25 C
Medan
Friday, November 22, 2024
spot_img

Peserta BPJS Ketenagakerjaan 22,6 Juta, Kesehatan Cuma 11 Juta

Foto: M Idham/Fajar/JPNN
Warga antre untuk mendapatkan pelayanan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) di Rumah Sakit Wahidin Sudirohusodo, Makassar, Sulsel, Kamis (2/1/2014). Pemerintah mulai memberlakukan BPJS bidang kesehatan per tanggal 1 Januari 2014 untuk masyarakat kurang mampu, agar dapat meperoleh perlindungan dari asuransi kesehatan gratis.

JAKARTA, SUMUTPOS.CO – Kinerja Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan terus menjadi sorotan. Hal tersebut setelah pejabat BPJS mengaku butuh instruksi presiden (inpres) untuk menambah peserta. Hal tersebut dirasa menjadi salah satu dampak dari kurangnya upaya BPJS Kesehatan dan pemerintah dalam mengimplementasikan regulasi jaminan sosial.

Koordinator Advokasi BPJS Watch Timboel Siregar mengatakan, kinerja dari BPJS Kesehatan masih dipertanyakan. Hal tersebut karena sampai saat ini baru ada sekitar 11 juta peserta kategori Pekerja Penerima Upah (PPU) yang terdaftar. Jika dihitung bersama keluarga yang dinaungi, mungkin jumlah peserta JKN dari kategori PPU sekitar 24 juta jiwa.

Namun, hal tersebut berbeda jauh dibandingkan dengan peserta PPU di BPJS Ketenagakerjaan yang saat ini 22.63 juta jiwa. Hal tersebut dinilai menjadi wujud belum adanya sinkronisasi antara dua lembaga tersebut.

“Dengan kondisi tersebut, malah ada permintaan agar ada inpres yang salah satu isinya mewajibkan BUMN untuk mengikuti BPJS. Buat apa dibuat inpres padahal sudah ada perpres yang menyatakan kewajiban tersebut,”’ jelasnya di Jakarta, Minggu (5/3)

Dia juga mengingatkan bahwa direksi BUMN sudah mengeluarkan komitmen untuk mendafat ke BPJS ketika di rezim SBY. Namun, hal tersebut sepertinya belum benar-benar terealisasi. “Faktanya ada sekitar 115 ribu pekerja BUMN yang belum ikut BPJS Kesehatan.  Padahal, sudah ada sanksi yang disediakan di PP No. 86/2013,’’ imbuhnya.

Dalam hal ini, Timboel kembali menyoroti Direksi BPJS Kesehatan yang kurang tegas dalam penegakan hukum sesuai peraturan pemerintah tersebut. Harusnya, BPJS langsung memberikan sanksi kepada pelanggar ketentuan. Jika perlu, mereka merilis nama perusahaan yang tidak patuh.

“’Saya menilai adanya inpres justru akan merendahkan wibawa Presiden Jokowi. Seakan-akan produk hukum perpres tidak punya khasiat,” ungkapnya.

Sementara itu, Kepala Humas BPJS Kesehatan Irfan Humaidi menanggapi pernyataan Timboel dengan dingin. Terkait sinkronisasi, pihaknya mengaku terus melakukan hal tersebut dengan lembaga kembarannya. Yang menjadi masalah adalah bahwa BPJS Ketenagakerjaan memasukkan tenaga serabutan ke sektor PPU. Sedangkan, BPJS Kesehatan menggolongkan tenaga konstruksi ke peserta bukan penerima upah.

“’Tolong dicek terlebih dahulu. Setahu saya, pekerja formal di kategori PPU BPJS Ketenagakerjaan masih delapan juta jiwa. Sisanya tenaga kerja konstruksi atau UKM. Itu juga sudah kami sinkronisasi tapi kamiu masukkan ke kategori lain,’’ jelasnya.

Terkait usulan inpres, dia mengaku hal tersebut bukan untuk sekedar memaksa agar peserta bergabung. Namun, lebih pada perbaikan sistem agar BPJS Kesehatan bisa berjalan lebih baik.

Foto: M Idham/Fajar/JPNN
Warga antre untuk mendapatkan pelayanan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) di Rumah Sakit Wahidin Sudirohusodo, Makassar, Sulsel, Kamis (2/1/2014). Pemerintah mulai memberlakukan BPJS bidang kesehatan per tanggal 1 Januari 2014 untuk masyarakat kurang mampu, agar dapat meperoleh perlindungan dari asuransi kesehatan gratis.

JAKARTA, SUMUTPOS.CO – Kinerja Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan terus menjadi sorotan. Hal tersebut setelah pejabat BPJS mengaku butuh instruksi presiden (inpres) untuk menambah peserta. Hal tersebut dirasa menjadi salah satu dampak dari kurangnya upaya BPJS Kesehatan dan pemerintah dalam mengimplementasikan regulasi jaminan sosial.

Koordinator Advokasi BPJS Watch Timboel Siregar mengatakan, kinerja dari BPJS Kesehatan masih dipertanyakan. Hal tersebut karena sampai saat ini baru ada sekitar 11 juta peserta kategori Pekerja Penerima Upah (PPU) yang terdaftar. Jika dihitung bersama keluarga yang dinaungi, mungkin jumlah peserta JKN dari kategori PPU sekitar 24 juta jiwa.

Namun, hal tersebut berbeda jauh dibandingkan dengan peserta PPU di BPJS Ketenagakerjaan yang saat ini 22.63 juta jiwa. Hal tersebut dinilai menjadi wujud belum adanya sinkronisasi antara dua lembaga tersebut.

“Dengan kondisi tersebut, malah ada permintaan agar ada inpres yang salah satu isinya mewajibkan BUMN untuk mengikuti BPJS. Buat apa dibuat inpres padahal sudah ada perpres yang menyatakan kewajiban tersebut,”’ jelasnya di Jakarta, Minggu (5/3)

Dia juga mengingatkan bahwa direksi BUMN sudah mengeluarkan komitmen untuk mendafat ke BPJS ketika di rezim SBY. Namun, hal tersebut sepertinya belum benar-benar terealisasi. “Faktanya ada sekitar 115 ribu pekerja BUMN yang belum ikut BPJS Kesehatan.  Padahal, sudah ada sanksi yang disediakan di PP No. 86/2013,’’ imbuhnya.

Dalam hal ini, Timboel kembali menyoroti Direksi BPJS Kesehatan yang kurang tegas dalam penegakan hukum sesuai peraturan pemerintah tersebut. Harusnya, BPJS langsung memberikan sanksi kepada pelanggar ketentuan. Jika perlu, mereka merilis nama perusahaan yang tidak patuh.

“’Saya menilai adanya inpres justru akan merendahkan wibawa Presiden Jokowi. Seakan-akan produk hukum perpres tidak punya khasiat,” ungkapnya.

Sementara itu, Kepala Humas BPJS Kesehatan Irfan Humaidi menanggapi pernyataan Timboel dengan dingin. Terkait sinkronisasi, pihaknya mengaku terus melakukan hal tersebut dengan lembaga kembarannya. Yang menjadi masalah adalah bahwa BPJS Ketenagakerjaan memasukkan tenaga serabutan ke sektor PPU. Sedangkan, BPJS Kesehatan menggolongkan tenaga konstruksi ke peserta bukan penerima upah.

“’Tolong dicek terlebih dahulu. Setahu saya, pekerja formal di kategori PPU BPJS Ketenagakerjaan masih delapan juta jiwa. Sisanya tenaga kerja konstruksi atau UKM. Itu juga sudah kami sinkronisasi tapi kamiu masukkan ke kategori lain,’’ jelasnya.

Terkait usulan inpres, dia mengaku hal tersebut bukan untuk sekedar memaksa agar peserta bergabung. Namun, lebih pada perbaikan sistem agar BPJS Kesehatan bisa berjalan lebih baik.

Artikel Terkait

spot_imgspot_imgspot_img

Terpopuler

Artikel Terbaru

/