MEDAN-Permintaan buruh yang mengharapkan agar Upah Minimum Provinsi (UMP) dinaikkan menjadi Rp2 hingg Rp2,5 juta dianggap tidak sesuai dengan mekanisme dan peraturan yang ada. Apalagi, kemampuan setiap perusahaan berbeda untuk memberikan upah kepada pekerjanya.
Wakil Ketua Bidang Organisasi Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Sumut Bidang Organisasi, Johan Brien, menyatakan bahwa sangat sulit menetapkan UMP sesuai dengan permintaan para buruh. Mengingat saat ini ongkos produksi akan naik. Seperti, tarif dasar naik (TDL) dan Bahan Bakar Minyak (BBM) yang kabarnya akan mengalami kenaikan. “Selain itu, dalam penentuan tarif upah, ada beberapa komponen yang telah kita tambah, dari yang awalnya 44 komponen, saat ini menjadi 66 komponen,” ungkapnya.
Adapun berbagai komponen tersebut mulai dari inflasi daerah, harga barang, kebutuhan lainnya. “Belum lagi pajak yang harus kita bayar, dan pajak ini tidak bisa dikurang-kurangi. Punggutan liar yang harus kita bayar. Terlalu banyak yang harus kita keluarkan. Nah, untuk pengusaha itu sendiri apa?” lanjutnya.
Dijelaskannya, UMP yang saat ini berlaku merupakan sebuah penetapan dari berbagai pihak. Mulai dari pengusaha, perwakilan, buruh, hingga ke pemerintah. Kalau seandainya harus diubah akan terlalu banyak pertimbangan. “Ini kan sudah suatu penetapan, jadi sudah seharusnya kita terapkan. Kalau tidak ada penetapan, bisa kita berikan gaji tidak sampai Rp1 juta, ada kemungkinan pula gajinya di atas UMP saat ini,” tambahnya. Seperti yang diungkapkannya, bahwa kemampuan perusahaan itu berbeda-beda. Bila, terus dipaksan sesuai dengan permintaan buruh, maka yang ada perusahaan harus melakukan pengurangan atau pemecatan. “Dan ini sama saja dengan penambahan pengangguran,” lanjutnya.
Walaupun diakuinya, tidak semua perusahaan yang ada di Sumatera Utara ini melakukan ketentuan pemberian upah yang sudah diberikan. “Terutama di daerah, melalui serikat buruh yang saya dengar, banyak perusahaan di sana yang tidak mampu menerapkan gaji sesuai dengan UMP. Tetapi, perusahaan di daerah juga tidak terlalu besar kan, paling banyak di sana UMK,” tambahnya.
Johan juga menyatakan bahwa dengan UMP hampir Rp1,2 juta ini, sebenarnya sudah cukup bagi para pekerja yang masih single atau lajang. Dengan pengeluaran untuk diri sendiri dan tanpa memiliki beban tanggung jawab. “Lagian, upah Rp1,2 juta itukan diberikan bagi pekerja yang masih baru, atau masa kerjanya mulai dari 0 hingga 1 tahun. Jadi, wajar bila diberikan gaji seperti itu, mengingat dirinya tidak memiliki pengalaman kerja,” ungkapnya.
Karena itu, agar tidak terjadi tuntutan yang sama dari buruh setiap tahunnya, dan juga memberikan kenyamanan bagi pengusaha untuk menjalankan usahanya, ada pembagian gaji yang sesuai dengan pendidikan, dan pengalamannya bekerja. Seperti yang diterapkan oleh Malaysia. “Kalau disana (Malaysia, Red) upah diberikan sesuai dengan pendidikan dan pengalaman pekerja. Kalau ini diterapkan, apakah ada kemungkinan bagi kita?” ungkapnya.
Sementara itu, Sekretaris Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Sumut, Laksamana Adyaksa kepada Sumut Pos beberapa saat yang lalu pernah menyatakan upah murah bukan serta-merta salah perusahaan. Dengan kata lain, ketika sistem outsourcing digunakan, maka pihak perusahaan outsourcinglah yang bertanggung jawab. “Kita menggunakan sistem outsourcing itu agar kita tidak perlu ribet dengan yang namanya pencarian tenaga kerja dan lainnya. Kita menggunakan jasa lainnya. Tetapi, kalau memang kenyataan yaitu upah yang diberikan tidak sesuai, yang harus diperhatikan itu adalah perusahaan outsourcing, bukan kita pengusaha. Karena kita sudah memberikan upah yang selayaknya,” tambahnya.
Sementara itu, Dekan Ekonomi dari Universitas HKBP Nommensen, Parulian Simanjuntak menyatakan permintaan buruh tersebut boleh saja disampaikan. Tetapi untuk dikabulkan atau tidaknya juga harus sesuai dengan sistem dan dilihat kemampuan dari perusahaan itu sendiri. “Karena untuk menetapkan upah ini ‘kan ada tim pengupahan. Jadi, mereka yang menghitung kebutuhan hidup pekerja tersebut,” ungkapnya.
Anggota DPRD Sumut: Idealnya Rp1,5 juta.
Dengan UMP yang saat ini berlaku dan tingkat pendidikan para pekerja, dinilai belum setara dengan tingkat pendidikan yang mereka miliki. “Selama ini kan pengusaha tidak memusingkan pendidikan dari pekerjanya. Yang penting bagi pengusaha mereka bisa bekerja dan produksi tidak menggangu. Nah, UMP yang ada itu sudah disiapkan dan sesuai dengan kebutuhan pekerja. Tetapi ingat, UMP sebesar Rp1,2 juta ini untuk yang single. Kalau yang sudah berkeluarga, berpengalaman dan pendidikannya sudah lumayan, ya seharusnya lebih dari UMP tersebut ,” tambahnya.
Soal UMP Rp2 juta-2,5 juta juga ditanggapi wakil rakyat. Adalah anggota Komisi E DPRD Sumut, Andi Arba, mengatakan tuntutan buruh itu terlalu tinggi. “Saya pikir ideal-lah jika ada kenaikan dari Rp1,2 juta menjadi Rp1,5 juta. Setidaknya, bila ini upah rata-rata dari generalisasi perusahaan. Namun, untuk digarisbawahi juga, untuk penentuan upah ini disesuaikan dengan kemampuan perusahaan masing-masing,” terangnya.
Sementara itu, Kepala Dinas (Kadis) Ketenagakerjaan dan Transmigrasi (Kadisnakertrans) Sumut, Bukit Tambunan, mengaku tuntutan buruh akan disampaikan ke pemerintah pusat hari ini, Jumat (5/10). “Masalah outsourcing itu masih ada payung hukumnya, di dalam UU ketenagakerjaan No 13 Tahun 2003. Selain itu, sudah ada keputusan Mahkamah Konstitusi (MK), sistem tersebut hanya diperuntukkan bagi pekerjaan yang tidak mengganggu produksi. Kendati demikian, besok (hari ini, Red) tuntutan buruh akan kami sampaikan ke pemerintah pusat. Karena itu letaknya di pemerintah pusat,” tegasnya.
Terkait upah, lanjut Bukit, akan digelar pertemuan semua pihak yang berkaitan guna membahas persoalan itu. Hanya saja, belum bisa dipastikan kapan waktu pembahasannya. “Ini perlu ada pembahasan, buruh, dewan pengupahan, pengusaha dan pihak terkait lainnya. Nanti akan diagendakan,” pungkasnya.