25.6 C
Medan
Friday, May 3, 2024

Lahan Eks HGU PTPN Dialihkan ke Swasta, Pakar Hukum: Putusan MA Aneh!

Ilustrasi

BELAWAN, SUMUTPOS.CO – Setelah menjatuhkah vonis hukuman 5 tahun penjara terhadap pengusaha Tamin Sukardi, dalam kasus Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) penyerobotan lahan seluas 106 hektare eks Hak Guna Usaha (HGU) PTPN II, di Kebun Helvetia di Desa Helvetia, Kecamatan Labuhandeli, Kabupaten Deliserdang, Mahkamah Agung (MA) menjatuhkan putusan lain Yakni, menyerahkan lahan 106 hektare tersebut kepada pihak swasta.

Dalam putusan bernomor 1331.K/PID.SUS/2019 tersebut, lahan seluas 32 hektare dikembalikan kepada Dewan Pengurus Al – Washliyah. Kemudian lahan seluas 74 hektare yang dikuasai PT Erni Putra Terati (Tamin Sukardi ), tetap dalam penguasaan hak PT Agung Cemara Realty (ACR) melalui Mujianto selaku direktur. Alasan MA, PT ACR telah membeli lahan tersebut dari Tamin.

Menanggapi putusan MA tersebut, akademisi hukum Sumatera Utara, Dr Redyanto Sidi, SH, MH, menyebut menduga tersebut aneh. Menurutnya, pengalihan tanah berstatus eks HGU PTPN ke pihak swasta seharusnya berhubungan dengan hukum perdata, bukan lewat jalur Tipikor.

“Harusnya pengalihan peruntukan lahan negara dicek dulu ke publik. Kalau lahan negara dalam hal ini eks HGU PTPN dikembalikan ke Al-Washliyah dan Mujianto, harus ada putusan keperdataan yang menguatkan alas hak kepemilikan dari Al-Washliyah dan Mujianto yang terlampir dalam berkas perkara. Maka eksekusi bisa dilakukan secara keperdataan, bukan Tipikor. Jadi menurut saya keputusan itu sangat aneh,” tutur Redyanto, kemarin.

Tentang eksekusi putusan, menurut dosen UMSU ini, jaksa selaku eksekutor tentu wajib menjalankan perintah pengadilan. Tetapi jaksa juga berhak terlebih dahulu mengecek putusan MA tersebut. Pertama, jaksa seharusnya mengkroscek apakah sudah ada surat lampiran yang menerangkan tentang pelepasan lahan eks HGU PTPN kepada publik. Kedua, apa dasar kepemilikan Al-Washliyah dan Mujianto atas lahan tersebut. “Sebelum putusan dieksekusi, pihak kejaksaan berhak mengecek bukti- bukti yang menguatkan putusan itu,” tegas Redyanto.

Disinggungnya, tahun 2002 telah diterbitkan Surat Keputusan BPN RI Nomor 42/HGU/BPN/2002 tentang tanah itu. Dalam SK ditetapkan, lahan eks PTPN yang HGU-nya tidak diperpanjang atau berstatus eks HGU PTPN, agar dikembalikan ke Pemerintah Sumatera Utara. Tetapi PTPN ternyata menjual aset negara itu ke pihak swasta pada tahun 2004.

Redyanto menduga, ada unsur perbuatan melawan hukum yang telah dilakukan oleh PTPN pada masa itu. Karena lahan bukan lagi kewenangan PTPN sesuai dengan SK BPN RI 42/HGU/BPN/2002, tetapi kewenangan milik negara atas nama Pemerintah Sumatera Utara.

“Kita minta kepada Pemerintah Sumatera Utara untuk segera mengambil langkah dan sikap atas masalah itu. Karena telah terjadi pelanggaran terhadap hak-hak negara. Secara hukum, Pemerintah Sumatera Utara punya kewenangan dan berhak melakukan gugatan atas perampasan lahan yang dilakukan pihak swasta,” cetus Redyanto.

Kembali dijelaskan Redyanto, bila bukti-bukti kepemilikan tanah belum bisa dibuktikan oleh Al-Washliyah dan Mujianto, maka lahan itu seharusnya dikembalikan dulu ke Pemprovsu.

“Pemprovsu berhak, dikuatkan dengan SK BPN BPN RI Nomor 42/HGU/BPN/2002 yang menetapkan tentang lahan eks HGU. Bisa jadi, dalam putusan hakim di Mahkamah Agung tidak dilampirkan soal SK BPN RI, makanya tidak menjadi pertimbangan hakim,” pungkasnya.

Putusan MA yang menerangkan tanah seluas 126 hektare, lanjutnya, juga tidak sesuai dengan objek fakta tanah di lapangan yang faktanya hanya seluas 106 hektare. Redyanto menduga, ada kekeliruan atau ketidaktelitian hakim MA dalam memeriksa bukti-bukti perkara tersebut. Selain itu, dapat diduga ada kelalaian atau ada unsur kesengajaan.

“Ini harus benar dicek, apakah ini ada kesilapan atau ada unsur kesengajaan. Kalau nantinya ada kesengajaan, berarti ada oknum yang melakukan. Untuk itu, diminta kepada hakim pengawas di Mahkamah Agung harus mengecek kembali hasil putusan tersebut,” cetus Redyanto.

Apabila hasil putusan itu menerangkan objek tanahnya 126 hektare, harus ada buktinya. Jangan nanti, setelah dicek di lapangan ternyata 20 hektare sisanya tidak ada. “Jadi apa dasarnya bisa diputuskan objek tanahnya 126 hektare? Ini aneh. Jaksa harus mengajukan peninjauan kembali (PK). Kalau jaksa tidak melakukan PK atas putusan itu, berarti jaksa mengamini kekeliruan yang tidak sesuai fakta di lapangan. Artinya, jaksa tidak bersikap profesional bila mereka diam,” tegas Redyanto.

Komisi Yudisial (KY), lanjutnya, juga berhak memeriksa dan mengawasi penyimpangan terhadap hakim yang melakukan kekeliruan. “Saya yakin, putusan itu ada kekeliruan. Komisi Yudisial diharapkan menindaklanjuti temuan putusan yang unik ini, agar diketahui apakah ada kekeliruan, kelalaian, atau kesengajaan,” tutup Redyanto.

Sekjend Komite Tani Menggugat (KTM) Sumut, Syaifal Bahry, SE selaku aktivis perjuangan lahan negara, berharap Gubsu melakukan langkah gugatan untuk pengembalian lahan yang telah dikuasai oleh swasta. Apabila Gubsu melakukan pembiaran, ia menduga Gubsu mendukung penyerobotan lahan negara oleh mafia tanah.

“Ini ada kongkalikong dalam putusan, Gubernur jangan diam. Bila ini dibiarkan, kita berharap KPK dapat mengusut mafia peradilan dan persengkongkolan atas penjualan lahan negara ke mafia tanah,” tegasnya.

Wagirin Minta Gubsu Perhatikan Nasib Rakyat..

Terkait putusan MA yang menyerahkan lahan eks HGU PTPN II seluas 106 hektar kepada pihak swasta, Ketua DPRD Sumut, Wagirin Arman, menyebutkan MA berhak penuh memutuskan.

“Putusan itu nggak mungkin saya komentari. Itu ‘kan hak MA sebagai yudikatif. Posisi saya sebagai wakil rakyat adalah legislatif. Kami harus bicara politis, bukan bicara hukum,” ucap Wagirin saat ditemui Sumut Pos di ruang kerjanya, Selasa (3/9.

Namun, kata Wagirin, mau tidak mau putusan tersebut berdampak pada rakyat yang selama ini beraktivitas di lokasi sengketa. “Nah, dampaknya ini yang berhak untuk disikapi. Apapun yang terjadi dari kebijakan hukum maupun politik dan, itu berdampak pada rakyat. Tentu akan kami sikapi,” katanya.

Secara politis, pihaknya telah mengambil sikap atas dampak yang terjadi pada rakyat yang ada di kawasan Pasar IV Desa Helvetia Kecamatan Labuhan Deli Kabupaten Deliserdang. Misalnya telah terjadi pemagaran di sana, menyebabkan aktifitas warga terganggu dalam mencari nafkah.

“Saya tidak mau membahas siapa pihak yang melakukan pemagaran. Tapi saya dan teman-teman di DPRD Sumut meminta agar jangan ada pemagaran di sana, yang membuat masyarakat resah,” ujarnya.

Untuk itu, lanjut Wagirin, DPRD Sumut sudah meminta Gubsu, Edy Rahmayadi, untuk mengambil tindakan agar pemasangan pagar dihentikan, sesuai ketentuan peraturan dan perundang-undangan yang berlaku. “Surat pernyataan itu sudah saya tandatangani selaku ketua DPRD Sumut dan sudah kami sampaikan ke pihak Gubsu,” katanya.

Namun, Wagirin tidak menyebutkan langkah apa yang harus diambil oleh Gubsu dalam menyelesaikan persoalan ini. Sedangkan di sisi lain, pengadilan sudah memutuskan agar lahan tersebut jatuh ke pihak swasta.

“Secara teknis pemerintah pasti yang lebih tahu dan mereka yang mengambil kebijakan. Mereka yang harus memikirkan bagaimana cara dan teknisnya,” tegasnya.

Kata Wagirin, para penduduk telah menempati lahan tersebut lebih dari 20 tahun. Keputusan hukum atau politik diharapkan tidak mengganggu rakyat. “Persoalannya kalau warga ilegal di sana, kenapa pemerintah melakukan pembiaran sampai 20 tahun? Ini ‘kan nggak benar juga. Pemerintah harus punya andil dalam masalah ini. Tidak boleh diam,” katanya.

Intinya, kata Wagirin, putusan MA yang mengalihkan lahan ke swasta adalah urusan hukum. “Di tangan siapapun lahan itu sekarang, pemerintah harus bisa mengambil kebijakan agar rakyatnya tidak merasa dirugikan,” tandasnya. (fac/map)

Ilustrasi

BELAWAN, SUMUTPOS.CO – Setelah menjatuhkah vonis hukuman 5 tahun penjara terhadap pengusaha Tamin Sukardi, dalam kasus Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) penyerobotan lahan seluas 106 hektare eks Hak Guna Usaha (HGU) PTPN II, di Kebun Helvetia di Desa Helvetia, Kecamatan Labuhandeli, Kabupaten Deliserdang, Mahkamah Agung (MA) menjatuhkan putusan lain Yakni, menyerahkan lahan 106 hektare tersebut kepada pihak swasta.

Dalam putusan bernomor 1331.K/PID.SUS/2019 tersebut, lahan seluas 32 hektare dikembalikan kepada Dewan Pengurus Al – Washliyah. Kemudian lahan seluas 74 hektare yang dikuasai PT Erni Putra Terati (Tamin Sukardi ), tetap dalam penguasaan hak PT Agung Cemara Realty (ACR) melalui Mujianto selaku direktur. Alasan MA, PT ACR telah membeli lahan tersebut dari Tamin.

Menanggapi putusan MA tersebut, akademisi hukum Sumatera Utara, Dr Redyanto Sidi, SH, MH, menyebut menduga tersebut aneh. Menurutnya, pengalihan tanah berstatus eks HGU PTPN ke pihak swasta seharusnya berhubungan dengan hukum perdata, bukan lewat jalur Tipikor.

“Harusnya pengalihan peruntukan lahan negara dicek dulu ke publik. Kalau lahan negara dalam hal ini eks HGU PTPN dikembalikan ke Al-Washliyah dan Mujianto, harus ada putusan keperdataan yang menguatkan alas hak kepemilikan dari Al-Washliyah dan Mujianto yang terlampir dalam berkas perkara. Maka eksekusi bisa dilakukan secara keperdataan, bukan Tipikor. Jadi menurut saya keputusan itu sangat aneh,” tutur Redyanto, kemarin.

Tentang eksekusi putusan, menurut dosen UMSU ini, jaksa selaku eksekutor tentu wajib menjalankan perintah pengadilan. Tetapi jaksa juga berhak terlebih dahulu mengecek putusan MA tersebut. Pertama, jaksa seharusnya mengkroscek apakah sudah ada surat lampiran yang menerangkan tentang pelepasan lahan eks HGU PTPN kepada publik. Kedua, apa dasar kepemilikan Al-Washliyah dan Mujianto atas lahan tersebut. “Sebelum putusan dieksekusi, pihak kejaksaan berhak mengecek bukti- bukti yang menguatkan putusan itu,” tegas Redyanto.

Disinggungnya, tahun 2002 telah diterbitkan Surat Keputusan BPN RI Nomor 42/HGU/BPN/2002 tentang tanah itu. Dalam SK ditetapkan, lahan eks PTPN yang HGU-nya tidak diperpanjang atau berstatus eks HGU PTPN, agar dikembalikan ke Pemerintah Sumatera Utara. Tetapi PTPN ternyata menjual aset negara itu ke pihak swasta pada tahun 2004.

Redyanto menduga, ada unsur perbuatan melawan hukum yang telah dilakukan oleh PTPN pada masa itu. Karena lahan bukan lagi kewenangan PTPN sesuai dengan SK BPN RI 42/HGU/BPN/2002, tetapi kewenangan milik negara atas nama Pemerintah Sumatera Utara.

“Kita minta kepada Pemerintah Sumatera Utara untuk segera mengambil langkah dan sikap atas masalah itu. Karena telah terjadi pelanggaran terhadap hak-hak negara. Secara hukum, Pemerintah Sumatera Utara punya kewenangan dan berhak melakukan gugatan atas perampasan lahan yang dilakukan pihak swasta,” cetus Redyanto.

Kembali dijelaskan Redyanto, bila bukti-bukti kepemilikan tanah belum bisa dibuktikan oleh Al-Washliyah dan Mujianto, maka lahan itu seharusnya dikembalikan dulu ke Pemprovsu.

“Pemprovsu berhak, dikuatkan dengan SK BPN BPN RI Nomor 42/HGU/BPN/2002 yang menetapkan tentang lahan eks HGU. Bisa jadi, dalam putusan hakim di Mahkamah Agung tidak dilampirkan soal SK BPN RI, makanya tidak menjadi pertimbangan hakim,” pungkasnya.

Putusan MA yang menerangkan tanah seluas 126 hektare, lanjutnya, juga tidak sesuai dengan objek fakta tanah di lapangan yang faktanya hanya seluas 106 hektare. Redyanto menduga, ada kekeliruan atau ketidaktelitian hakim MA dalam memeriksa bukti-bukti perkara tersebut. Selain itu, dapat diduga ada kelalaian atau ada unsur kesengajaan.

“Ini harus benar dicek, apakah ini ada kesilapan atau ada unsur kesengajaan. Kalau nantinya ada kesengajaan, berarti ada oknum yang melakukan. Untuk itu, diminta kepada hakim pengawas di Mahkamah Agung harus mengecek kembali hasil putusan tersebut,” cetus Redyanto.

Apabila hasil putusan itu menerangkan objek tanahnya 126 hektare, harus ada buktinya. Jangan nanti, setelah dicek di lapangan ternyata 20 hektare sisanya tidak ada. “Jadi apa dasarnya bisa diputuskan objek tanahnya 126 hektare? Ini aneh. Jaksa harus mengajukan peninjauan kembali (PK). Kalau jaksa tidak melakukan PK atas putusan itu, berarti jaksa mengamini kekeliruan yang tidak sesuai fakta di lapangan. Artinya, jaksa tidak bersikap profesional bila mereka diam,” tegas Redyanto.

Komisi Yudisial (KY), lanjutnya, juga berhak memeriksa dan mengawasi penyimpangan terhadap hakim yang melakukan kekeliruan. “Saya yakin, putusan itu ada kekeliruan. Komisi Yudisial diharapkan menindaklanjuti temuan putusan yang unik ini, agar diketahui apakah ada kekeliruan, kelalaian, atau kesengajaan,” tutup Redyanto.

Sekjend Komite Tani Menggugat (KTM) Sumut, Syaifal Bahry, SE selaku aktivis perjuangan lahan negara, berharap Gubsu melakukan langkah gugatan untuk pengembalian lahan yang telah dikuasai oleh swasta. Apabila Gubsu melakukan pembiaran, ia menduga Gubsu mendukung penyerobotan lahan negara oleh mafia tanah.

“Ini ada kongkalikong dalam putusan, Gubernur jangan diam. Bila ini dibiarkan, kita berharap KPK dapat mengusut mafia peradilan dan persengkongkolan atas penjualan lahan negara ke mafia tanah,” tegasnya.

Wagirin Minta Gubsu Perhatikan Nasib Rakyat..

Terkait putusan MA yang menyerahkan lahan eks HGU PTPN II seluas 106 hektar kepada pihak swasta, Ketua DPRD Sumut, Wagirin Arman, menyebutkan MA berhak penuh memutuskan.

“Putusan itu nggak mungkin saya komentari. Itu ‘kan hak MA sebagai yudikatif. Posisi saya sebagai wakil rakyat adalah legislatif. Kami harus bicara politis, bukan bicara hukum,” ucap Wagirin saat ditemui Sumut Pos di ruang kerjanya, Selasa (3/9.

Namun, kata Wagirin, mau tidak mau putusan tersebut berdampak pada rakyat yang selama ini beraktivitas di lokasi sengketa. “Nah, dampaknya ini yang berhak untuk disikapi. Apapun yang terjadi dari kebijakan hukum maupun politik dan, itu berdampak pada rakyat. Tentu akan kami sikapi,” katanya.

Secara politis, pihaknya telah mengambil sikap atas dampak yang terjadi pada rakyat yang ada di kawasan Pasar IV Desa Helvetia Kecamatan Labuhan Deli Kabupaten Deliserdang. Misalnya telah terjadi pemagaran di sana, menyebabkan aktifitas warga terganggu dalam mencari nafkah.

“Saya tidak mau membahas siapa pihak yang melakukan pemagaran. Tapi saya dan teman-teman di DPRD Sumut meminta agar jangan ada pemagaran di sana, yang membuat masyarakat resah,” ujarnya.

Untuk itu, lanjut Wagirin, DPRD Sumut sudah meminta Gubsu, Edy Rahmayadi, untuk mengambil tindakan agar pemasangan pagar dihentikan, sesuai ketentuan peraturan dan perundang-undangan yang berlaku. “Surat pernyataan itu sudah saya tandatangani selaku ketua DPRD Sumut dan sudah kami sampaikan ke pihak Gubsu,” katanya.

Namun, Wagirin tidak menyebutkan langkah apa yang harus diambil oleh Gubsu dalam menyelesaikan persoalan ini. Sedangkan di sisi lain, pengadilan sudah memutuskan agar lahan tersebut jatuh ke pihak swasta.

“Secara teknis pemerintah pasti yang lebih tahu dan mereka yang mengambil kebijakan. Mereka yang harus memikirkan bagaimana cara dan teknisnya,” tegasnya.

Kata Wagirin, para penduduk telah menempati lahan tersebut lebih dari 20 tahun. Keputusan hukum atau politik diharapkan tidak mengganggu rakyat. “Persoalannya kalau warga ilegal di sana, kenapa pemerintah melakukan pembiaran sampai 20 tahun? Ini ‘kan nggak benar juga. Pemerintah harus punya andil dalam masalah ini. Tidak boleh diam,” katanya.

Intinya, kata Wagirin, putusan MA yang mengalihkan lahan ke swasta adalah urusan hukum. “Di tangan siapapun lahan itu sekarang, pemerintah harus bisa mengambil kebijakan agar rakyatnya tidak merasa dirugikan,” tandasnya. (fac/map)

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/