasaran, Sumut Pos pun berinisiatif melihat lebih dekat tugas penjaga palang perlintasan di Jalan Mandala atau PJL O9 Medan tersebut.

Pria yang tadi keluar dari pos itu bernama Hadi Sumarto, usianya masih terbilang muda, masih 29 tahun. Ia tampak sibuk tapi tetap ramah menyapa, bahkan setelah dijelaskan dengan senang ia mengizinkan Sumut Pos melihatnya bekerja.

Pos itu berukuran sekitar 3 X 2 meter, di dalamnya terdapat sebuah radio kontak, mesin peringatan yang dinamai genta, satu mesin pengendali palang perlintasan, papan kecil berisikan waktu keberangkatan KA, kaca berukuran sedang yang menghadap ke belakang dan satu kertas kecil yang dilaminating berisikan pedoman bekerja. Nomor urut pertama memulai dengan berdoa.

Sekitar 15 menit, radio kontak mengeluarkan suara. “Dari Bandar Khalipah masuk!”

Hadi pun langsung bergerak dari tempat duduknya dan membalas. “Di-copy, Mandala!!” Setelah itu ia pun kembali duduk di kursinya dan menekan sebuah tombol bernama genta. Matanya masih melirik tajam ke kaca yang diletakkan tepat di depan untuk melihat kereta yang datang. Tangan kirinya kemudian memegang tombol untuk menurunkan palang. Matanya kembali awas, melihat keluar, memastikan tidak ada kendaraan di bawah palang. Setelah itu dirapikannya seragam dan topinya, ia keluar dan memberikan salam kepada kereta yang melintas. Kemudian palang kembali dibuka.

“Seperti inilah pekerjaan penjaga palang pintu. Harus benar-benar teliti karena menyangkut nyawa manusia,” ujarnya singkat.

Tanpa segan ia pun mengenalkan peralatan yang digunakan. “Kereta yang datang itu dari Stasiun Bandar khalipah, sedangkan KA yang mau berangkat itu dari arah Aksara, Thamrin, dan Sutomo. Sehingga kita memang harus terus berkomunikasi dengan petugas di pos tersebut. Untuk memperingatkan adanya KA yang akan lewat, biasanya diingatkan lewat radio kontak dan genta,” ujarnya.

Saat listrik padam, maka radio kontak akan mati dan komunikasi hanya melalui sebuah tombol genta. Tapi, yang paling ia khawatirkan adalah palang pintu itu karena harus memakai baterai. “Kalau mati lampu yah pakai genta aja tidak ada masalah. Tapi terkadangkan sangsi juga, khususnya palang itu karena menggunakan baterai dan kapasitasnya cuma bisa sampai sekitar 3 jam. Makanya sulit juga kalau mati listrik, dan kaca ini sebagai alat pembantu,” ujarnya ayah dari Wari Suhendra (5 bulan).

Hal itu pun sudah beberapa kali terjadi, maka yang Hadi lakukan adalah mengingatkan pengguna jalan secara langsung dengan menggunakan peluit, sirene, dan bendera. “Kalau palang pintu kehabisan baterai itu beberapa kali pernah terjadi, saya terpaksa turun langsung untuk menyetop orang yang lewat. Alat bantunya pakai peluit dan sirene dan bendera berwarna merah-kuning,” ujarnya sembari mengharapkan pemadaman listrik saat ini dapat selesai dan tidak lama.

Setelah itu, Hadi meminta izin mempending percakapan karena kereta dari Stasiun Besar Medan akan melintas. Hadi memang tidak punya waktu banyak untuk bersantai dari pekerjaannya. Apalagi saat ini jumlah kereta bertambah dengan adanya Bandara Kualanamu. “Sekarang jumlah KA semakin banyak, saya kalau shift pagi masuk jam 7 dan pulang jam 2 siang dan sepanjang waktu itu tak bisa main-main. Setengah hari saja hampir 16 kereta bisa melintas, buang air kecil pun sudah susah,” ujarnya.

Saat kembali ditemui, pria yang telah bekerja di PT KAI sejak 2008 ini pun tanpa segan menceritakan semuanya. “Saya masuk kerja pada 2008, sebelumnya saya bekerja buruh kasar dan kesana-kemari, semua saya kerjakan yang penting saya tidak menjadi beban orangtua. Pada 2008 ada kesempatan saya coba mendaftar dan akhirnya diterima. Kebetulan almarhum ayah saya juga bekerja seperti ini dulunya,” ujar Hadi.

Anak ketiga dari empat bersaudara pasangan Marlia dan Almarhum legiman LA Suparjo ini pun menceritakan pengalamannya. Sebelum di Mandala, ia pernah ditempatkan di pos perlintasan di Sisingamangaraja. Ia mengaku pernah melakukan hal fatal saat itu karena adanya misskomunikasi. Ia mendapatkan perintah untuk membuka kembali palang karena kereta berhenti dan tidak jadi lewat. Setelah dibuka, tiba-tiba kereta muncul.  Ia pun lompat dan menyuruh seluruh pengguna jalan untuk berhenti.

“Saat itu saya memang masih baru diangkat dari lapangan untuk menggantikan penjaga palang di Sisingamangaraja yang akan pensiun. Kereta yang melintas di Jalur di Sisingamangaraja itu beda di perlintasan Mandala atau lainnya karena ada tikungan dan di situ kereta bisa berhenti bila ada kereta yang akan datang. Nah, saat itu, saya diberitahukan sama yang ngajari kalau kereta ternyata berhenti maka palang harus dibuka. Setelah saya buka ternyata keretanya tiba-tiba datang. Saya spontan lompat dan menyuruh pengguna jalan berhenti langsung. Syukur ada beberapa pegawai PDAM Tirtanadi yang sedang santai dekat pos mau membantu. Dari situ saya sempat trauma,” ujarnya.

Tapi, ternyata Hadi tidak kapok. Ia kembali belajar dan akhirnya sekarang mulai terbiasa. Selama hampir 2 tahun di Mandala, ia merasa tak ada kendala. Kecuali bila listrik padam dan ganguan lainnya seperti ngantuk. Begitupun dia menggunakan HT atau radio kontak untuk bercanda dengan rekannya di pos-pos lainnya. “Kuncinya saya mau terus belajar ‘kenapa mereka bisa, saya enggak’. Nah, kalau suntuk, kadang-kadang waktu luang kami becanda melalui radio kontak sama teman-teman di pos lainnya. Kitakan sudah kenal sama sesamanya, apalagi temen yang jadwal kerjanya sama. Intinya tidak ada halangan,” ujarnya.

Sebelum menjadi penjaga palang pintu perlintasan, Hadi pernah menjadi juru periksa rel. Bekerja saat malam dan melewati rel sepanjang 5 km sendirian. “Di situ kita lihat apa ada mur yang kendur atau apa saja yang rusak, saat itu saya kerjanya malam dan jalan di rel sepanjang 5 km,” katanya. (bersambung/rbb)

Foto: Puput Julianti Damanik/Sumut Pos Hadi saat menanti kereta lewat dan memberikan salam. Ini menjadi kewajiban bagi penjaga palang pintu.
Foto: Puput Julianti Damanik/Sumut Pos
Hadi saat menanti kereta lewat dan memberikan salam. Ini menjadi kewajiban bagi penjaga palang pintu.

SUMUTPOS.CO – Palang pintu perlintasan kereta api (KA) di Jalan Mandala By Pass Medan itu tampak terkendali. Turun berlahan dan sesekali berhenti menunggu sebuah truk dan kendaraan lainnya yang sudah terlanjur melewati palang. Kemudian turun lagi dengan sangat pelan. Pengguna jalan yang ingin melintas berhenti, kereta dengan gagah melintas.

 

Puput Julianti Damanik, Medan

 

Saat kereta mendekat, seorang pria dengan seragam lengkap, rompi berwarna oranye keluar dari pos. Ia berdiri tepat di samping pos yang tak jauh dari palang perlintasan, lalu memberikan salam. Setelah kereta lewat, bergegas ia masuk ke pos dan palang kembali terbuka. Ya, pria tersebut pengendali palang perlintasan KA.

Bayangkan saja bila tidak ada palang perlintasan atau penjaga palang yang tidak fokus dengan pekerjaannya. Semua memang tidak menjadi jaminan. Penasaran, Sumut Pos pun berinisiatif melihat lebih dekat tugas penjaga palang perlintasan di Jalan Mandala atau PJL O9 Medan tersebut.

Pria yang tadi keluar dari pos itu bernama Hadi Sumarto, usianya masih terbilang muda, masih 29 tahun. Ia tampak sibuk tapi tetap ramah menyapa, bahkan setelah dijelaskan dengan senang ia mengizinkan Sumut Pos melihatnya bekerja.

Pos itu berukuran sekitar 3 X 2 meter, di dalamnya terdapat sebuah radio kontak, mesin peringatan yang dinamai genta, satu mesin pengendali palang perlintasan, papan kecil berisikan waktu keberangkatan KA, kaca berukuran sedang yang menghadap ke belakang dan satu kertas kecil yang dilaminating berisikan pedoman bekerja. Nomor urut pertama memulai dengan berdoa.

Sekitar 15 menit, radio kontak mengeluarkan suara. “Dari Bandar Khalipah masuk!”

Hadi pun langsung bergerak dari tempat duduknya dan membalas. “Di-copy, Mandala!!” Setelah itu ia pun kembali duduk di kursinya dan menekan sebuah tombol bernama genta. Matanya masih melirik tajam ke kaca yang diletakkan tepat di depan untuk melihat kereta yang datang. Tangan kirinya kemudian memegang tombol untuk menurunkan palang. Matanya kembali awas, melihat keluar, memastikan tidak ada kendaraan di bawah palang. Setelah itu dirapikannya seragam dan topinya, ia keluar dan memberikan salam kepada kereta yang melintas. Kemudian palang kembali dibuka.

“Seperti inilah pekerjaan penjaga palang pintu. Harus benar-benar teliti karena menyangkut nyawa manusia,” ujarnya singkat.

Tanpa segan ia pun mengenalkan peralatan yang digunakan. “Kereta yang datang itu dari Stasiun Bandar khalipah, sedangkan KA yang mau berangkat itu dari arah Aksara, Thamrin, dan Sutomo. Sehingga kita memang harus terus berkomunikasi dengan petugas di pos tersebut. Untuk memperingatkan adanya KA yang akan lewat, biasanya diingatkan lewat radio kontak dan genta,” ujarnya.

Saat listrik padam, maka radio kontak akan mati dan komunikasi hanya melalui sebuah tombol genta. Tapi, yang paling ia khawatirkan adalah palang pintu itu karena harus memakai baterai. “Kalau mati lampu yah pakai genta aja tidak ada masalah. Tapi terkadangkan sangsi juga, khususnya palang itu karena menggunakan baterai dan kapasitasnya cuma bisa sampai sekitar 3 jam. Makanya sulit juga kalau mati listrik, dan kaca ini sebagai alat pembantu,” ujarnya ayah dari Wari Suhendra (5 bulan).

Hal itu pun sudah beberapa kali terjadi, maka yang Hadi lakukan adalah mengingatkan pengguna jalan secara langsung dengan menggunakan peluit, sirene, dan bendera. “Kalau palang pintu kehabisan baterai itu beberapa kali pernah terjadi, saya terpaksa turun langsung untuk menyetop orang yang lewat. Alat bantunya pakai peluit dan sirene dan bendera berwarna merah-kuning,” ujarnya sembari mengharapkan pemadaman listrik saat ini dapat selesai dan tidak lama.

Setelah itu, Hadi meminta izin mempending percakapan karena kereta dari Stasiun Besar Medan akan melintas. Hadi memang tidak punya waktu banyak untuk bersantai dari pekerjaannya. Apalagi saat ini jumlah kereta bertambah dengan adanya Bandara Kualanamu. “Sekarang jumlah KA semakin banyak, saya kalau shift pagi masuk jam 7 dan pulang jam 2 siang dan sepanjang waktu itu tak bisa main-main. Setengah hari saja hampir 16 kereta bisa melintas, buang air kecil pun sudah susah,” ujarnya.

Saat kembali ditemui, pria yang telah bekerja di PT KAI sejak 2008 ini pun tanpa segan menceritakan semuanya. “Saya masuk kerja pada 2008, sebelumnya saya bekerja buruh kasar dan kesana-kemari, semua saya kerjakan yang penting saya tidak menjadi beban orangtua. Pada 2008 ada kesempatan saya coba mendaftar dan akhirnya diterima. Kebetulan almarhum ayah saya juga bekerja seperti ini dulunya,” ujar Hadi.

Anak ketiga dari empat bersaudara pasangan Marlia dan Almarhum legiman LA Suparjo ini pun menceritakan pengalamannya. Sebelum di Mandala, ia pernah ditempatkan di pos perlintasan di Sisingamangaraja. Ia mengaku pernah melakukan hal fatal saat itu karena adanya misskomunikasi. Ia mendapatkan perintah untuk membuka kembali palang karena kereta berhenti dan tidak jadi lewat. Setelah dibuka, tiba-tiba kereta muncul.  Ia pun lompat dan menyuruh seluruh pengguna jalan untuk berhenti.

“Saat itu saya memang masih baru diangkat dari lapangan untuk menggantikan penjaga palang di Sisingamangaraja yang akan pensiun. Kereta yang melintas di Jalur di Sisingamangaraja itu beda di perlintasan Mandala atau lainnya karena ada tikungan dan di situ kereta bisa berhenti bila ada kereta yang akan datang. Nah, saat itu, saya diberitahukan sama yang ngajari kalau kereta ternyata berhenti maka palang harus dibuka. Setelah saya buka ternyata keretanya tiba-tiba datang. Saya spontan lompat dan menyuruh pengguna jalan berhenti langsung. Syukur ada beberapa pegawai PDAM Tirtanadi yang sedang santai dekat pos mau membantu. Dari situ saya sempat trauma,” ujarnya.

Tapi, ternyata Hadi tidak kapok. Ia kembali belajar dan akhirnya sekarang mulai terbiasa. Selama hampir 2 tahun di Mandala, ia merasa tak ada kendala. Kecuali bila listrik padam dan ganguan lainnya seperti ngantuk. Begitupun dia menggunakan HT atau radio kontak untuk bercanda dengan rekannya di pos-pos lainnya. “Kuncinya saya mau terus belajar ‘kenapa mereka bisa, saya enggak’. Nah, kalau suntuk, kadang-kadang waktu luang kami becanda melalui radio kontak sama teman-teman di pos lainnya. Kitakan sudah kenal sama sesamanya, apalagi temen yang jadwal kerjanya sama. Intinya tidak ada halangan,” ujarnya.

Sebelum menjadi penjaga palang pintu perlintasan, Hadi pernah menjadi juru periksa rel. Bekerja saat malam dan melewati rel sepanjang 5 km sendirian. “Di situ kita lihat apa ada mur yang kendur atau apa saja yang rusak, saat itu saya kerjanya malam dan jalan di rel sepanjang 5 km,” katanya. (bersambung/rbb)

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/