32 C
Medan
Wednesday, June 26, 2024

Dekan dan Mantan Dekan Saling Tuding

Kasus dugaan korupsi yang menerpa Departemen Etnomusikologi Fakultas Ilmu Budaya (FIB) Universitas Sumatera Utara (USU) memasuki babak baru. Dekan dan mantan dekan di fakultas tersebut bersiteru. Keduanya pun tak ubahnya anak kecil yang tak mau disalahkan karena mainannya rusak, mereka saling tuding.

Hal ini mengemuka sejak adanya informasi pemanggilan yang dilakukan Kejaksaan Agung (Kejagung), pihak yang disebut-sebut pun mulai angkat bicara. Kali ini, mantan Dekan FIB, Wan Syaifuddin, yang membeberkan sejumlah fakta dimaksud.

Berbicara kepada Sumut Pos, Rabu (6/8), Wan Syaifuddin tampak bersemangat membuka keran kasus dengan mengungkap sejumlah fakta serta kronologi yang terjadi di FIB USU. Mulai dari permohonan proposal, spesifikasi barang, sampai pejabat yang menandatangani permohonan pengadaan tersebut.

Bahkan Wan mengaku inilah momen yang ia tunggu guna mengungkap kasus dugaan korupsi di Departemen Etnomusikologi USU.

“Selama ini saya memang diam saja, namun melihat kondisi yang terjadi, saya pikir ini momen yang pas untuk berbicara,” buka Wan Syaifuddin.

Dijelaskannya, sesuai permintaan Rektor Chairuddin Lubis waktu itu, di mana untuk mengembangkan fakultas sastra menjadi salah satu world class university, ia diminta membuat suatu proposal permohonan pengadaan barang. Kemudian dari situ, berdasarkan anggaran dasar dan anggaran rumah tangga (AD/ART) USU sebagai PT BHMN, ia mengumpulkan sekaligus membentuk tim pembuatan proposal.

“Lalu dari fakultas kemudian dikirimkanlah ke Kemendikbud pada tahun anggaran berjalan. Setelah itu barulah turun anggaran. Atas penggunaan anggaran tersebut, lalu dibuat spesifikasi harga yang mau dibeli,” ungkap mantan dekan yang menjabat pada 2007 silam ini.

Atas dasar itu, Wan mendelegasikan pembentukan dan pembuatan proposal kepada unit di bawahnya, di mana dalam hal ini melalui Departemen Etnomusikologi.  Wan juga menunjukkan bundelan proposal itu kepada Sumut Pos, di mana peruntukkannya untuk gedung museum dan peralatan Etnomusikologi Fakultas Sastra (FIB) USU 2010. Namun setelah berjalan, tepatnya pada Juli 2010, di mana saat itu dirinya tidak menjabat sebagai dekan lagi, ia lantas tidak mengetahui perkembangan soal itu. Menurutnya, kewenangan yang ia lakukan sudah sesuai prosedur dan mekanisme aturan yang berlaku berdasarkan AD/ART USU.  “Di AD/ART PT BHMN USU tentang Pimpinan Fakultas pada pasal 55 ayat 3 sudah sangat jelas diterangkan. Bahwa tepatnya di poin L, di mana pimpinan fakultas bertugas mendelegasikan pelaksanaan tugas pimpinan fakultas kepada pimpinan unit yang berada di bawahnya,” sebut dia.

Bahkan lanjutnya, pada poin G dan H dalam AD/ART tentang Dewan Pimpinan Fakultas (DPF), dijelaskan unit dimaksud harus menyampaikan laporan secara berkala terhadap perkembangan yang terjadi. “Nah, pada saat itu saya menjabat sebagai ketua DPF. Namun sampai hari ini mereka tidak pernah menyampaikan laporan apapun kepada saya,” tegasnya.

Wan juga menyatakan, berdasarkan surat WR (Wakil Rektor) II dengan nomor 5180/H5.I.R.2/PPS/2010 tanggal 16 Agustus 2010 perihal spesifikasi teknis dan harga yang dilayangkan kepada Dekan FIB Syahron Lubis, di mana berisi sehubungan akan dilaksanakan pelelangan umum pekerjaan pengadaan peralatan di Departemen Etnomusikologi yang dibiayai oleh APBN-P USU Tahun Anggaran 2010, meminta dekan bersangkutan mengirimkan spesifikasi harga dan teknis (dalam bentuk hard copy dan file electronic) diserahkan kepada Unit Layanan Pengadaan USU selambat-lambatnya pada 18 Agustus 2010. Surat tersebut lantas direspon Syahron Lubis pada tanggal yang diminta, sekaligus mengirimkan sesuai permintaan dari surat WR II itu.

“Jadi sudah jelas bukan? Janganlah ketika ditanya jawabannya selalu tidak tahu dan tidak tahu. Di situ jelas loh yang meneken adalah Syahron Lubis. Surat balasan atas permintaan dari WR II,” kata Wan Syarifuddin.

Sebelumnya Wan mengatakan bahwa Syahron sudah diperiksa dua kali oleh Kejagung terkait kasus tersebut. Selain itu, dalam pemeriksaan beberapa waktu lalu di Departemen Etnomusikologi, terungkap kalau Sekretaris Departemen Heristina Dewi mengaku telah menerima uang Rp2 juta dari pengadaan itu. Atas dasar itu, jelas dia, pihak Kejagung kiranya memberi perhatian dengan menindaklanjuti pernyataan Heristina Dewi.

Wan sendiri mengaku siap atas pemanggilan dirinya pada 13 Agustus mendatang oleh Kejagung. Bahkan ia akan membeberkan semuanya melalui data yang ia punya. Apalagi ia mengklaim bahwa tindakan yang dilakukan sudah sesuai prosedur dan amanah dari rektor.

“Saya kira kalau yang pahit itu buat kita, harus kita terima. Begitu juga dengan yang manis. Sebagai orang Indonesia dan orang budaya, kiranya kita kedepankan prinsip kejujuran,” tuturnya.

Penyataan itu ia lontarkan menyinggung jawaban Syahron Lubis, yang selalu menjawab tidak tahu apa-apa ketika dikonfirmasi wartawan. Wan tampak geram dan muak atas jawaban tersebut. “Itu sama saja dia (Syahron) sudah melakukan pembohongan publik. Masa tiap kali ditanya jawabannya melulu tidak mengetahui. Lalu apa tanggung jawab dia selaku dekan di situ,” sindir Wan. “Paling tidak ia mengakui bahwa dalam melaksanakan tugasnya memang tidak sesuai prosedur. Seharusnya sebelum meneken proposal itu ia harus membawa ke rapat DPF,” tegasnya.

Terpisah, Dekan FIB USU Syahron Lubis membantah terkait dua kali pemeriksaan yang pernah dilakukan Kejagung terhadap dirinya. “Bilang sama dia kalau saya baru diperiksa sekali, bukan dua kali,” kata Syahron saat dikonfirmasi, Rabu siang kemarin.

Syahron mengaku pemanggilan dirinya oleh Kejagung bersamaan dengan WR II USU Armansyah Ginting pada 26 Juni 2014 lalu. Namun ketika disinggung melalui informasi yang diperoleh bahwa selain bersama Armansyah Ginting, pemanggilan serupa juga bersamaan dengan Dekan Fakultas Farmasi USU Sumadio Hadisaputro, ia membantahnya. “Saya cuma dipanggil sendiri, dan tidak tahu apakah yang lain juga dipanggil,” ucapnya.

Terkait penyampaian laporan proposal pengadaan secara berkala yang seharusnya disampaikan ke DPF, Syahron mengaku tidak ikut-ikutan dalam urusan tersebut. “Loh, saya nggak ikut-ikutan soal itu, mana saya tahu. Lagian saya (ssat itu) baru menjadi dekan satu bulan,” kilah Syahron.

Kemudian saat disinggung lagi bahwa saat itu ada tanda tangan dirinya tatkala merespon surat dari WR II, perihal pelaporan spesifikasi harga untuk pengadaan barang, Syahron kembali berkilah. Bahkan ia tidak mengetahui kalau proposal itu ada dan tidak mengetahui apa-apa terkait hal dimaksud. “Itu proposal kan sudah lama, sudah dari tahun-tahun sebelumnya. Dan waktu penyerahan proposal itu tidak saya akui bahwa itu punya saya. Saya tidak tahu-menahu soal itu,” sebutnya.

Menurut Syahron, dia hanya mengetahui hal tersebut saat barang-barang yang dimohonkan sudah masuk ke Departemen Etnomusikologi. “Dan bagaimana barang itu diadakan, juga prosesnya seperti apa, saya tidak tahu. Perihal ini juga sudah saya sampaikan ke Kejagung pada waktu itu,” katanya.

Nada tinggi keluar spontan dari mulut Syahron, tatkala Sumut Pos kembali menekankan perihal terdapat tanda tangan dirinya merespon surat dari WR II USU, bahwa spesifikasi barang sudah masuk ke Departemen Etnomusikologi. “Dengar dulu ya, saya itu baru sebulan menjabat sebagai dekan saat itu. Dan proses itu sudah lama sebelumnya. Jadi dari mana saya tahu,” ujarnya.

Syahron merasa tidak senang dan kemudian menuding balik atas tuduhan yang diarahkan terhadap dirinya. “Bilang sama dia (Wan Syaifuddin) kalau dia kan yang lama jadi dekan di situ. Ini saya baru sebulan jadi dekan sudah dituduh-tuduh. Saya tidak tahu apa-apa soal pengadaan di etnomusikologi itu. Jangan dibilang saya yang mengadakan,” ketusnya.

Pun begitu mengenai jasa konsultan yang disarankan Wan Syaifuddin terhadap spesifikasi barang tersebut, di mana sudah tercantum ke dalam proposal namun pada prakteknya tidak dilaksanakan, sementara anggaran yang diperuntukkan itu sudah masuk.  “Enggak ada saya tau soal itu. Apa yang sebelumnya terjadi juga saya tidak tahu,” tutup Syahron. (prn)

Kasus dugaan korupsi yang menerpa Departemen Etnomusikologi Fakultas Ilmu Budaya (FIB) Universitas Sumatera Utara (USU) memasuki babak baru. Dekan dan mantan dekan di fakultas tersebut bersiteru. Keduanya pun tak ubahnya anak kecil yang tak mau disalahkan karena mainannya rusak, mereka saling tuding.

Hal ini mengemuka sejak adanya informasi pemanggilan yang dilakukan Kejaksaan Agung (Kejagung), pihak yang disebut-sebut pun mulai angkat bicara. Kali ini, mantan Dekan FIB, Wan Syaifuddin, yang membeberkan sejumlah fakta dimaksud.

Berbicara kepada Sumut Pos, Rabu (6/8), Wan Syaifuddin tampak bersemangat membuka keran kasus dengan mengungkap sejumlah fakta serta kronologi yang terjadi di FIB USU. Mulai dari permohonan proposal, spesifikasi barang, sampai pejabat yang menandatangani permohonan pengadaan tersebut.

Bahkan Wan mengaku inilah momen yang ia tunggu guna mengungkap kasus dugaan korupsi di Departemen Etnomusikologi USU.

“Selama ini saya memang diam saja, namun melihat kondisi yang terjadi, saya pikir ini momen yang pas untuk berbicara,” buka Wan Syaifuddin.

Dijelaskannya, sesuai permintaan Rektor Chairuddin Lubis waktu itu, di mana untuk mengembangkan fakultas sastra menjadi salah satu world class university, ia diminta membuat suatu proposal permohonan pengadaan barang. Kemudian dari situ, berdasarkan anggaran dasar dan anggaran rumah tangga (AD/ART) USU sebagai PT BHMN, ia mengumpulkan sekaligus membentuk tim pembuatan proposal.

“Lalu dari fakultas kemudian dikirimkanlah ke Kemendikbud pada tahun anggaran berjalan. Setelah itu barulah turun anggaran. Atas penggunaan anggaran tersebut, lalu dibuat spesifikasi harga yang mau dibeli,” ungkap mantan dekan yang menjabat pada 2007 silam ini.

Atas dasar itu, Wan mendelegasikan pembentukan dan pembuatan proposal kepada unit di bawahnya, di mana dalam hal ini melalui Departemen Etnomusikologi.  Wan juga menunjukkan bundelan proposal itu kepada Sumut Pos, di mana peruntukkannya untuk gedung museum dan peralatan Etnomusikologi Fakultas Sastra (FIB) USU 2010. Namun setelah berjalan, tepatnya pada Juli 2010, di mana saat itu dirinya tidak menjabat sebagai dekan lagi, ia lantas tidak mengetahui perkembangan soal itu. Menurutnya, kewenangan yang ia lakukan sudah sesuai prosedur dan mekanisme aturan yang berlaku berdasarkan AD/ART USU.  “Di AD/ART PT BHMN USU tentang Pimpinan Fakultas pada pasal 55 ayat 3 sudah sangat jelas diterangkan. Bahwa tepatnya di poin L, di mana pimpinan fakultas bertugas mendelegasikan pelaksanaan tugas pimpinan fakultas kepada pimpinan unit yang berada di bawahnya,” sebut dia.

Bahkan lanjutnya, pada poin G dan H dalam AD/ART tentang Dewan Pimpinan Fakultas (DPF), dijelaskan unit dimaksud harus menyampaikan laporan secara berkala terhadap perkembangan yang terjadi. “Nah, pada saat itu saya menjabat sebagai ketua DPF. Namun sampai hari ini mereka tidak pernah menyampaikan laporan apapun kepada saya,” tegasnya.

Wan juga menyatakan, berdasarkan surat WR (Wakil Rektor) II dengan nomor 5180/H5.I.R.2/PPS/2010 tanggal 16 Agustus 2010 perihal spesifikasi teknis dan harga yang dilayangkan kepada Dekan FIB Syahron Lubis, di mana berisi sehubungan akan dilaksanakan pelelangan umum pekerjaan pengadaan peralatan di Departemen Etnomusikologi yang dibiayai oleh APBN-P USU Tahun Anggaran 2010, meminta dekan bersangkutan mengirimkan spesifikasi harga dan teknis (dalam bentuk hard copy dan file electronic) diserahkan kepada Unit Layanan Pengadaan USU selambat-lambatnya pada 18 Agustus 2010. Surat tersebut lantas direspon Syahron Lubis pada tanggal yang diminta, sekaligus mengirimkan sesuai permintaan dari surat WR II itu.

“Jadi sudah jelas bukan? Janganlah ketika ditanya jawabannya selalu tidak tahu dan tidak tahu. Di situ jelas loh yang meneken adalah Syahron Lubis. Surat balasan atas permintaan dari WR II,” kata Wan Syarifuddin.

Sebelumnya Wan mengatakan bahwa Syahron sudah diperiksa dua kali oleh Kejagung terkait kasus tersebut. Selain itu, dalam pemeriksaan beberapa waktu lalu di Departemen Etnomusikologi, terungkap kalau Sekretaris Departemen Heristina Dewi mengaku telah menerima uang Rp2 juta dari pengadaan itu. Atas dasar itu, jelas dia, pihak Kejagung kiranya memberi perhatian dengan menindaklanjuti pernyataan Heristina Dewi.

Wan sendiri mengaku siap atas pemanggilan dirinya pada 13 Agustus mendatang oleh Kejagung. Bahkan ia akan membeberkan semuanya melalui data yang ia punya. Apalagi ia mengklaim bahwa tindakan yang dilakukan sudah sesuai prosedur dan amanah dari rektor.

“Saya kira kalau yang pahit itu buat kita, harus kita terima. Begitu juga dengan yang manis. Sebagai orang Indonesia dan orang budaya, kiranya kita kedepankan prinsip kejujuran,” tuturnya.

Penyataan itu ia lontarkan menyinggung jawaban Syahron Lubis, yang selalu menjawab tidak tahu apa-apa ketika dikonfirmasi wartawan. Wan tampak geram dan muak atas jawaban tersebut. “Itu sama saja dia (Syahron) sudah melakukan pembohongan publik. Masa tiap kali ditanya jawabannya melulu tidak mengetahui. Lalu apa tanggung jawab dia selaku dekan di situ,” sindir Wan. “Paling tidak ia mengakui bahwa dalam melaksanakan tugasnya memang tidak sesuai prosedur. Seharusnya sebelum meneken proposal itu ia harus membawa ke rapat DPF,” tegasnya.

Terpisah, Dekan FIB USU Syahron Lubis membantah terkait dua kali pemeriksaan yang pernah dilakukan Kejagung terhadap dirinya. “Bilang sama dia kalau saya baru diperiksa sekali, bukan dua kali,” kata Syahron saat dikonfirmasi, Rabu siang kemarin.

Syahron mengaku pemanggilan dirinya oleh Kejagung bersamaan dengan WR II USU Armansyah Ginting pada 26 Juni 2014 lalu. Namun ketika disinggung melalui informasi yang diperoleh bahwa selain bersama Armansyah Ginting, pemanggilan serupa juga bersamaan dengan Dekan Fakultas Farmasi USU Sumadio Hadisaputro, ia membantahnya. “Saya cuma dipanggil sendiri, dan tidak tahu apakah yang lain juga dipanggil,” ucapnya.

Terkait penyampaian laporan proposal pengadaan secara berkala yang seharusnya disampaikan ke DPF, Syahron mengaku tidak ikut-ikutan dalam urusan tersebut. “Loh, saya nggak ikut-ikutan soal itu, mana saya tahu. Lagian saya (ssat itu) baru menjadi dekan satu bulan,” kilah Syahron.

Kemudian saat disinggung lagi bahwa saat itu ada tanda tangan dirinya tatkala merespon surat dari WR II, perihal pelaporan spesifikasi harga untuk pengadaan barang, Syahron kembali berkilah. Bahkan ia tidak mengetahui kalau proposal itu ada dan tidak mengetahui apa-apa terkait hal dimaksud. “Itu proposal kan sudah lama, sudah dari tahun-tahun sebelumnya. Dan waktu penyerahan proposal itu tidak saya akui bahwa itu punya saya. Saya tidak tahu-menahu soal itu,” sebutnya.

Menurut Syahron, dia hanya mengetahui hal tersebut saat barang-barang yang dimohonkan sudah masuk ke Departemen Etnomusikologi. “Dan bagaimana barang itu diadakan, juga prosesnya seperti apa, saya tidak tahu. Perihal ini juga sudah saya sampaikan ke Kejagung pada waktu itu,” katanya.

Nada tinggi keluar spontan dari mulut Syahron, tatkala Sumut Pos kembali menekankan perihal terdapat tanda tangan dirinya merespon surat dari WR II USU, bahwa spesifikasi barang sudah masuk ke Departemen Etnomusikologi. “Dengar dulu ya, saya itu baru sebulan menjabat sebagai dekan saat itu. Dan proses itu sudah lama sebelumnya. Jadi dari mana saya tahu,” ujarnya.

Syahron merasa tidak senang dan kemudian menuding balik atas tuduhan yang diarahkan terhadap dirinya. “Bilang sama dia (Wan Syaifuddin) kalau dia kan yang lama jadi dekan di situ. Ini saya baru sebulan jadi dekan sudah dituduh-tuduh. Saya tidak tahu apa-apa soal pengadaan di etnomusikologi itu. Jangan dibilang saya yang mengadakan,” ketusnya.

Pun begitu mengenai jasa konsultan yang disarankan Wan Syaifuddin terhadap spesifikasi barang tersebut, di mana sudah tercantum ke dalam proposal namun pada prakteknya tidak dilaksanakan, sementara anggaran yang diperuntukkan itu sudah masuk.  “Enggak ada saya tau soal itu. Apa yang sebelumnya terjadi juga saya tidak tahu,” tutup Syahron. (prn)

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/