28 C
Medan
Friday, May 17, 2024

Penjualan Lahan Sirkuit Pancing Dinilai Cacat Hukum

MEDAN- Ketua Aliansi Masyarakat Pecinta Otomotif (AMPO) Ramli Tarigan SH menilai, penjualan lahan sirkuit Pancing yang dilakukan PT Pembangunan Perumahan cacat hukum Sebab, penjualan dilakukan pada tahun 1996, tapi mereka memiliki lahan tersebut pada tahun 1997 berdasarkan surat Menteri BUMN nomor 53. “Ini artinya PT PP sudah menjual aset negera, meski itu belum menjadi milik mereka,” katanya kepada Sumut Pos, Rabu (6/2).

Selain itu, kata Ramli, surat kuasa PT PP yang dikeluarkan pada tahun 1997 silam kepada PT Binatama Babura Makmur tidak berlaku lagi pada tahun 2011 karena surat kuasa PT PP hanya berlaku setahun. “Orang yang memberikan surat kuasa itu sendiri sudah pensiun saat terjadinya jual-beli pada tahun 2011. Jadi tidak berlaku lagi,” jelasnya.

Menurut Ramli, dalam menjual asset negera harus mendapat izin dari Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Tapi, dalam kasus ini, dirinya mengaku belum pernah melihat adanya izin dari Menteri BUMN. “Kalau belum ada izin dari Menteri BUMN, transaksi jual-beli bisa batal karena ini menyangkut aset negara,” tegasnya.

Dikatakan Ramli, dalam penjualan ini lahan sirkuit Pancing, PT Binatama Babura Makmur bukan sebagai pembeli, tapi hanya sebagai kuasa dari PT PP. Karena itu, dirinya merasa heran ketika PT Binatama Babura Makmur membeli lahan tersebut sebesar Rp19 miliar dari PT PP yang terungkap dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) digelar DPRD Sumatera Utara, Selasa (5/2) lalu.

“Dalam jual-beli ini, sebenarnya PT PP menjual kepada PT Mutiara Development, tapi melalui perantara PT Binatama,” jelasnya.

Dia juga heran dengan sikap Badan Pertanahan Nasional (BPN) Deliserdang yang cepat mengeluarkan sertifikat tanpa melihat silang sengketa di atas lahan itu. “Saya rasa, ketika BPN Deliserdang melakukan pengukuran, mereka pasti melihat bangunan sirkuit itu. Kenapa mereka tidak mempertanyakan sirkuit itu?” tanyanya.

Sedangkan Direktur PT Mutiara Development Ali Ihsan mengaku tidak tahu lahan tersebut bermasalah. Apalagi pihak Pemkab Deliserdang juga menyatakan kalau PT Mutiara memiliki alas hak yang sah dan asli dikeluarkan Pemkab Deliserdang berupa akte jual beli No 194, tertanggal 29 April 2011, beserta Surat Hak Guna Bangunan sejumlah 194 persil.

Proses jual beli kepada Mutiara juga dianggap sempurna. “Kami mengetahui bahwa ada masalah dengan lahan tersebut, setelah dilakukan pengukuran ulang. Namun saat itu terpaksa dilanjutkan karena telah terjadi transaksi,” katanya.

Sebelumnya, dalam RDP digelar DPRD Sumatera Utara kemarin, memang ditemukan banyak kejanggalan dalam jual-beli lahan sirkuit Pancing. Di rapat itu terungkap, bahwa sebelum sirkuit tersebut dibangun, Dinas Pemuda dan Olahraga (Dispora) Sumatera Utara sudah menyurati Biro Perlengkapan dan Perawatan Aset Pemprovsu pada tahun 2007 lalu untuk mempertanyakan status lahan itu.

Karena tidak dibalas, Disporasu kembali melayangkan surat hanya kelang sebulan, tapi mendapat jawaban. Setelah sirkuit dibangun, Disporasu kembali melayangkan surat pada tahun 2010 lalu, tapi tetap tidak mendapat jawaban.

“Pada tahun 2010 lalu, kita juga mengirim surat kepada BPN Deliserdang terkait status tanah itu, tapi tidak langsung dibalas. Pada Juni 2011, kita tiba-tiba mendapat surat dari BPN Deliserdang yang menyatakan lahan itu sudah dimiliki pengembang,” ujar Kabid Sarana dan Prasarana Dispora Sumut, Drs Sujamrat Amro.

Sedangkan berdasarkan keterangan perwakilan PTPN II Hasinuddin, tanah tersebut diberikan kepada Pemprovsu pada tahun 1980 berdasarkan permohonan Gubsu saat itu. Setelah adanya 2 surat dari Kementerian BUMN, pihak PTPN IX saat itu melepaskan lahan seluar 225, 4 hektare di Medan Estate kepada Pemprovsu. Lahan itu diperuntukkan bagi kantor pemerintahan, Islamic centre, stadion, pendidikan, rumah sakit dan sosial lainnya. (mag-7)

MEDAN- Ketua Aliansi Masyarakat Pecinta Otomotif (AMPO) Ramli Tarigan SH menilai, penjualan lahan sirkuit Pancing yang dilakukan PT Pembangunan Perumahan cacat hukum Sebab, penjualan dilakukan pada tahun 1996, tapi mereka memiliki lahan tersebut pada tahun 1997 berdasarkan surat Menteri BUMN nomor 53. “Ini artinya PT PP sudah menjual aset negera, meski itu belum menjadi milik mereka,” katanya kepada Sumut Pos, Rabu (6/2).

Selain itu, kata Ramli, surat kuasa PT PP yang dikeluarkan pada tahun 1997 silam kepada PT Binatama Babura Makmur tidak berlaku lagi pada tahun 2011 karena surat kuasa PT PP hanya berlaku setahun. “Orang yang memberikan surat kuasa itu sendiri sudah pensiun saat terjadinya jual-beli pada tahun 2011. Jadi tidak berlaku lagi,” jelasnya.

Menurut Ramli, dalam menjual asset negera harus mendapat izin dari Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Tapi, dalam kasus ini, dirinya mengaku belum pernah melihat adanya izin dari Menteri BUMN. “Kalau belum ada izin dari Menteri BUMN, transaksi jual-beli bisa batal karena ini menyangkut aset negara,” tegasnya.

Dikatakan Ramli, dalam penjualan ini lahan sirkuit Pancing, PT Binatama Babura Makmur bukan sebagai pembeli, tapi hanya sebagai kuasa dari PT PP. Karena itu, dirinya merasa heran ketika PT Binatama Babura Makmur membeli lahan tersebut sebesar Rp19 miliar dari PT PP yang terungkap dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) digelar DPRD Sumatera Utara, Selasa (5/2) lalu.

“Dalam jual-beli ini, sebenarnya PT PP menjual kepada PT Mutiara Development, tapi melalui perantara PT Binatama,” jelasnya.

Dia juga heran dengan sikap Badan Pertanahan Nasional (BPN) Deliserdang yang cepat mengeluarkan sertifikat tanpa melihat silang sengketa di atas lahan itu. “Saya rasa, ketika BPN Deliserdang melakukan pengukuran, mereka pasti melihat bangunan sirkuit itu. Kenapa mereka tidak mempertanyakan sirkuit itu?” tanyanya.

Sedangkan Direktur PT Mutiara Development Ali Ihsan mengaku tidak tahu lahan tersebut bermasalah. Apalagi pihak Pemkab Deliserdang juga menyatakan kalau PT Mutiara memiliki alas hak yang sah dan asli dikeluarkan Pemkab Deliserdang berupa akte jual beli No 194, tertanggal 29 April 2011, beserta Surat Hak Guna Bangunan sejumlah 194 persil.

Proses jual beli kepada Mutiara juga dianggap sempurna. “Kami mengetahui bahwa ada masalah dengan lahan tersebut, setelah dilakukan pengukuran ulang. Namun saat itu terpaksa dilanjutkan karena telah terjadi transaksi,” katanya.

Sebelumnya, dalam RDP digelar DPRD Sumatera Utara kemarin, memang ditemukan banyak kejanggalan dalam jual-beli lahan sirkuit Pancing. Di rapat itu terungkap, bahwa sebelum sirkuit tersebut dibangun, Dinas Pemuda dan Olahraga (Dispora) Sumatera Utara sudah menyurati Biro Perlengkapan dan Perawatan Aset Pemprovsu pada tahun 2007 lalu untuk mempertanyakan status lahan itu.

Karena tidak dibalas, Disporasu kembali melayangkan surat hanya kelang sebulan, tapi mendapat jawaban. Setelah sirkuit dibangun, Disporasu kembali melayangkan surat pada tahun 2010 lalu, tapi tetap tidak mendapat jawaban.

“Pada tahun 2010 lalu, kita juga mengirim surat kepada BPN Deliserdang terkait status tanah itu, tapi tidak langsung dibalas. Pada Juni 2011, kita tiba-tiba mendapat surat dari BPN Deliserdang yang menyatakan lahan itu sudah dimiliki pengembang,” ujar Kabid Sarana dan Prasarana Dispora Sumut, Drs Sujamrat Amro.

Sedangkan berdasarkan keterangan perwakilan PTPN II Hasinuddin, tanah tersebut diberikan kepada Pemprovsu pada tahun 1980 berdasarkan permohonan Gubsu saat itu. Setelah adanya 2 surat dari Kementerian BUMN, pihak PTPN IX saat itu melepaskan lahan seluar 225, 4 hektare di Medan Estate kepada Pemprovsu. Lahan itu diperuntukkan bagi kantor pemerintahan, Islamic centre, stadion, pendidikan, rumah sakit dan sosial lainnya. (mag-7)

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/