32 C
Medan
Wednesday, June 26, 2024

Kuasai 2 Bahasa Asing, Singkirkan Ratusan Ribu Pelamar

Vidyah payapo, dengan jaket kuning brasil yang dibuatnya khusus untuk berangkat ke brasil.
Vidyah payapo, dengan jaket kuning brasil yang dibuatnya khusus untuk berangkat ke brasil.

Timnas Indonesia tidak lolos ke Piala Dunia 2014 di Brasil, 13 Juni-13 Juli mendatang. Namun, Indonesia ‘sukses’ meloloskan Vidyah Payapo al Qadry sebagai satu-satunya volunter yang akan bertugas selama berlangsungnya pesta sepak bola terakbar tersebut.

 

MUHAMMAD AMJAD, Jakarta

 

Hati Vidyah Payapo al Qadry begitu bungah setelah 24 April lalu mendapat e-mail istimewa. Rasa bahagia bercampur haru menjadi satu.

Ya, e-mail itu datang dari panitia Piala Dunia 2014. Isinya mengonfirmasi dan mengumumkan bahwa gadis 23 tahun itu dinyatakan lolos seleksi rekrutmen relawan (volunter) event sepak bola empat tahunan tersebut. Hebatnya, dia menjadi orang pertama dan satu-satunya dari Indonesia yang terlibat dalam ajang itu.

“Terus terang, saya nunggunya cukup lama. Karena itu, begitu dapat e-mail dari panitia Piala Dunia, hati saya langsung deg-degan. Dan benar, isinya sangat mengejutkan. Saya sampai tidak bisa berbicara apa-apa,” ungkap Vidyah saat ditemui di sebuah pusat jajanan di Jakarta Selatan, Kamis (29/5).

Meski ‘hanya’ menjadi volunter, perjuangan Vidyah untuk mendapat kesempatan itu pantas diacungi jempol. Betapa tidak, dia harus berkompetisi melawan 152 ribu orang dari seluruh dunia untuk memperoleh tiket itu. Prosesnya pun tidak gampang. Dia mesti mengisi aplikasi yang disediakan panitia dan menjawabnya dengan tepat. Bahasa Inggris-nya pun harus bagus.

“Saya seneng banget. Apalagi saya satu-satunya dari Indonesia. Betapa bangganya saya,” tuturnya.

Dari 152 ribu pelamar, panitia memilih 15 ribu relawan dari berbagai negara. Seorang di antaranya adalah Vidyah.

Bagi Vidyah, lolos seleksi ke Brasil itu bagaikan mimpi yang menjadi kenyataan. Sebab, sejak kecil dia sangat ingin berkunjung ke negara di Amerika Latin itu. Meski perempuan, dia termasuk gibol (gila bola) dan fans berat tim Samba “julukan timnas Brasil.

“Mungkin karena kondisi negaranya tak jauh berbeda dengan kita yang sedang berkembang, jadi terasa cocok,” katanya.

Vidyah mengikuti seleksi volunter Piala Dunia 2014 pada September 2013. Awalnya dia hanya iseng dengan mencari informasi via internet. Sebab, sebelumnya dia sukses menjadi volunter sebuah acara internasional di Bali berkat iseng juga.

“Acara di Bali itu sebelumnya memang mencari volunter melalui internet. Dari situlah saya kembali iseng mencari tahu apakah Piala Dunia di Brasil juga mencari volunter. Ternyata benar. Saya pun langsung mendaftar,” papar pemilik akun Twitter @vidyahpooh tersebut.

Seleksi itu berlangsung dalam beberapa gelombang dan dimulai pada 2012. Vidyah mengikuti seleksi gelombang terakhir pada September 2013. Sebulan kemudian, dia mendapat pemberitahuan telah lolos seleksi administratif melalui aplikasi yang dikirimkan.

Proses selanjutnya, Vidyah harus menjalani tes wawancara dengan panitia. Hanya, dia tidak perlu terbang ke Brasil atau markas FIFA di Swiss. Sebab, wawancara dilakukan melalui Skype pada tengah malam 22 November 2013.

Selama sebulan Vidyah mempersiapkan diri untuk menghadapi wawancara tersebut. Dia harus mencari pengetahuan tentang FIFA, profil para bintang, asal klub, hingga tetek-bengek soal Piala Dunia sejak pertama digelar pada 1930 sampai edisi 2014 yang dimulai 13 Juni nanti.

Dara kelahiran Ambon itu juga mempelajari 32 negara peserta pada 2014 serta kota-kota yang dijadikan venue pertandingan nanti. Dia mesti menghafalkannya di luar kepala.

Namun, saat hari H wawancara, pertanyaan yang diajukan panitia ternyata melenceng jauh dari yang disiapkan. Bahkan, tak satu pun yang dipelajarinya ditanyakan saat wawancara selama sekitar 30 menit tersebut.

“Saya nyiapin-nya soal sepak bola dunia. Eh, ternyata tak ada satu pun yang ditanyakan. Yang ditanyakan malah mirip psikotes,” ucap buah hati pasangan Edy Payapo dan Niswati Silehu tersebut.

Misalnya, Vidyah diminta mendeskripsikan dirinya, sikapnya menghadapi orang yang emosional, dan bagaimana jika kangen dengan keluarga di rumah. Selain psikotes, kemampuan bahasa asing Vidyah diuji. Setiap pelamar memang disyaratkan menguasai minimal dua bahasa asing. Vidyah memang piawai berbicara dalam bahasa Inggris dan Spanyol. Untuk bahasa Inggris, peserta harus memiliki TOEFL di atas 500, sedangkan untuk bahasa Spanyol minimal A2.

“Selain Inggris, pelamar harus menguasai minimal salah satu bahasa negara peserta Piala Dunia. Kebetulan, saya bisa sedikit-sedikit bahasa Spanyol,” papar bungsu tiga bersaudara tersebut.

Setelah tes wawancara itu, Vidyah harus menunggu pengumuman hasil seleksi sekitar tujuh bulan. Dia dibuat tidak sabar mengetahui hasilnya. Karena itu, tak heran bila pada 24 April lalu panitia Piala Dunia akhirnya mengumumkan bahwa Vidyah lolos ke Brasil, alangkah bahagianya dia.

Selanjutnya, dia harus mengisi kesanggupan-kesanggupan selama bertugas menjadi relawan bagi penyelenggaraan Piala Dunia di Brasil. Vidyah juga diminta memilih kota yang diinginkan dan sif jaga.

Awalnya Vidyah meminta ditempatkan di Rio de Janeiro atau Brasilia. Tapi, kuota volunter untuk dua kota itu telah penuh. Akhirnya, dia ditempatkan di Porto Alegre. Di kota tersebut ada tiga pertandingan pada 14-30 Juni. Yakni, Prancis melawan Honduras, Nigeria versus Argentina, dan Korsel melawan Aljazair. Meski begitu, dia baru akan pulang setelah pergelaran Piala Dunia berakhir, 13 Juli mendatang.

Melihat negara yang tampil, Vidyah merasa perlu membekali diri dengan satu bahasa asing lagi, yakni bahasa Portugis. Sebab, beberapa negara yang berlaga menggunakan bahasa itu.

“Karena itu, sekarang saya mempelajari bahasa Portugis. Ke mana-mana saya bawa catatan bahasa Portugis karena memang bahasanya sedikti beda, seperti bahasa Malaysia dan Indonesia,” ucap alumnus jurusan hubungan internasional Universitas Paramadina Jakarta tersebut sambil menunjukkan buku catatannya.

Perjuangan Vidyah tak berhenti sampai di situ. Setelah dipastikan lolos dan diputuskan untuk mengikuti training di Brasil mulai 9 Juni, dia harus berpikir cara berangkat ke Negeri Samba. Sebab, panitia hanya menyediakan uang lelah dan kelengkapan tugas mulai jaket, celana, sepatu, sampai topi. Sementara itu, tiket pesawat berangkat dan pulang dari Brasil menjadi tanggungan masing-masing volunter.

Dia pun terpaksa mencari sponsor. Kebetulan, ada pamannya yang bekerja di Kementerian BUMN. Akhirnya, Vidyah memberanikan diri untuk menemui Menteri BUMN Dahlan Iskan.

Pertemuan dengan pemenang konvensi capres Partai Demokrat itu menjadi berkah bagi Vidyah. Sebab, dua perusahaan BUMN siap mensponsori dirinya, yakni Garuda Indnesia Airways dan Pelindo. Hanya, lantaran Pelindo lebih dulu menyatakan kesediaan, perusahaan itulah yang akhirnya menerbangkan Vidyah ke negara penghasil para bintang sepak bola tersebut.

“Visa, tiket flight pulang-pergi, dan akomodasi ditanggung Pelindo. Alhamdulillah, saya jadi bisa berangkat,” ungkap gadis berdarah Ambon-Arab tersebut.

Total kebutuhan Vidyah selama di Brasil mencapai Rp60 juta-Rp70 juta. Nominal itu memang tidak sebanding dengan uang lelah yang akan diberikan panitia untuk volunter yang tidak seberapa besar. Tapi, Vidyah tak mempersoalkan.

“Kalau lihat uang lelahnya, mungkin untuk beli tiket berangkat saja nggak cukup. Karena itu, saya harus mencari sponsor,” tegas murid sekolah bahasa Spanyol di UCAM (Universida Catholica San Antonia de Murcia) di Indonesia itu.

Kini selain bersiap berpisah dari orang tua dan menjalankan puasa di negeri orang, Vidyah sedang mempersiapkan barang bawaan. Dia akan membawa makanan kesukaan seperti dendeng, abon, mi instan, dan beberapa makanan ringan khas Indonesia. Bekal itu sangat penting bagi Vidyah karena tidak mudah mencari makanan halal di Brasil. Apalagi dia nanti harus menjalankan ibadah puasa Ramadan di negeri orang.

“Inilah pengalaman saya puasa Ramadan di luar negeri. Pada 2012 saya mengikuti misi budaya Indonesia di Spanyol bertepatan dengan bulan Ramadan,” ujar Vidyah yang hari ini (5/6) akan terbang ke Brasil sendirian. (*/c5/ari/jpnn)

Vidyah payapo, dengan jaket kuning brasil yang dibuatnya khusus untuk berangkat ke brasil.
Vidyah payapo, dengan jaket kuning brasil yang dibuatnya khusus untuk berangkat ke brasil.

Timnas Indonesia tidak lolos ke Piala Dunia 2014 di Brasil, 13 Juni-13 Juli mendatang. Namun, Indonesia ‘sukses’ meloloskan Vidyah Payapo al Qadry sebagai satu-satunya volunter yang akan bertugas selama berlangsungnya pesta sepak bola terakbar tersebut.

 

MUHAMMAD AMJAD, Jakarta

 

Hati Vidyah Payapo al Qadry begitu bungah setelah 24 April lalu mendapat e-mail istimewa. Rasa bahagia bercampur haru menjadi satu.

Ya, e-mail itu datang dari panitia Piala Dunia 2014. Isinya mengonfirmasi dan mengumumkan bahwa gadis 23 tahun itu dinyatakan lolos seleksi rekrutmen relawan (volunter) event sepak bola empat tahunan tersebut. Hebatnya, dia menjadi orang pertama dan satu-satunya dari Indonesia yang terlibat dalam ajang itu.

“Terus terang, saya nunggunya cukup lama. Karena itu, begitu dapat e-mail dari panitia Piala Dunia, hati saya langsung deg-degan. Dan benar, isinya sangat mengejutkan. Saya sampai tidak bisa berbicara apa-apa,” ungkap Vidyah saat ditemui di sebuah pusat jajanan di Jakarta Selatan, Kamis (29/5).

Meski ‘hanya’ menjadi volunter, perjuangan Vidyah untuk mendapat kesempatan itu pantas diacungi jempol. Betapa tidak, dia harus berkompetisi melawan 152 ribu orang dari seluruh dunia untuk memperoleh tiket itu. Prosesnya pun tidak gampang. Dia mesti mengisi aplikasi yang disediakan panitia dan menjawabnya dengan tepat. Bahasa Inggris-nya pun harus bagus.

“Saya seneng banget. Apalagi saya satu-satunya dari Indonesia. Betapa bangganya saya,” tuturnya.

Dari 152 ribu pelamar, panitia memilih 15 ribu relawan dari berbagai negara. Seorang di antaranya adalah Vidyah.

Bagi Vidyah, lolos seleksi ke Brasil itu bagaikan mimpi yang menjadi kenyataan. Sebab, sejak kecil dia sangat ingin berkunjung ke negara di Amerika Latin itu. Meski perempuan, dia termasuk gibol (gila bola) dan fans berat tim Samba “julukan timnas Brasil.

“Mungkin karena kondisi negaranya tak jauh berbeda dengan kita yang sedang berkembang, jadi terasa cocok,” katanya.

Vidyah mengikuti seleksi volunter Piala Dunia 2014 pada September 2013. Awalnya dia hanya iseng dengan mencari informasi via internet. Sebab, sebelumnya dia sukses menjadi volunter sebuah acara internasional di Bali berkat iseng juga.

“Acara di Bali itu sebelumnya memang mencari volunter melalui internet. Dari situlah saya kembali iseng mencari tahu apakah Piala Dunia di Brasil juga mencari volunter. Ternyata benar. Saya pun langsung mendaftar,” papar pemilik akun Twitter @vidyahpooh tersebut.

Seleksi itu berlangsung dalam beberapa gelombang dan dimulai pada 2012. Vidyah mengikuti seleksi gelombang terakhir pada September 2013. Sebulan kemudian, dia mendapat pemberitahuan telah lolos seleksi administratif melalui aplikasi yang dikirimkan.

Proses selanjutnya, Vidyah harus menjalani tes wawancara dengan panitia. Hanya, dia tidak perlu terbang ke Brasil atau markas FIFA di Swiss. Sebab, wawancara dilakukan melalui Skype pada tengah malam 22 November 2013.

Selama sebulan Vidyah mempersiapkan diri untuk menghadapi wawancara tersebut. Dia harus mencari pengetahuan tentang FIFA, profil para bintang, asal klub, hingga tetek-bengek soal Piala Dunia sejak pertama digelar pada 1930 sampai edisi 2014 yang dimulai 13 Juni nanti.

Dara kelahiran Ambon itu juga mempelajari 32 negara peserta pada 2014 serta kota-kota yang dijadikan venue pertandingan nanti. Dia mesti menghafalkannya di luar kepala.

Namun, saat hari H wawancara, pertanyaan yang diajukan panitia ternyata melenceng jauh dari yang disiapkan. Bahkan, tak satu pun yang dipelajarinya ditanyakan saat wawancara selama sekitar 30 menit tersebut.

“Saya nyiapin-nya soal sepak bola dunia. Eh, ternyata tak ada satu pun yang ditanyakan. Yang ditanyakan malah mirip psikotes,” ucap buah hati pasangan Edy Payapo dan Niswati Silehu tersebut.

Misalnya, Vidyah diminta mendeskripsikan dirinya, sikapnya menghadapi orang yang emosional, dan bagaimana jika kangen dengan keluarga di rumah. Selain psikotes, kemampuan bahasa asing Vidyah diuji. Setiap pelamar memang disyaratkan menguasai minimal dua bahasa asing. Vidyah memang piawai berbicara dalam bahasa Inggris dan Spanyol. Untuk bahasa Inggris, peserta harus memiliki TOEFL di atas 500, sedangkan untuk bahasa Spanyol minimal A2.

“Selain Inggris, pelamar harus menguasai minimal salah satu bahasa negara peserta Piala Dunia. Kebetulan, saya bisa sedikit-sedikit bahasa Spanyol,” papar bungsu tiga bersaudara tersebut.

Setelah tes wawancara itu, Vidyah harus menunggu pengumuman hasil seleksi sekitar tujuh bulan. Dia dibuat tidak sabar mengetahui hasilnya. Karena itu, tak heran bila pada 24 April lalu panitia Piala Dunia akhirnya mengumumkan bahwa Vidyah lolos ke Brasil, alangkah bahagianya dia.

Selanjutnya, dia harus mengisi kesanggupan-kesanggupan selama bertugas menjadi relawan bagi penyelenggaraan Piala Dunia di Brasil. Vidyah juga diminta memilih kota yang diinginkan dan sif jaga.

Awalnya Vidyah meminta ditempatkan di Rio de Janeiro atau Brasilia. Tapi, kuota volunter untuk dua kota itu telah penuh. Akhirnya, dia ditempatkan di Porto Alegre. Di kota tersebut ada tiga pertandingan pada 14-30 Juni. Yakni, Prancis melawan Honduras, Nigeria versus Argentina, dan Korsel melawan Aljazair. Meski begitu, dia baru akan pulang setelah pergelaran Piala Dunia berakhir, 13 Juli mendatang.

Melihat negara yang tampil, Vidyah merasa perlu membekali diri dengan satu bahasa asing lagi, yakni bahasa Portugis. Sebab, beberapa negara yang berlaga menggunakan bahasa itu.

“Karena itu, sekarang saya mempelajari bahasa Portugis. Ke mana-mana saya bawa catatan bahasa Portugis karena memang bahasanya sedikti beda, seperti bahasa Malaysia dan Indonesia,” ucap alumnus jurusan hubungan internasional Universitas Paramadina Jakarta tersebut sambil menunjukkan buku catatannya.

Perjuangan Vidyah tak berhenti sampai di situ. Setelah dipastikan lolos dan diputuskan untuk mengikuti training di Brasil mulai 9 Juni, dia harus berpikir cara berangkat ke Negeri Samba. Sebab, panitia hanya menyediakan uang lelah dan kelengkapan tugas mulai jaket, celana, sepatu, sampai topi. Sementara itu, tiket pesawat berangkat dan pulang dari Brasil menjadi tanggungan masing-masing volunter.

Dia pun terpaksa mencari sponsor. Kebetulan, ada pamannya yang bekerja di Kementerian BUMN. Akhirnya, Vidyah memberanikan diri untuk menemui Menteri BUMN Dahlan Iskan.

Pertemuan dengan pemenang konvensi capres Partai Demokrat itu menjadi berkah bagi Vidyah. Sebab, dua perusahaan BUMN siap mensponsori dirinya, yakni Garuda Indnesia Airways dan Pelindo. Hanya, lantaran Pelindo lebih dulu menyatakan kesediaan, perusahaan itulah yang akhirnya menerbangkan Vidyah ke negara penghasil para bintang sepak bola tersebut.

“Visa, tiket flight pulang-pergi, dan akomodasi ditanggung Pelindo. Alhamdulillah, saya jadi bisa berangkat,” ungkap gadis berdarah Ambon-Arab tersebut.

Total kebutuhan Vidyah selama di Brasil mencapai Rp60 juta-Rp70 juta. Nominal itu memang tidak sebanding dengan uang lelah yang akan diberikan panitia untuk volunter yang tidak seberapa besar. Tapi, Vidyah tak mempersoalkan.

“Kalau lihat uang lelahnya, mungkin untuk beli tiket berangkat saja nggak cukup. Karena itu, saya harus mencari sponsor,” tegas murid sekolah bahasa Spanyol di UCAM (Universida Catholica San Antonia de Murcia) di Indonesia itu.

Kini selain bersiap berpisah dari orang tua dan menjalankan puasa di negeri orang, Vidyah sedang mempersiapkan barang bawaan. Dia akan membawa makanan kesukaan seperti dendeng, abon, mi instan, dan beberapa makanan ringan khas Indonesia. Bekal itu sangat penting bagi Vidyah karena tidak mudah mencari makanan halal di Brasil. Apalagi dia nanti harus menjalankan ibadah puasa Ramadan di negeri orang.

“Inilah pengalaman saya puasa Ramadan di luar negeri. Pada 2012 saya mengikuti misi budaya Indonesia di Spanyol bertepatan dengan bulan Ramadan,” ujar Vidyah yang hari ini (5/6) akan terbang ke Brasil sendirian. (*/c5/ari/jpnn)

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/