31.8 C
Medan
Friday, May 10, 2024

Remaja Medan Rawat Dua Adik di Kuburan

Tak terpikir oleh Hamida (19) untuk menikmati hingar-bingar Kota Medan layaknya remaja lain. Dia harus bekerja agar dua orang adiknya bisa makan. Tidak itu saja, dia pun harus memberikan kenyamanan pada kedua adiknya itu di areal kuburan. Pasalnya, hanya di tanah wakaf itulah mereka bisa tinggal.

MERANA:  Hamida (kanan) dan dua adiknya di depan tempat tinggalnya di seputaran kuburan. //Fakhrul Rozi/sumut pos
MERANA: Hamida (kanan) dan dua adiknya di depan tempat tinggalnya di seputaran kuburan. //Fakhrul Rozi/sumut pos

Ya, sejak kedua orangtuanya meninggal dunia, hanya dialah yang menjadi tumpuan kedua adiknya itu. Apalagi kedua adiknya itu masih kecil,
Sundari (13) dan Sarmila (12). Sejak ditinggal mati kedua orangtuanya, dia bersama kedua adiknya terpaksa menumpang tinggal di sekitar tanah wakaf kuburan Jalan Ileng Lingkungan 1 Gang Mushola Kelurahan Rengas Pulau Kecamatan Medan Marelan. Gubuk reyot yang berada di antara nisan-nisanlah yang menjadi tempat tinggal mereka selama bertahun-tahun.

Kondisi ini tak membuat Hamida patah arang. Dengan sabar serta ikhlas dia membiayai adik-adiknya meski hanya bekerja sebagai tukang setrika pakaian. Setiap harinya, perempuan yang biasa disapa Ida ini tidak banyak berharap. Dia sudah cukup senang bisa memenuhi kebutuhan perut kedua adiknya.

“Sejak ayah meninggal dunia 4 tahun lalu, kami menumpang di tanah wakaf kuburan ini. Sedang mamak (ibu, Red) sudah lebih dulu pergi meninggalkan kami,” ujar Ida saat disambangi Sumut Pos, Minggu (6/4) kemarin.

Rasa takut dan khawatir tak lagi ada dibenaknya. Dalam pikiran remaja putri cuma tamatan SD ini hanya bagaimana caranya merawat dan memenuhi kebutuhan sehari-hari demi keberlangsungan hidup adik-adiknya. Itu saja.

Saat disambangi, Ida sempat diam dan tertunduk lesu. Dari mimiknya seolah ia tidak kuasa bercerita tentang kepahitan hidup yang dijalani. “Terkadang saya cari upahan menggosok (setrika) pakaian di rumah-rumah warga, sehari kadang dapat uang Rp20 ribu. Itulah digunakan buat biaya kebutuhan makan kami setiap hari,” katanya.

Yang membuat remaja yatim piatu ini sedih, dia tak bisa lagi membiayai sekolah kedua adiknya. Ida hanya bisa menyekolahkan adik-adiknya sampai duduk di bangku kelas dua SD. Remaja perempuan ini terpaksa tidak meneruskan sekolah Sarmila dan Sundari karena ketidakmampuan membayar buku pelajaran.

Selain mencari upah setrika, Ida bersama kedua adik perempuannya terdakang bertahan hidup dengan belas kasihan dari masyarakat yang merasa kasihan melihat keadaan mereka. Begitu pun, dia tak mau disebut mengemis, melainkan cuma bertahan demi hidup.

“Hasil dari upah menggosok pakaian paling hanya bisa buat makan, itupun bila ada kerjaannya. Kalau tidak, paling hanyamengharap adanya warga datang memberi bantuan uang dan makanan,” sebutnya.

Ia menuturkan sejak Ida berusia 9 tahun ibunya, Suparni sudah meninggalkan mereka. Sang ibu meninggal dunia pada 10 tahun silam karena mengalami pendarahan ketika hendak melahirkan adiknya. Meski memiliki keluarga, tapi keterbatasan ekonomi membuat sanak familinya tidak mampu merawat serta membiayai ke tiga perempuan yatim piatu ini.

“Mamak meninggal sewaktu aku masih umur 9 tahun, nggak lama setelah itu ayah pun mulai mengalami sakit-sakitan dan akhirnya juga meninggal dunia menyusul mamak,” lanjut Ida sedih.

Kesabaran dan keteguhan, Ida menjadi kunci baginya dalam merawat adik-adiknya. Di gubuk berukuran 3 x 4 meter berdinding kayu, yang berada di areal tanah wakaf kuburan tersebut, dia membesarkan kedua adiknya. Di dalam gubuk berlantai tanah dan hanya beralaskan spanduk serta terpal plastik warna biru ketiga kakak beradik ini tidur. “Seperti inilah keadaan kami, kalau hujan turun kami terpaksa menghindari tetesan air dari atas atap yang bocor. Tapi ini semua mesti kami jalani,” ungkapnya.

Ida, mengaku keinginannya untuk menyekolahkan kedua adiknya tetap ada. Hanya saja remaja tidak tahu harus mencari uang ke mana buat biaya keperluan sekolah adiknya. Sedangkan, bantuan untuk siswa miskin tak pula diperolehnya kerena mereka tidak mempunyai Kartu Keluarga (KK).

“Dulu memang ada, tapi setelah ayah meninggal dunia KK-nya hilang. Mungkin karena itu kami tak dapat bantuan biaya sekolah dari pemerintah, sedangkan mau mengurusnya aku nggak tahu,” ujar Ida.

Sarmila, adik kandung, Ida saat ditanyai mengaku masih berkeinginan untuk melanjutkan sekolahnya. Bocah berusia 12 tahun ini menyebutkan, bila besar kelak ia berkeinginan menjadi seorang guru.”Cita-cita awak ingin jadi guru Bang,” ucap Sarmila yang hanya mengenakan sarung sebagai penutup tubuh.

Sedangkan, Sundari kakak dari, Sarmila mempunyai cita-cita sebagai seorang dokter. Hanya saja bocah berusia 13 tahun ini sepertinya merasa tidak yakin kalau dewasa nanti dirinya bisa menjadi seorang dokter. Tapi apa mungkin orang miskin seperti kami ini bang bisa jadi dokter,” cetusnya sembari menyandarkan kepalanya dibahu Ida, kakaknya.(rbb)

Tak terpikir oleh Hamida (19) untuk menikmati hingar-bingar Kota Medan layaknya remaja lain. Dia harus bekerja agar dua orang adiknya bisa makan. Tidak itu saja, dia pun harus memberikan kenyamanan pada kedua adiknya itu di areal kuburan. Pasalnya, hanya di tanah wakaf itulah mereka bisa tinggal.

MERANA:  Hamida (kanan) dan dua adiknya di depan tempat tinggalnya di seputaran kuburan. //Fakhrul Rozi/sumut pos
MERANA: Hamida (kanan) dan dua adiknya di depan tempat tinggalnya di seputaran kuburan. //Fakhrul Rozi/sumut pos

Ya, sejak kedua orangtuanya meninggal dunia, hanya dialah yang menjadi tumpuan kedua adiknya itu. Apalagi kedua adiknya itu masih kecil,
Sundari (13) dan Sarmila (12). Sejak ditinggal mati kedua orangtuanya, dia bersama kedua adiknya terpaksa menumpang tinggal di sekitar tanah wakaf kuburan Jalan Ileng Lingkungan 1 Gang Mushola Kelurahan Rengas Pulau Kecamatan Medan Marelan. Gubuk reyot yang berada di antara nisan-nisanlah yang menjadi tempat tinggal mereka selama bertahun-tahun.

Kondisi ini tak membuat Hamida patah arang. Dengan sabar serta ikhlas dia membiayai adik-adiknya meski hanya bekerja sebagai tukang setrika pakaian. Setiap harinya, perempuan yang biasa disapa Ida ini tidak banyak berharap. Dia sudah cukup senang bisa memenuhi kebutuhan perut kedua adiknya.

“Sejak ayah meninggal dunia 4 tahun lalu, kami menumpang di tanah wakaf kuburan ini. Sedang mamak (ibu, Red) sudah lebih dulu pergi meninggalkan kami,” ujar Ida saat disambangi Sumut Pos, Minggu (6/4) kemarin.

Rasa takut dan khawatir tak lagi ada dibenaknya. Dalam pikiran remaja putri cuma tamatan SD ini hanya bagaimana caranya merawat dan memenuhi kebutuhan sehari-hari demi keberlangsungan hidup adik-adiknya. Itu saja.

Saat disambangi, Ida sempat diam dan tertunduk lesu. Dari mimiknya seolah ia tidak kuasa bercerita tentang kepahitan hidup yang dijalani. “Terkadang saya cari upahan menggosok (setrika) pakaian di rumah-rumah warga, sehari kadang dapat uang Rp20 ribu. Itulah digunakan buat biaya kebutuhan makan kami setiap hari,” katanya.

Yang membuat remaja yatim piatu ini sedih, dia tak bisa lagi membiayai sekolah kedua adiknya. Ida hanya bisa menyekolahkan adik-adiknya sampai duduk di bangku kelas dua SD. Remaja perempuan ini terpaksa tidak meneruskan sekolah Sarmila dan Sundari karena ketidakmampuan membayar buku pelajaran.

Selain mencari upah setrika, Ida bersama kedua adik perempuannya terdakang bertahan hidup dengan belas kasihan dari masyarakat yang merasa kasihan melihat keadaan mereka. Begitu pun, dia tak mau disebut mengemis, melainkan cuma bertahan demi hidup.

“Hasil dari upah menggosok pakaian paling hanya bisa buat makan, itupun bila ada kerjaannya. Kalau tidak, paling hanyamengharap adanya warga datang memberi bantuan uang dan makanan,” sebutnya.

Ia menuturkan sejak Ida berusia 9 tahun ibunya, Suparni sudah meninggalkan mereka. Sang ibu meninggal dunia pada 10 tahun silam karena mengalami pendarahan ketika hendak melahirkan adiknya. Meski memiliki keluarga, tapi keterbatasan ekonomi membuat sanak familinya tidak mampu merawat serta membiayai ke tiga perempuan yatim piatu ini.

“Mamak meninggal sewaktu aku masih umur 9 tahun, nggak lama setelah itu ayah pun mulai mengalami sakit-sakitan dan akhirnya juga meninggal dunia menyusul mamak,” lanjut Ida sedih.

Kesabaran dan keteguhan, Ida menjadi kunci baginya dalam merawat adik-adiknya. Di gubuk berukuran 3 x 4 meter berdinding kayu, yang berada di areal tanah wakaf kuburan tersebut, dia membesarkan kedua adiknya. Di dalam gubuk berlantai tanah dan hanya beralaskan spanduk serta terpal plastik warna biru ketiga kakak beradik ini tidur. “Seperti inilah keadaan kami, kalau hujan turun kami terpaksa menghindari tetesan air dari atas atap yang bocor. Tapi ini semua mesti kami jalani,” ungkapnya.

Ida, mengaku keinginannya untuk menyekolahkan kedua adiknya tetap ada. Hanya saja remaja tidak tahu harus mencari uang ke mana buat biaya keperluan sekolah adiknya. Sedangkan, bantuan untuk siswa miskin tak pula diperolehnya kerena mereka tidak mempunyai Kartu Keluarga (KK).

“Dulu memang ada, tapi setelah ayah meninggal dunia KK-nya hilang. Mungkin karena itu kami tak dapat bantuan biaya sekolah dari pemerintah, sedangkan mau mengurusnya aku nggak tahu,” ujar Ida.

Sarmila, adik kandung, Ida saat ditanyai mengaku masih berkeinginan untuk melanjutkan sekolahnya. Bocah berusia 12 tahun ini menyebutkan, bila besar kelak ia berkeinginan menjadi seorang guru.”Cita-cita awak ingin jadi guru Bang,” ucap Sarmila yang hanya mengenakan sarung sebagai penutup tubuh.

Sedangkan, Sundari kakak dari, Sarmila mempunyai cita-cita sebagai seorang dokter. Hanya saja bocah berusia 13 tahun ini sepertinya merasa tidak yakin kalau dewasa nanti dirinya bisa menjadi seorang dokter. Tapi apa mungkin orang miskin seperti kami ini bang bisa jadi dokter,” cetusnya sembari menyandarkan kepalanya dibahu Ida, kakaknya.(rbb)

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/