27.8 C
Medan
Tuesday, May 28, 2024

ICMI Sumut: 2012 Muncul Gerakan Anti Penegak Hukum

Penegakan hukum di Indonesia kian dikesalkan masyarakat, pasalnya ada kecendrungan penegakan hukum diartikan hanya untuk pihak-pihak berkepentingan saja. Sedangkan masyarakat kebanyakan dalam posisi dikorbankan. Bila dibiarkan, kondisi tersebut berimbas munculnya gerakan anti penegakan hukum pada tahun 2012 ke depan.

PERNYATAAN  tersebut disampaikan Ketua Umum Ikatan Cendikiawan Muslim Indonesia (ICMI) Sumut, Prof DR HM Arif Nasution MA saat ditemui wartawan, Rabu (4/1) di Garuda Plaza Hotel.

Hal tersebut dapat dilihat kasus seorang anak-anak di Medan Denai berusia 12 tahun ditetapkan tersangka oleh Polsekta Patumbak dan ada kasus lainnya seorang anak mencuri sandal jepit juga ditetapkan tersangka. Hal itu sebenarnya tidak layak, bila aparatur penegak hukum memahami peraturan leg spesialis dan sosiologi hukum.
Dia menyebutkan, sebenarnya kasus yang menimpa anak-anak bukan semata-mata diselesaikan secara hukum, tapi lebih baik diatasi dengan pembinaan dan pendidikan anak. Kemudian, mengembalikanya kepada keluarga. Apalagi segala tindakannya masih menjadi tanggungjawab orangtuanya.

“Semakin aneh, apabila aparatur penegak hukum bertindak menggunakan KUHP untuk kasus anak, padahal sudah ada aturan khusus yang mengatur anak yakni UU No. 23/2002 tentang Perlindungan Anak,” sebutnya.

Hal lainnya, banyak kasus yang menimpa masyarakat seperti persoalan penyerobotan tanah oleh pengusaha perkebunan di Padang Lawas Utara, Padang Lawas Selatan, Mandailing Natal (Madina) dan Simalungun. Pada kondisinya, masyarakat sebagai pewaris secara adat dikalahkan secara hukum oleh para kelompok yang memiliki kepentingan atas hukum.

Dengan kondisi tersebut, Prof Arif menyebutkan, kini penegakkan hukum bukan sebagai panglima untuk melindungi masyarakatnya, tapi hukum sudah menjadi panglima bagi pihak-pihak yang mampu membeli penegak hukum atau komersialisasi hukum, yang sebenarnya bertentangan dengan prinsip-prinsip hukum itu sendiri.

“Hal tersebut muncul akibat rendahnya sumber daya manusia (SDM) penegak hukum dan kurangnya sosilisasi peraturan perundang-undangan,” paparnya.

Lebih lanjut Guru Besar Fisip USU ini menyebutkan, kondisi komersialisasi hukum akan dijadikan momen untuk gerakan politik tertentu. Seolah-olah muncul politisi yang mampu menyelesaikan persoalan hukum. Hal inilah yang menjadikan posisi masyarakat terus dikorbankan.

Dia menyebutkan, dari kondisi tersebut, pada tahun 2012 ke depan akan marak gerakan-gerakan masyarakat yang cendrung anti penegak hukum. Ketidak tegasan dan kurangnya kebijaksanaan penegak hukum dan pemerintah akan lebih memperparah situasi tersebut. Untuk itu, perlu ada komitmen yang tegas dari pemerintah untuk menyelesaikan persoalan ini.

“Apabila hal tersebut tidak diatasi maka akan memunculkan gerakan-gerakan anti rezim pemerintahan secara massif,” sebutnya.

Untuk itu, Arif mengatakan ICMI Sumut bersedia memfasilitasi penguatan kapasitas SDM penegak hukum agar lebih memahami tentang prilaku masyarakat yang banyak diisi beragam informasi. Penyelesaian itu diperlukan pengetahuan sosiologi hukum, bukan semata-mata penerapan pasal-pasal KUHP yang terkesan kaku dan tak layak untuk diterapkan saat ini. (ril)

Penegakan hukum di Indonesia kian dikesalkan masyarakat, pasalnya ada kecendrungan penegakan hukum diartikan hanya untuk pihak-pihak berkepentingan saja. Sedangkan masyarakat kebanyakan dalam posisi dikorbankan. Bila dibiarkan, kondisi tersebut berimbas munculnya gerakan anti penegakan hukum pada tahun 2012 ke depan.

PERNYATAAN  tersebut disampaikan Ketua Umum Ikatan Cendikiawan Muslim Indonesia (ICMI) Sumut, Prof DR HM Arif Nasution MA saat ditemui wartawan, Rabu (4/1) di Garuda Plaza Hotel.

Hal tersebut dapat dilihat kasus seorang anak-anak di Medan Denai berusia 12 tahun ditetapkan tersangka oleh Polsekta Patumbak dan ada kasus lainnya seorang anak mencuri sandal jepit juga ditetapkan tersangka. Hal itu sebenarnya tidak layak, bila aparatur penegak hukum memahami peraturan leg spesialis dan sosiologi hukum.
Dia menyebutkan, sebenarnya kasus yang menimpa anak-anak bukan semata-mata diselesaikan secara hukum, tapi lebih baik diatasi dengan pembinaan dan pendidikan anak. Kemudian, mengembalikanya kepada keluarga. Apalagi segala tindakannya masih menjadi tanggungjawab orangtuanya.

“Semakin aneh, apabila aparatur penegak hukum bertindak menggunakan KUHP untuk kasus anak, padahal sudah ada aturan khusus yang mengatur anak yakni UU No. 23/2002 tentang Perlindungan Anak,” sebutnya.

Hal lainnya, banyak kasus yang menimpa masyarakat seperti persoalan penyerobotan tanah oleh pengusaha perkebunan di Padang Lawas Utara, Padang Lawas Selatan, Mandailing Natal (Madina) dan Simalungun. Pada kondisinya, masyarakat sebagai pewaris secara adat dikalahkan secara hukum oleh para kelompok yang memiliki kepentingan atas hukum.

Dengan kondisi tersebut, Prof Arif menyebutkan, kini penegakkan hukum bukan sebagai panglima untuk melindungi masyarakatnya, tapi hukum sudah menjadi panglima bagi pihak-pihak yang mampu membeli penegak hukum atau komersialisasi hukum, yang sebenarnya bertentangan dengan prinsip-prinsip hukum itu sendiri.

“Hal tersebut muncul akibat rendahnya sumber daya manusia (SDM) penegak hukum dan kurangnya sosilisasi peraturan perundang-undangan,” paparnya.

Lebih lanjut Guru Besar Fisip USU ini menyebutkan, kondisi komersialisasi hukum akan dijadikan momen untuk gerakan politik tertentu. Seolah-olah muncul politisi yang mampu menyelesaikan persoalan hukum. Hal inilah yang menjadikan posisi masyarakat terus dikorbankan.

Dia menyebutkan, dari kondisi tersebut, pada tahun 2012 ke depan akan marak gerakan-gerakan masyarakat yang cendrung anti penegak hukum. Ketidak tegasan dan kurangnya kebijaksanaan penegak hukum dan pemerintah akan lebih memperparah situasi tersebut. Untuk itu, perlu ada komitmen yang tegas dari pemerintah untuk menyelesaikan persoalan ini.

“Apabila hal tersebut tidak diatasi maka akan memunculkan gerakan-gerakan anti rezim pemerintahan secara massif,” sebutnya.

Untuk itu, Arif mengatakan ICMI Sumut bersedia memfasilitasi penguatan kapasitas SDM penegak hukum agar lebih memahami tentang prilaku masyarakat yang banyak diisi beragam informasi. Penyelesaian itu diperlukan pengetahuan sosiologi hukum, bukan semata-mata penerapan pasal-pasal KUHP yang terkesan kaku dan tak layak untuk diterapkan saat ini. (ril)

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/