26.7 C
Medan
Saturday, May 25, 2024

Auditor BPKP Ditengarai Curang

MEDAN, SUMUTPOS.CO – Empat terdakwa kasus korupsi mengaku ada keganjilan dalam hal penyidikan dan penentuan kerugian negara oleh Badan Pemeriksa Keuangan dan Pembangunan (BPKP) Perwakilan Sumut. Para auditor BPKP ditengarai melakukan kecurangan dan tak objektif dalam melaporkan hasil audit investigasi.

Kepada Sumut Pos, keempat terdakwa mengakui ada hal yang mengganjal dalam proses penegakan hukum. Para penyidik melakukan penyelidikan, setelah menyita barang bukti diserahkan kepada BPKP untuk dihitung kerugian negara melalui bidang investigasi.

“Padahal kami juga sudah meminta BPKP melakukan audit setiap pekerjaan kami. Kemudian ada saran yang dilakukan. Lantas kenapa saat kami mengikuti saran masih dicatatkan juga kerugian Negara? Padahal pekerjaannya juga belum selesai,” kata mantan Bupati Padang Lawas (Palas) Basyrah Lubis didamping Mantan Kepala Dinas Pekerjaan Umum (PU), Chairul Windu, yang ditemui di Rumah Tahanan Klas I Tanjunggusta Medan, kemarin.

Dalam kesempatan yang sama, Dirut PDAM Tirtanadi, Azzam Rizal, mengaku dirinya sudah meminta petunjuk dari BPKP Perwakilan Sumut dan Kejaksaan Tinggi Sumatera Utara (Kejatisu) soal penunjukan pihak ketiga dalam pekerjaan penagihan rekening air pelanggan. Tapi setahun kemudian tim penyidik Kepolisian Daerah Sumatera Utara (Poldasu) malah menetapkan dia sebagai tersangka.

“Pada 2012 saya minta petunjuk dari Kejatisu dan Poldasu. Prosedur itu saya lakukan untuk mengikuti Peraturan Presiden tentang Pengadaan Barang dan Jasa. Setelah dinyatakan salah, saya ubah pola penagihan yang dikerjakan sendiri oleh pegawai PDAM Tirtanadi. Tapi anehnya pada Januari 2013 saya justru ditetapkan tersangka tanpa proses pemeriksaan terlebih dulu,” kata Azzam yang didampingi PPTK Dinas Kehutanan Bahrum Sihotang yang juga mengaku jadi korban kecurangan tim penyidik dari BPKP.

Setelah ditahan di Poldasu, Azzam mengaku, baru dua bulan berikutnya dikeluarkan hasil audit BPKP Perwakilan Sumut yang menyatakan adanya kerugian negara sebesar Rp5 miliar.

“Audit yang dilakukan oleh BPKP hanya di koperasi PDAM Tirtanadi saja. Jabatan saya kan dirut. Logikanya setiap uang masuk dan keluar harus diketahui kepala koperasi, termasuk adanya uang yang tak luput tercatat. Jadi hemat saya hasil audit BPKP itu tak wajar,” ujarnya.

Azzam menyatakan keheranannya saat mempelajari dokumen BPKP Perwakilan Sumut tertanggal 19 Juni 2013 yang diteken Kepala Perwakilan BPKP Sumut Bonny Anang Dwijanto tentang Laporan Hasil Audit Kinerja PDAM Tirtanadi tahun buku 2012 No. LHAK-267/PW02/4/2013. Dalam kesimpulannya disebutkan kinerja PDAM Tirtanadi Sumut mendapatkan nilai 67,35 dan tergolong baik. Skor itu mengacu pada naiknya pendapatan PDAM Tirtanadi sebesar Rp409.440.255.065 dibanding tahun sebelumnya yang meraup Rp377.637.114.434.

Dia mengindikasikan kecurangan penghitungan kerugian negara oleh BPKP terlihat pada penghitungan nilai kerugian Negara. Di situ, lanjut Azzam, auditor investigasi BPKP tidak melengkapi data PPN atas fee yang sudah disetorkan pada Agustus hingga November. Pasalnya, pekerjaan penagihan sudah dibayarkan tapi kuitansinya tidak dilampirkan dalam penghitungan kerugian negara. “Ini artinya data yang dimiliki BPKP Perwakilan Sumut itu tak ada,” katanya.

Kepala Perwakilan BPKP Sumut, Mulyana Ak melalui Sekretaris Humas, Riri Adda Sari, menjelaskan, adanya perbedaan tugas, pokok, dan fungsi (tupoksi) tim auditor pemerintah daerah (pemda) dan tim investigasi BPKP. Paling utama adalah kewenangan tim investigasi untuk menentukan ada atau tidaknya kerugian negara dalam sebuah perkara.

“Kalau tim auditor pemda itu sifatnya mengawasi program daerah atau audit operasional, sedangkan tim investigasi lebih tajam. Apa ada kerugian keuangan negara, apakah itu APBD atau APBN,” kata Riri didampingi Staf Humas BPKP, Effendi Damanik di kantor BPKP Sumut di Jalan Gatot Subroto, Medan, Kamis (5/6). Cara kerja dua tim tersebut, menurut dia, ada perbedaan mendasar.

Dikatakan Riri, tim auditor pemda biasanya diminta untuk mengelola dan menata keuangan pemda, sedangkan tim investigasi bertugas mengaudit seluruh neraca keuangan pemda.

“Kami bekerja secara professional. Ada rambu-rambu yang dipegang sehingga tak ada kepentingan apa pun saat mengaudit,” katanya.
 Sebagai contoh, lanjut Riri, banyak pemda yang minta pendampingan tim BPKP untuk menginventarisir aset-aset mereka. ‘’Syaratnya tinggal surati BPKP saja,’’ tukasnya.

Riri mengakui tim audit investigasi bekerja sesuai permintaan penyidik kepolisian atau kejaksaan. Hal itu pula yang membuat tim audit tak bisa serta-merta memberikan dokumen lengkap hasil pekerjaan tim auditor lantaran objek yang diaudit sudah masuk ranah hukum.

Pihak BPKP juga membantah para auditor bekerja sesuai pesanan pihak-pihak tertentu. Riri melihat istilah ‘pesanan’ justru menimbulkan persepsi yang negatif soal pekerjaan BPKP di mata masyarakat. “Istilah pesanan itu jelek sekali. Yang benar itu BPKP bekerja atas permintaan, bukan pesanan,” tegasnya.

Di lain sisi, Riri menyatakan, tak ada keinginan BPKP untuk menyimpan dan mengendapkan dokumen ataupun hasil investigasi kepada publik. “Semuanya itu kan butuh proses. Tak ada batasan waktu harus selesai 6 bulan atau 1 tahun. Karena hal itu tergantung ketersediaan data dan dokumen. Ya itu kewajiban penyidik,” jelas dia.

Lingkup pekerjaan itu, menurut dia, membedakan tupoksi antara tim penyidik operasional maupun investigasi. Karena apabila ada terjadi kecurangan, penyidik akan menyediakan data. “Kami sangat hati-hati dalam urusan data. Ini lantaran hasil audit BPKP itu akan dipakai untuk melanjutkan sebuah kasus. Kami percaya semua hal yang baik pasti butuh waktu,” ujarnya.

Apapun yang diminta kepada BPKP, lanjut Riri, termasuk perhitungan kerugian keuangan negara terlebih dahulu dilakukan ekspos. Artinya, unsur-unsur yang terdapat pada kerugian negara itu memang benar adanya. Karena jika tidak terbukti, maka proses audit tidak bisa serta merta dilanjutkan. “Tak semua yang diminta penyidik itu harus dipenuhi. Kami akan melakukan ekspos terlebih dulu. Mulai dari kepala perwakilan dan tim auditor akan membedah kasusnya,” dia menguatkan.

Menurut dia, pada prinsipnya, BPKP benar-benar meyakini audit yang dilakukan memang mengarah terhadap indikasi tindak pidana korupsi. “Setelah dokumen diperoleh, lalu dihitung dan klarifikasi didampingi seluruh penyidik. Baru setelahnya disimpulkan bersama ada tidaknya indikasi kerugian negara,” papar Riri sembari mengamini data yang didapatkan tim auditor umumnya berasal dari penyidik kepolisian atau kejaksaan.

“Memang biasanya begitu, jadi mereka memberikan data awal mana yang mau diaudit. Tetapi ditengah perjalanan, jika ada data yang kurang, kami meminta penyidik melengkapinya,” sebutnya.

Disinggung adanya dua hasil audit berbeda dari BPKP yang menyatakan terdapat kerugian negara yang menyeret mantan Dirut PDAM Tirtanadi Sumut, Azzam Rizal, ia menolak menjawabnya. Sebab kata dia, berkaitan hal tersebut ranahnya sudah substansial, sehingga pihaknya tidak dapat memberikan keterangan. “Untuk persoalan ini kami (humas) akan berkoordinasi dulu ke tim auditor bahkan kepala perwakilan. Sebab hal ini sudah substansial dan kami tidak mungkin memberi keterangan yang informasinya tidak kami ketahui,” katanya.

Apakah perbedaan hasil audit seperti kasus PDAM Tirtanadi tersebut sering terjadi? “Sekali lagi saya katakan, kalau terkait hal yang substansif, kami tidak dapat menjawabnya. Yang pasti akan berkoordinasi terlebih dahulu dengan tim yang menangani kasus tersebut,” jawabnya seraya menyebutkan terdapat berbagai jenis audit yang ada di BPKP, diantaranya audit operasional, kinerja, keuangan dan investigasi dimana tiap-tiap audit itu menghasilkan laporan yang berbeda.

Sementara itu, Direktur Direktorat Reserse Kriminal Khusus Poldasu, Kombes Pol Mestron Siboro menyebut seorang dapat disangkakan sebagai tersangka korupsi dan ditahan, setelah adanya hasil audit yang diklakukan BPKP. Namun, kalau penahanan itu juga dapat dilakukan sebelum hasil audit BPKP keluar, bila BPKP sudah memberi pernyataan akan kuatnya dugaan seseorang melakukan korupsi. 
”Kita juga berani menahan, kalau sudah ada keterangan dari BPKP. Kalau akhirnya ternyata tidak ada ditemukan kerugian negara setelah kita menahan seseorang, tidak logika saja itu,” ungkap Mestron.
 Lebih lanjut, Mestron menyebut kalau sebelum BPKP melakukan audit, biasanya terlebih dahulu dilakukan gelar perkara bersama BPKP, atas temuan pihaknya. Begitu juga dengan barang bukti yang ditemukan pihaknya, disebut Mestron akan diserahkan kepada BPKP. Namun, Mestron mengaku kalau pihaknya tidak akan melakukan interpensi kepada BPKP, sepanjang dilakukan audit.
”Kalau bicara BPKP tidak menemukan kerugian negara saat mereka melakukan audit tanpa permintaan kita, sah-sah saja. Namun, kalau kita menemukan yang tidak ditemukan BPKP, sah juga kalau BPKP kembali melakukan audit. Ibaratnya saat BPKP memeriksa seseorang, tidak ditemukan uang di saku orang itu. Namun kita temukan ada uang diselipkan orang itu di sepatunya, “ ujar Mestron menambahkan.
 Saat ditanya soal hasil audit BPKP itu sudah menjadi pesanan, Mestron membantahnya. Dia mengatakan kalau BPKP juga tidak akan mau melakukan hal itu. Bahkan, Mestron mengibaratkan kalau seseorang yang berfikir sehat, tidak akan mau disuruh untuk memukul seseorang.
Sementara itu, Kanit I Subdit III/Tipikor Ditreskrimsus Polda Sumut, Kompol Wahyu Bram yang juga dikonfirmasi menjelaskan, kalau dalam melakukan audit ada 2 mekanisme. Disebutnya, adalah melakukan penghitungan oleh penyidik sehingga menganalisa dan menilai adanya kerugian negara. Untuk yang kedua, dikatakan Wahyu Bram adalah dengan melakukan audit investigatif yaitu penyidik melihat adanya gejala korupsi.
”Untuk penahan terhadap seseorang, menggunakan 2 syarat yaitu syarat objektif yaitu 2 alat bukti dan subjektif yaitu kewenangan, mengingat batasan untuk memastikan penyidikan berjalan lancar. Selain itu, ketika kita juga sudah membaca adanya korupsi, bisa saja kita lan penahanan, seperti dilakukan KPK pada Hariyadi Sodono dalam dugaan korupsi PLN di Jawa Timur beberapa waktu lalu, ” ungkap mantan penyidik KPK itu.

Saat ditanya pendapatnya terkait tudingan kalau hasil audit BPKP itu merupakan pesanan, Wahyu enggan menanggapinya. Disebutnya, sah saja jika seseorang berpersepsi seperti itu.

Disebutnya, kalau hal itu faktanya diijinkan oleh undang-undang. Disebutnya, kalau hal tersebut menyalahi undang-undang, seharusnya Hakim pasti lebih bijak dalam mengambil keputusan.” Kalau mereka mengatakan pada audit sebelumnya mereka tidak ditemukan kerugian negara dan saat audit kita minta ada ditemukan kerugian negara karena pada audit sebelumnya itu hanya dilakukan general audit, tanpa sampling, ” tandas Perwira Polisi dengan pangkat 1 melati di pundaknya itu mengakhiri.

Dalam penyelidikan kasus korupsi yang dilakukan Kejaksaan Tinggi Sumatera Utara (Kejatisu) dan jajarannya secara legalitas bekerjasama dengan BPKP Perwakilan Sumut untuk melakukan penghitung kerugian negara (PKN) yang dikorupsi tersangka.

Kepala Seksi Penerangan Hukum (Kasi Penkum) Kejatisu, Chandra Purnama, mengatakan setiap melakukan PKN, seluruh bahan PKN diserahkan untuk diaudit tim auditor BPKP Sumut. Pihak BPKP Sumut, dikatakan, tidak memiliki bahan pembanding.

“Seluruh bahan dari kami. Sumbernya dari barang bukti yang ditemukan, seperti dokumen-dokumen atau berkas yang lain. ‘’Semuanya diserahkan kepada tim auditor BPKP untuk dilakukan penghitungan kerugian negaranya,” ungkap Chandra.

Dari bahan-bahan tersebut, dia mengatakan, bisa diketahui berapa hasil keseluruhan kerugian negara atau yang dikorupsi oleh tersangka. Tapi secara legalitas untuk menetapkan PKN hanya bisa dilakukan oleh BPKP Sumut. ‘’Bukan kewenangan pihak penyidik Kejaksaan. Dari penyelidikan kami cuma bisa paparkan kronologis kasusnya. Berasal dari mana anggaran yang dikorupsi baru diserahkan ke BPKP Sumut. Kalau itu, cerita ahli. Jadi, ahli PKN itu yang bisa diterima dalam persidangan. Ya, ahli auditor BPKP Sumut lah,”ujarnya.

Chandra menyatakan pihak penyidik Kejaksaan sebenarnya sudah mengetahui berapa kerugian negara dalam satu kasus yang ditangani. Hanya saja legalitas PKN harus dikeluarkan berdasarkan hasil audit BPKP.

“Terus terang penyidik Kejaksaan sebetulnya sudah bisa tahu berapa kerugian negara dalam sebuah kasus korupsi. Jadi, ending-nya itu saja BPKP. Kami pun didampingi BPKP dalam persidangan untuk mempertanggungjawabkan penghitungan kerugian negara dalam suatu kegiatan korupsi,” jelasnya.

Chandra mengakui bahwa BPKP Sumut, tidak memiliki data atau bahan sendiri dalam menghitung kerugian negara. Keseluruhannya bahan atau data berasal dari penyidik.

“Semua dokumen dari keterangan dan kita dapatkan kita kasih semuanya. Kalau penghitungan orang itu punya tata cara sendiri. Ya data kita lah,” tuturnya.

Dia mengakui Dirut PDAM Pemprovsu Azzam Rizal selaku terdakwa korupsi voucher penagihan rekening air tahun 2011 dan voucher pengeluaran kas koperasi karyawan di PDAM Tirtanadi sebesar Rp5.004.637.000 melayangkan surat gugatan ke Pengadilan Negeri Medan (PN) dengan tergugat tergugat I BPKP Sumut, tergugat II Poldasu, dan tergugat III Kejatisu. “Kejatisu itu tergugat tiga,” tandasnya.

Hanya saja, dikatakan dia, perlu diingatkan soal putusan Mahkamah Konstitusi yang mengakui kewenangan BPKP dalam melakukan audit investigasi lewat Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor: 31/PUU-X/2012 tanggal 23 Oktober 2012 yang menguatkan kewenangan BPKP untuk melakukan audit investigasi berdasarkan Keppres 103 tahun 2001 dan PP No 60 Tahun 2008. ‘’BPKP dan BPK masing-masing memiliki kewenangan untuk melakukan audit berdasarkan peraturan,’’ tegas Chandra. (ril/gus/ain/mag-6/val)

MEDAN, SUMUTPOS.CO – Empat terdakwa kasus korupsi mengaku ada keganjilan dalam hal penyidikan dan penentuan kerugian negara oleh Badan Pemeriksa Keuangan dan Pembangunan (BPKP) Perwakilan Sumut. Para auditor BPKP ditengarai melakukan kecurangan dan tak objektif dalam melaporkan hasil audit investigasi.

Kepada Sumut Pos, keempat terdakwa mengakui ada hal yang mengganjal dalam proses penegakan hukum. Para penyidik melakukan penyelidikan, setelah menyita barang bukti diserahkan kepada BPKP untuk dihitung kerugian negara melalui bidang investigasi.

“Padahal kami juga sudah meminta BPKP melakukan audit setiap pekerjaan kami. Kemudian ada saran yang dilakukan. Lantas kenapa saat kami mengikuti saran masih dicatatkan juga kerugian Negara? Padahal pekerjaannya juga belum selesai,” kata mantan Bupati Padang Lawas (Palas) Basyrah Lubis didamping Mantan Kepala Dinas Pekerjaan Umum (PU), Chairul Windu, yang ditemui di Rumah Tahanan Klas I Tanjunggusta Medan, kemarin.

Dalam kesempatan yang sama, Dirut PDAM Tirtanadi, Azzam Rizal, mengaku dirinya sudah meminta petunjuk dari BPKP Perwakilan Sumut dan Kejaksaan Tinggi Sumatera Utara (Kejatisu) soal penunjukan pihak ketiga dalam pekerjaan penagihan rekening air pelanggan. Tapi setahun kemudian tim penyidik Kepolisian Daerah Sumatera Utara (Poldasu) malah menetapkan dia sebagai tersangka.

“Pada 2012 saya minta petunjuk dari Kejatisu dan Poldasu. Prosedur itu saya lakukan untuk mengikuti Peraturan Presiden tentang Pengadaan Barang dan Jasa. Setelah dinyatakan salah, saya ubah pola penagihan yang dikerjakan sendiri oleh pegawai PDAM Tirtanadi. Tapi anehnya pada Januari 2013 saya justru ditetapkan tersangka tanpa proses pemeriksaan terlebih dulu,” kata Azzam yang didampingi PPTK Dinas Kehutanan Bahrum Sihotang yang juga mengaku jadi korban kecurangan tim penyidik dari BPKP.

Setelah ditahan di Poldasu, Azzam mengaku, baru dua bulan berikutnya dikeluarkan hasil audit BPKP Perwakilan Sumut yang menyatakan adanya kerugian negara sebesar Rp5 miliar.

“Audit yang dilakukan oleh BPKP hanya di koperasi PDAM Tirtanadi saja. Jabatan saya kan dirut. Logikanya setiap uang masuk dan keluar harus diketahui kepala koperasi, termasuk adanya uang yang tak luput tercatat. Jadi hemat saya hasil audit BPKP itu tak wajar,” ujarnya.

Azzam menyatakan keheranannya saat mempelajari dokumen BPKP Perwakilan Sumut tertanggal 19 Juni 2013 yang diteken Kepala Perwakilan BPKP Sumut Bonny Anang Dwijanto tentang Laporan Hasil Audit Kinerja PDAM Tirtanadi tahun buku 2012 No. LHAK-267/PW02/4/2013. Dalam kesimpulannya disebutkan kinerja PDAM Tirtanadi Sumut mendapatkan nilai 67,35 dan tergolong baik. Skor itu mengacu pada naiknya pendapatan PDAM Tirtanadi sebesar Rp409.440.255.065 dibanding tahun sebelumnya yang meraup Rp377.637.114.434.

Dia mengindikasikan kecurangan penghitungan kerugian negara oleh BPKP terlihat pada penghitungan nilai kerugian Negara. Di situ, lanjut Azzam, auditor investigasi BPKP tidak melengkapi data PPN atas fee yang sudah disetorkan pada Agustus hingga November. Pasalnya, pekerjaan penagihan sudah dibayarkan tapi kuitansinya tidak dilampirkan dalam penghitungan kerugian negara. “Ini artinya data yang dimiliki BPKP Perwakilan Sumut itu tak ada,” katanya.

Kepala Perwakilan BPKP Sumut, Mulyana Ak melalui Sekretaris Humas, Riri Adda Sari, menjelaskan, adanya perbedaan tugas, pokok, dan fungsi (tupoksi) tim auditor pemerintah daerah (pemda) dan tim investigasi BPKP. Paling utama adalah kewenangan tim investigasi untuk menentukan ada atau tidaknya kerugian negara dalam sebuah perkara.

“Kalau tim auditor pemda itu sifatnya mengawasi program daerah atau audit operasional, sedangkan tim investigasi lebih tajam. Apa ada kerugian keuangan negara, apakah itu APBD atau APBN,” kata Riri didampingi Staf Humas BPKP, Effendi Damanik di kantor BPKP Sumut di Jalan Gatot Subroto, Medan, Kamis (5/6). Cara kerja dua tim tersebut, menurut dia, ada perbedaan mendasar.

Dikatakan Riri, tim auditor pemda biasanya diminta untuk mengelola dan menata keuangan pemda, sedangkan tim investigasi bertugas mengaudit seluruh neraca keuangan pemda.

“Kami bekerja secara professional. Ada rambu-rambu yang dipegang sehingga tak ada kepentingan apa pun saat mengaudit,” katanya.
 Sebagai contoh, lanjut Riri, banyak pemda yang minta pendampingan tim BPKP untuk menginventarisir aset-aset mereka. ‘’Syaratnya tinggal surati BPKP saja,’’ tukasnya.

Riri mengakui tim audit investigasi bekerja sesuai permintaan penyidik kepolisian atau kejaksaan. Hal itu pula yang membuat tim audit tak bisa serta-merta memberikan dokumen lengkap hasil pekerjaan tim auditor lantaran objek yang diaudit sudah masuk ranah hukum.

Pihak BPKP juga membantah para auditor bekerja sesuai pesanan pihak-pihak tertentu. Riri melihat istilah ‘pesanan’ justru menimbulkan persepsi yang negatif soal pekerjaan BPKP di mata masyarakat. “Istilah pesanan itu jelek sekali. Yang benar itu BPKP bekerja atas permintaan, bukan pesanan,” tegasnya.

Di lain sisi, Riri menyatakan, tak ada keinginan BPKP untuk menyimpan dan mengendapkan dokumen ataupun hasil investigasi kepada publik. “Semuanya itu kan butuh proses. Tak ada batasan waktu harus selesai 6 bulan atau 1 tahun. Karena hal itu tergantung ketersediaan data dan dokumen. Ya itu kewajiban penyidik,” jelas dia.

Lingkup pekerjaan itu, menurut dia, membedakan tupoksi antara tim penyidik operasional maupun investigasi. Karena apabila ada terjadi kecurangan, penyidik akan menyediakan data. “Kami sangat hati-hati dalam urusan data. Ini lantaran hasil audit BPKP itu akan dipakai untuk melanjutkan sebuah kasus. Kami percaya semua hal yang baik pasti butuh waktu,” ujarnya.

Apapun yang diminta kepada BPKP, lanjut Riri, termasuk perhitungan kerugian keuangan negara terlebih dahulu dilakukan ekspos. Artinya, unsur-unsur yang terdapat pada kerugian negara itu memang benar adanya. Karena jika tidak terbukti, maka proses audit tidak bisa serta merta dilanjutkan. “Tak semua yang diminta penyidik itu harus dipenuhi. Kami akan melakukan ekspos terlebih dulu. Mulai dari kepala perwakilan dan tim auditor akan membedah kasusnya,” dia menguatkan.

Menurut dia, pada prinsipnya, BPKP benar-benar meyakini audit yang dilakukan memang mengarah terhadap indikasi tindak pidana korupsi. “Setelah dokumen diperoleh, lalu dihitung dan klarifikasi didampingi seluruh penyidik. Baru setelahnya disimpulkan bersama ada tidaknya indikasi kerugian negara,” papar Riri sembari mengamini data yang didapatkan tim auditor umumnya berasal dari penyidik kepolisian atau kejaksaan.

“Memang biasanya begitu, jadi mereka memberikan data awal mana yang mau diaudit. Tetapi ditengah perjalanan, jika ada data yang kurang, kami meminta penyidik melengkapinya,” sebutnya.

Disinggung adanya dua hasil audit berbeda dari BPKP yang menyatakan terdapat kerugian negara yang menyeret mantan Dirut PDAM Tirtanadi Sumut, Azzam Rizal, ia menolak menjawabnya. Sebab kata dia, berkaitan hal tersebut ranahnya sudah substansial, sehingga pihaknya tidak dapat memberikan keterangan. “Untuk persoalan ini kami (humas) akan berkoordinasi dulu ke tim auditor bahkan kepala perwakilan. Sebab hal ini sudah substansial dan kami tidak mungkin memberi keterangan yang informasinya tidak kami ketahui,” katanya.

Apakah perbedaan hasil audit seperti kasus PDAM Tirtanadi tersebut sering terjadi? “Sekali lagi saya katakan, kalau terkait hal yang substansif, kami tidak dapat menjawabnya. Yang pasti akan berkoordinasi terlebih dahulu dengan tim yang menangani kasus tersebut,” jawabnya seraya menyebutkan terdapat berbagai jenis audit yang ada di BPKP, diantaranya audit operasional, kinerja, keuangan dan investigasi dimana tiap-tiap audit itu menghasilkan laporan yang berbeda.

Sementara itu, Direktur Direktorat Reserse Kriminal Khusus Poldasu, Kombes Pol Mestron Siboro menyebut seorang dapat disangkakan sebagai tersangka korupsi dan ditahan, setelah adanya hasil audit yang diklakukan BPKP. Namun, kalau penahanan itu juga dapat dilakukan sebelum hasil audit BPKP keluar, bila BPKP sudah memberi pernyataan akan kuatnya dugaan seseorang melakukan korupsi. 
”Kita juga berani menahan, kalau sudah ada keterangan dari BPKP. Kalau akhirnya ternyata tidak ada ditemukan kerugian negara setelah kita menahan seseorang, tidak logika saja itu,” ungkap Mestron.
 Lebih lanjut, Mestron menyebut kalau sebelum BPKP melakukan audit, biasanya terlebih dahulu dilakukan gelar perkara bersama BPKP, atas temuan pihaknya. Begitu juga dengan barang bukti yang ditemukan pihaknya, disebut Mestron akan diserahkan kepada BPKP. Namun, Mestron mengaku kalau pihaknya tidak akan melakukan interpensi kepada BPKP, sepanjang dilakukan audit.
”Kalau bicara BPKP tidak menemukan kerugian negara saat mereka melakukan audit tanpa permintaan kita, sah-sah saja. Namun, kalau kita menemukan yang tidak ditemukan BPKP, sah juga kalau BPKP kembali melakukan audit. Ibaratnya saat BPKP memeriksa seseorang, tidak ditemukan uang di saku orang itu. Namun kita temukan ada uang diselipkan orang itu di sepatunya, “ ujar Mestron menambahkan.
 Saat ditanya soal hasil audit BPKP itu sudah menjadi pesanan, Mestron membantahnya. Dia mengatakan kalau BPKP juga tidak akan mau melakukan hal itu. Bahkan, Mestron mengibaratkan kalau seseorang yang berfikir sehat, tidak akan mau disuruh untuk memukul seseorang.
Sementara itu, Kanit I Subdit III/Tipikor Ditreskrimsus Polda Sumut, Kompol Wahyu Bram yang juga dikonfirmasi menjelaskan, kalau dalam melakukan audit ada 2 mekanisme. Disebutnya, adalah melakukan penghitungan oleh penyidik sehingga menganalisa dan menilai adanya kerugian negara. Untuk yang kedua, dikatakan Wahyu Bram adalah dengan melakukan audit investigatif yaitu penyidik melihat adanya gejala korupsi.
”Untuk penahan terhadap seseorang, menggunakan 2 syarat yaitu syarat objektif yaitu 2 alat bukti dan subjektif yaitu kewenangan, mengingat batasan untuk memastikan penyidikan berjalan lancar. Selain itu, ketika kita juga sudah membaca adanya korupsi, bisa saja kita lan penahanan, seperti dilakukan KPK pada Hariyadi Sodono dalam dugaan korupsi PLN di Jawa Timur beberapa waktu lalu, ” ungkap mantan penyidik KPK itu.

Saat ditanya pendapatnya terkait tudingan kalau hasil audit BPKP itu merupakan pesanan, Wahyu enggan menanggapinya. Disebutnya, sah saja jika seseorang berpersepsi seperti itu.

Disebutnya, kalau hal itu faktanya diijinkan oleh undang-undang. Disebutnya, kalau hal tersebut menyalahi undang-undang, seharusnya Hakim pasti lebih bijak dalam mengambil keputusan.” Kalau mereka mengatakan pada audit sebelumnya mereka tidak ditemukan kerugian negara dan saat audit kita minta ada ditemukan kerugian negara karena pada audit sebelumnya itu hanya dilakukan general audit, tanpa sampling, ” tandas Perwira Polisi dengan pangkat 1 melati di pundaknya itu mengakhiri.

Dalam penyelidikan kasus korupsi yang dilakukan Kejaksaan Tinggi Sumatera Utara (Kejatisu) dan jajarannya secara legalitas bekerjasama dengan BPKP Perwakilan Sumut untuk melakukan penghitung kerugian negara (PKN) yang dikorupsi tersangka.

Kepala Seksi Penerangan Hukum (Kasi Penkum) Kejatisu, Chandra Purnama, mengatakan setiap melakukan PKN, seluruh bahan PKN diserahkan untuk diaudit tim auditor BPKP Sumut. Pihak BPKP Sumut, dikatakan, tidak memiliki bahan pembanding.

“Seluruh bahan dari kami. Sumbernya dari barang bukti yang ditemukan, seperti dokumen-dokumen atau berkas yang lain. ‘’Semuanya diserahkan kepada tim auditor BPKP untuk dilakukan penghitungan kerugian negaranya,” ungkap Chandra.

Dari bahan-bahan tersebut, dia mengatakan, bisa diketahui berapa hasil keseluruhan kerugian negara atau yang dikorupsi oleh tersangka. Tapi secara legalitas untuk menetapkan PKN hanya bisa dilakukan oleh BPKP Sumut. ‘’Bukan kewenangan pihak penyidik Kejaksaan. Dari penyelidikan kami cuma bisa paparkan kronologis kasusnya. Berasal dari mana anggaran yang dikorupsi baru diserahkan ke BPKP Sumut. Kalau itu, cerita ahli. Jadi, ahli PKN itu yang bisa diterima dalam persidangan. Ya, ahli auditor BPKP Sumut lah,”ujarnya.

Chandra menyatakan pihak penyidik Kejaksaan sebenarnya sudah mengetahui berapa kerugian negara dalam satu kasus yang ditangani. Hanya saja legalitas PKN harus dikeluarkan berdasarkan hasil audit BPKP.

“Terus terang penyidik Kejaksaan sebetulnya sudah bisa tahu berapa kerugian negara dalam sebuah kasus korupsi. Jadi, ending-nya itu saja BPKP. Kami pun didampingi BPKP dalam persidangan untuk mempertanggungjawabkan penghitungan kerugian negara dalam suatu kegiatan korupsi,” jelasnya.

Chandra mengakui bahwa BPKP Sumut, tidak memiliki data atau bahan sendiri dalam menghitung kerugian negara. Keseluruhannya bahan atau data berasal dari penyidik.

“Semua dokumen dari keterangan dan kita dapatkan kita kasih semuanya. Kalau penghitungan orang itu punya tata cara sendiri. Ya data kita lah,” tuturnya.

Dia mengakui Dirut PDAM Pemprovsu Azzam Rizal selaku terdakwa korupsi voucher penagihan rekening air tahun 2011 dan voucher pengeluaran kas koperasi karyawan di PDAM Tirtanadi sebesar Rp5.004.637.000 melayangkan surat gugatan ke Pengadilan Negeri Medan (PN) dengan tergugat tergugat I BPKP Sumut, tergugat II Poldasu, dan tergugat III Kejatisu. “Kejatisu itu tergugat tiga,” tandasnya.

Hanya saja, dikatakan dia, perlu diingatkan soal putusan Mahkamah Konstitusi yang mengakui kewenangan BPKP dalam melakukan audit investigasi lewat Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor: 31/PUU-X/2012 tanggal 23 Oktober 2012 yang menguatkan kewenangan BPKP untuk melakukan audit investigasi berdasarkan Keppres 103 tahun 2001 dan PP No 60 Tahun 2008. ‘’BPKP dan BPK masing-masing memiliki kewenangan untuk melakukan audit berdasarkan peraturan,’’ tegas Chandra. (ril/gus/ain/mag-6/val)

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/