25.6 C
Medan
Saturday, May 11, 2024

Bakumsu Minta Ketua PN Medan Dicopot

Sikap arogansi juru sita Pengadilan Negeri (PN) Medan dalam melakukan eksekusi lahan masyarakat di Jalan Jati Pulo Braya, Medan Timur, mendapat protes dan kutukan keras dari Perhimpunan Bantuan Hukum dan Advokasi Rakyat Sumatera Utara (Bakumsu). Pasalnya, eksekusi yang dilakukan atas perintah ketua PN Medan itu sangat tak berprikemanusiaan.

Sekretaris Eksekutif Bakumsu Benget Silitonga melalui siaran persnya yang diterima Sumut Pos, Minggu (4/11), mengatakan, dalam pelaksanaan eksekusi tanah seluas 7,5 hektar itu ada sebuah keanehan. Pasalnya, eksekusi dilaksanakan atas putusan perkara  No 113/Pdt.G/2006/PN Medan antara Abdul Kiram dkk versus Ruslim Lugianto. Namun, di tempat yang sama di Jalan Jati, Pulo Brayan, Medan Timur ada sebanyak 52 sertifikat tanah di lahan seluas sekitar 7,5 hektar.

“Akibat eksekusi aneh tersebut, masyarakat jadi korban dan saat ini hidupnya terlunta serta tinggal tidak menentu. Mereka kehilangan hak kepemilikan, hak  atas hukum yang adil, hak atas kehidupan yang layak, dan hak atas kesehatan. Hak anak juga terampas karena ratusan anak sekolah kehilangan gedung sekolahnya yang digusur. Kini hidup masyarakat berada dalam ancaman dan ketidakpastian,” sebutnya.

Ironisnya, perkara sengketa tanah No 113/Pdt.G/2006/PN Medan tersebut ternyata sarat dengan misteri dan anomali hukum. Pertama, masyarakat yang digusur, bukanlah bagian atau tidak memiliki kaitan dengan dua pihak yang berperkara, baik itu Abdul Kiram dkk atau Ruslim Lugianto. Singkatnya, masyarakat korban tidak memiliki kasus hukum atas tanah yang mereka diami. Bahkan tidak mengenal keduanya.

“Aneh, kalau tanah yang dimiliki masyarakat menjadi objek eksekusi perkara Abdul Kiram dengan Ruslim Lugianto. Lebih aneh lagi, masyarakat yang sudah menghuni puluhan tahun dan telah memiliki SHM yang dikeluarkan dan diakui BPN Medan. Tambah aneh, masyarakat tidak pernah tahu siapa itu Abdul Kiram dan siapa itu Ruslim Lugianto,” paparnya.

Sebagai organisasi yang bergerak dalam advokasi hak-hak masyarakat dan penguatan demokrasi berbasis penegakan hukum dan HAM, Bakumsu mengecam keras tindakan Ketua PN Medan, dengan perantaraan Juru Sita yang melakukan eksekusi atas tanah milik masyarakat dengan mengabaikan eksistensi hokum.

Sebagai perbandingan, dalam ekskusi putusan perkara KIM II, yang kasusnya mirip dengan kasus Jalan Jati, aparat Pengadilan Negeri (Lubuk Pakam) justru banci dan tidak melakukan eksekusi sampai sekarang. “Kami mendesak Ketua Mahkamah Agung dan Ketua KY menindak Ketua PN Medan, dan bahkan bila perlu mencopotnya,” pintanya.

Kemudian, Bakumsu mengutuk keras kebrutalan dan tindakan kejam dari polisi dalam dalam melakukan penggusuran terhadap lahan masyarakat. Di era reformasi, penegakan hukum kepolisian seharusnya  penegakan hukum berbasis HAM yang adil dan non diskriminatif, bukan penegakan hukum kaca mata kuda.  “Kami melihat polisi sudah melanggar Perkap No 8/2009. Untuk itu kami mendesak Kapolri segera memberi tindakan, kepada Kapoldasu dan Kapolresta Medan, karena bertindak diskriminatif dan arogan serta cenderung menutup akses masyarakat terhadap lembaga kepolisian,” ucapnya.

Lebih lanjut, dia mendesak Komnas HAM segera melakukan investigasi lapangan dan membuat rekomendasi terhadap pelanggaran HAM yang terjadi dalam eksekusi lahan di Jalan Jati Pulo Brayan. Selanjutnya, mendesak Pemprovsu dan Pemko Medan serta DPRD Sumut dan DPRD Medan membentuk tim investigasi independen yang melibatkan masyarakat sipil  mengungkap dugaan keterlibatan mafia tanah di balik mistery kasus ini. “Kami akan bersama dengan masyarakat untuk memperjuangkan prihal ini,” tegasnya. (ril)

Sikap arogansi juru sita Pengadilan Negeri (PN) Medan dalam melakukan eksekusi lahan masyarakat di Jalan Jati Pulo Braya, Medan Timur, mendapat protes dan kutukan keras dari Perhimpunan Bantuan Hukum dan Advokasi Rakyat Sumatera Utara (Bakumsu). Pasalnya, eksekusi yang dilakukan atas perintah ketua PN Medan itu sangat tak berprikemanusiaan.

Sekretaris Eksekutif Bakumsu Benget Silitonga melalui siaran persnya yang diterima Sumut Pos, Minggu (4/11), mengatakan, dalam pelaksanaan eksekusi tanah seluas 7,5 hektar itu ada sebuah keanehan. Pasalnya, eksekusi dilaksanakan atas putusan perkara  No 113/Pdt.G/2006/PN Medan antara Abdul Kiram dkk versus Ruslim Lugianto. Namun, di tempat yang sama di Jalan Jati, Pulo Brayan, Medan Timur ada sebanyak 52 sertifikat tanah di lahan seluas sekitar 7,5 hektar.

“Akibat eksekusi aneh tersebut, masyarakat jadi korban dan saat ini hidupnya terlunta serta tinggal tidak menentu. Mereka kehilangan hak kepemilikan, hak  atas hukum yang adil, hak atas kehidupan yang layak, dan hak atas kesehatan. Hak anak juga terampas karena ratusan anak sekolah kehilangan gedung sekolahnya yang digusur. Kini hidup masyarakat berada dalam ancaman dan ketidakpastian,” sebutnya.

Ironisnya, perkara sengketa tanah No 113/Pdt.G/2006/PN Medan tersebut ternyata sarat dengan misteri dan anomali hukum. Pertama, masyarakat yang digusur, bukanlah bagian atau tidak memiliki kaitan dengan dua pihak yang berperkara, baik itu Abdul Kiram dkk atau Ruslim Lugianto. Singkatnya, masyarakat korban tidak memiliki kasus hukum atas tanah yang mereka diami. Bahkan tidak mengenal keduanya.

“Aneh, kalau tanah yang dimiliki masyarakat menjadi objek eksekusi perkara Abdul Kiram dengan Ruslim Lugianto. Lebih aneh lagi, masyarakat yang sudah menghuni puluhan tahun dan telah memiliki SHM yang dikeluarkan dan diakui BPN Medan. Tambah aneh, masyarakat tidak pernah tahu siapa itu Abdul Kiram dan siapa itu Ruslim Lugianto,” paparnya.

Sebagai organisasi yang bergerak dalam advokasi hak-hak masyarakat dan penguatan demokrasi berbasis penegakan hukum dan HAM, Bakumsu mengecam keras tindakan Ketua PN Medan, dengan perantaraan Juru Sita yang melakukan eksekusi atas tanah milik masyarakat dengan mengabaikan eksistensi hokum.

Sebagai perbandingan, dalam ekskusi putusan perkara KIM II, yang kasusnya mirip dengan kasus Jalan Jati, aparat Pengadilan Negeri (Lubuk Pakam) justru banci dan tidak melakukan eksekusi sampai sekarang. “Kami mendesak Ketua Mahkamah Agung dan Ketua KY menindak Ketua PN Medan, dan bahkan bila perlu mencopotnya,” pintanya.

Kemudian, Bakumsu mengutuk keras kebrutalan dan tindakan kejam dari polisi dalam dalam melakukan penggusuran terhadap lahan masyarakat. Di era reformasi, penegakan hukum kepolisian seharusnya  penegakan hukum berbasis HAM yang adil dan non diskriminatif, bukan penegakan hukum kaca mata kuda.  “Kami melihat polisi sudah melanggar Perkap No 8/2009. Untuk itu kami mendesak Kapolri segera memberi tindakan, kepada Kapoldasu dan Kapolresta Medan, karena bertindak diskriminatif dan arogan serta cenderung menutup akses masyarakat terhadap lembaga kepolisian,” ucapnya.

Lebih lanjut, dia mendesak Komnas HAM segera melakukan investigasi lapangan dan membuat rekomendasi terhadap pelanggaran HAM yang terjadi dalam eksekusi lahan di Jalan Jati Pulo Brayan. Selanjutnya, mendesak Pemprovsu dan Pemko Medan serta DPRD Sumut dan DPRD Medan membentuk tim investigasi independen yang melibatkan masyarakat sipil  mengungkap dugaan keterlibatan mafia tanah di balik mistery kasus ini. “Kami akan bersama dengan masyarakat untuk memperjuangkan prihal ini,” tegasnya. (ril)

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/