28 C
Medan
Thursday, May 2, 2024

Nyawa Nyaris Melayang Saat Melahirkan

Foto: M Salsabyl Adn/JAWAPOS
A, 20, sedang berkumpul dengan ibu-ibu muda lainnya di salah satu desa Kecamatan Majalaya. Dua minggu lalu, dia akhirnya memutuskan cerai setelah empat tahun mengalami KDRT. Foto diambil pada Minggu, (2/4/2017).

SUMUTPOS.CO – Wajahnya yang imut masih terlihat pucat. Badannya terlihat ringkih, tergeletak di salah satu bangsal Rumah Sakit Majalaya, Bandung Selatan, Minggu lalu (2/4). SA, inisial namanya, sekilas seperti sedang dirawat karena diare atau terkena serangan virus lain.

Namun, SA bukan sedang dirawat karena sakit. Perempuan 13 tahun itu baru saja melahirkan dua hari sebelumnya. Melahirkan di usia 13 tahun? Ya…!

”Nggak papa. Ya sudah lah, sudah ikhlas,” kata SA, pasrah, ketika harus melahirkan di usia 13 tahun.

SA adalah potret buram anak Indonesia yang terpaksa menjalani pernikahan di usia anak. Suaminya, SP juga masih sangat muda, 20 tahun. Bisa dibayangkan, betapa mereka sangat belum siap menjalani kehidupan sebagai ayah dan ibu. Secara fisik maupun mental.

Jumat (31/3), nyawanya dalam bahaya. Karena tulang panggulnya kelewat kecil, dia tidak bisa melahirkan normal. Dia tidak bisa melewati pembukaan 6. Satu-satunya jalan untuk menyelamatkan bayi dan ibu adalah operasi Caesar.

Siang itu SA ditemani suaminya. Juga beberapa kerabatnya. Setelah dua hari dirawat, dia akhirnya diizinkan untuk pulang. Dia hanya tinggal menunggu persetujuan dokter.

Dengan kemeja merah motif kotak dan bawahan sarung, SA berkali-kali tidur lalu bangun menunggu tandatangan dokter yang tak kunjung tiba. Ketika ditanya keadaan, dia berulang-ulang mengatakan bahwa dia baik-baik saja.

’’Sekarang cuma sedikit sakit. Tapi, sudah nggak apa-apa,’’ ujarnya.

Soal perasaan, gadis pemalu itu tetap saja berulang-ulang mengatakan bahwa dirinya baik-baik. Namun, kisah dibalik perempuan yang sering senyum malu-malu itu tak seenteng yang terlihat.

Nasib SA bisa saja berbeda. Jika tidak ada kader desa sekaligus pendamping SAPA Institut, LSM yang memperhatikan masalah perempuan, membantu dia. Perempuan tersebut baru diketahui hamil saat usia kehamilannya mencapai tujuh bulan. Orang tua yang mengetahui itu pun tanpa pikir panjang langsung menikahkan SA dengan SP melalui lebe, penghulu yang menikahkan secara agama.

Praktis, pernikahan itu membuat mereka berhenti sekolah. Masing-masing hanya mengantongi ijazah SMP.

Masalah demi masalah kemudian bertubi-tubi datang. Karena latar belakang ekonomi kedua keluarga yang tak mampu, SA enggan memeriksakan kandungan. Setelah beberapa bulan dibujuk sang kader, barulah dia berangkat untuk melakukan USG. Tapi, setelah diperiksa justru dokter menemukan bahwa SA sudah mengalami pembukaan dan harus segera disiapkan untuk bersalin.

Lagi-lagi, dia dibantu agar operasi bisa dilakukan tanpa biaya. Karena BPJS yang dimiliki ditolak setelah SA tak bisa menyediakan surat nikah. Menyediakan uang sebanyak Rp 12 juta untuk operasi juga bukan hal memungkinkan. Sang suami kini hanya bekerja sebagai pengantar galon dengan bayaran Rp 1.000 per galon. Bapak SA bekerja serabutan sedangkan ibu bekerja di pabrik tekstil dengan bayaran Rp 150 ribu per minggu.

Kalau saja tidak ada bantuan dari SAPA Institute, nyawa SA bisa saja tidak tertolong.

Soal masa depan, SA hanya bisa bilang gimana nanti wae. Pun demikian dengan bagaimana membesarkan anaknya yang belum dikasih nama itu. ’’Ya nanti dibantu sama ibu,’’ ucapnya pasrah.

Foto: M Salsabyl Adn/JAWAPOS
A, 20, sedang berkumpul dengan ibu-ibu muda lainnya di salah satu desa Kecamatan Majalaya. Dua minggu lalu, dia akhirnya memutuskan cerai setelah empat tahun mengalami KDRT. Foto diambil pada Minggu, (2/4/2017).

SUMUTPOS.CO – Wajahnya yang imut masih terlihat pucat. Badannya terlihat ringkih, tergeletak di salah satu bangsal Rumah Sakit Majalaya, Bandung Selatan, Minggu lalu (2/4). SA, inisial namanya, sekilas seperti sedang dirawat karena diare atau terkena serangan virus lain.

Namun, SA bukan sedang dirawat karena sakit. Perempuan 13 tahun itu baru saja melahirkan dua hari sebelumnya. Melahirkan di usia 13 tahun? Ya…!

”Nggak papa. Ya sudah lah, sudah ikhlas,” kata SA, pasrah, ketika harus melahirkan di usia 13 tahun.

SA adalah potret buram anak Indonesia yang terpaksa menjalani pernikahan di usia anak. Suaminya, SP juga masih sangat muda, 20 tahun. Bisa dibayangkan, betapa mereka sangat belum siap menjalani kehidupan sebagai ayah dan ibu. Secara fisik maupun mental.

Jumat (31/3), nyawanya dalam bahaya. Karena tulang panggulnya kelewat kecil, dia tidak bisa melahirkan normal. Dia tidak bisa melewati pembukaan 6. Satu-satunya jalan untuk menyelamatkan bayi dan ibu adalah operasi Caesar.

Siang itu SA ditemani suaminya. Juga beberapa kerabatnya. Setelah dua hari dirawat, dia akhirnya diizinkan untuk pulang. Dia hanya tinggal menunggu persetujuan dokter.

Dengan kemeja merah motif kotak dan bawahan sarung, SA berkali-kali tidur lalu bangun menunggu tandatangan dokter yang tak kunjung tiba. Ketika ditanya keadaan, dia berulang-ulang mengatakan bahwa dia baik-baik saja.

’’Sekarang cuma sedikit sakit. Tapi, sudah nggak apa-apa,’’ ujarnya.

Soal perasaan, gadis pemalu itu tetap saja berulang-ulang mengatakan bahwa dirinya baik-baik. Namun, kisah dibalik perempuan yang sering senyum malu-malu itu tak seenteng yang terlihat.

Nasib SA bisa saja berbeda. Jika tidak ada kader desa sekaligus pendamping SAPA Institut, LSM yang memperhatikan masalah perempuan, membantu dia. Perempuan tersebut baru diketahui hamil saat usia kehamilannya mencapai tujuh bulan. Orang tua yang mengetahui itu pun tanpa pikir panjang langsung menikahkan SA dengan SP melalui lebe, penghulu yang menikahkan secara agama.

Praktis, pernikahan itu membuat mereka berhenti sekolah. Masing-masing hanya mengantongi ijazah SMP.

Masalah demi masalah kemudian bertubi-tubi datang. Karena latar belakang ekonomi kedua keluarga yang tak mampu, SA enggan memeriksakan kandungan. Setelah beberapa bulan dibujuk sang kader, barulah dia berangkat untuk melakukan USG. Tapi, setelah diperiksa justru dokter menemukan bahwa SA sudah mengalami pembukaan dan harus segera disiapkan untuk bersalin.

Lagi-lagi, dia dibantu agar operasi bisa dilakukan tanpa biaya. Karena BPJS yang dimiliki ditolak setelah SA tak bisa menyediakan surat nikah. Menyediakan uang sebanyak Rp 12 juta untuk operasi juga bukan hal memungkinkan. Sang suami kini hanya bekerja sebagai pengantar galon dengan bayaran Rp 1.000 per galon. Bapak SA bekerja serabutan sedangkan ibu bekerja di pabrik tekstil dengan bayaran Rp 150 ribu per minggu.

Kalau saja tidak ada bantuan dari SAPA Institute, nyawa SA bisa saja tidak tertolong.

Soal masa depan, SA hanya bisa bilang gimana nanti wae. Pun demikian dengan bagaimana membesarkan anaknya yang belum dikasih nama itu. ’’Ya nanti dibantu sama ibu,’’ ucapnya pasrah.

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/