Yang mungkin tak disadarinya, bagaimana kehidupannya bakal berubah dalam beberapa tahun kedepan. Apa yang mungkin disebut cinta remaja bisa jadi gubuk derita.
Tidak kalah memilukan kisah AN. Baru berusia 20 tahun, dia sudah menyandang status janda. Dia cerai dua pekan lalu.
AN memutuskan menikah dengan RA, tetangganya, empat tahun lalu. Ketika usianya masih 16 tahun. Saat itu, dia merasa RA merupakan jodohnya. Setelah pacaran satu tahun, dia merasa sudah sewajarnya hubungan itu masuk ke jenjang pernikahan.
’’Pikiran saya waktu itu nikah saja soalnya sudah capek kerja. Saya mikirnya suami nanti bakal lurus soalnya berani ngelamar,’’ ungkapnya lirih.
Tapi keberanian RA melamar AN tidak dibarengi niat dan kesungguhan untuk membangun keluarga yang bahagia. Pria yang lebih empat tahun dari AN itu malah membuat sengsara kehidupan sang istri. Daripada membahagiakan dan memenuhi kebutuhan hidupnya.
RA, justru sering mabuk dan main perempuan. Saat AN marah, pria yang bekerja serabutan itu justru berbalik marah. Tidak jarang dia melayangkan pukulan ke wajah AN. ’’Pernah waktu anak masih satu tahun, saya tanya soal selingkuhannya, dia malah mukul muka saya sampai bengkak,’’ kenangnya.
Kini, dengan putri yang berusia 3,5 tahun, dia berniat untuk memulai hidupnya lagi dengan mencari pekerjaan. Dan satu yang pasti, dia tak ingin putrinya mengulangi kesalahannya di masa depan nanti. ’’Nikahnya nanti saja kalau sudah 19 tahun atau 20 tahun,’’ katanya tentang cita-citanya kelak.
Kisah SA dan AN menunjukkan anak perempuan di Indonesia belum lepas dari ancaman bahaya pernikahan dini. Di wilayah-wilayah dengan tingkat perekonomian yang buruk, kasus seperti itu sangat barak. Studi yang dilakukan UNICEF dan Badan Pusat Statistik menyebut bahwa 1 dari empat anak perempuan menjadi korban pernikahan usia anak. (selengkapnya baca grafis).
RS, ibu berumur 34 tahun yang kini juga ikut menjadi kader SAPA Institute, tahu benar bagaimana dampak menikah saat usia muda. ’’Saya nikah pas umur 14 tahun. Karena ada om-om umur 33 tahun nyekokin obat dan saya digituin,’’ kenangnya.
Saat itu, dia tak tahu bahwa itu masuk ke kategori pemerkosaan. Yang dia tahu bahwa dia tak suci lagi. Sampai-sampai dia pernah mencoba bunuh diri. Dan di saat itu pula, dia akhirnya dinikahkan dengan pelaku pemerkosaan itu. Alasannya cuma satu, mencegah aib.
’’Suami orang yang berkecukupan tapi batin saya tersiksa,’’ ceritanya.
Kini, RS terus berusaha untuk hidup positif dan menikah lagi. Namun, dia mengaku memendam benci ke putra sulung yang mempunyai wajah mirip dengan suami pertama. ’’Kalau ingat rasanya nggak enak. Saya jadi takut anak saya kayak bapaknya,’’ ungkapnya.
Kenangan menyakitkan itulah yang membuat dia aktif di SAPA Institute. Dia ingin pengalamannya tidak dialami anak-anak perempuan lain. ”Menikah di bawah usia 18 tahun bukanlah pilihan yang tepat. Jangan sembarangan mengambil keputusan itu,” tandasnya.
Fenomena pernikahan anak sangat sulit untuk diberantas karena kultur dan perekonomian di Indonesia memungkinkan hal itu. Di beberapa daerah minus di Jawa Barat, anak perempuan dianggap sebagai beban keluarga. Ketika dia menikah, maka berkuranglah beban keluarga. Satu anak perempuan menikah, berkuranglah beban satu piring nasi!
Karena belum siap, kelak si anak akan terjebak dalam kondisi kemiskinan seperti orang tuanya. Lagi-lagi kalau punya anak perempuan akan mengalami nasib seperti ibunya. Begitu seterusnya sehingga fenomena itu sangat sulit untuk diputus.

