Gatot Pujo Nugroho adalah seorang politikus. Pria kelahiran Magelang, 11 Juni 1962, itu memenangkan pilgub dan dilantik sebagai Gubernur Sumut pada Juni 2013 lalu. Meski secara yuridis punya legitimasi kuat karena meraih kursi gubernur lewat pilkada langsung, namun secara politis posisi Gatot saat itu sesungguhnya sedang berada pada titik lemah. Pertama, suami kedua Evy Susanti itu dikenal sebagai kader binaan Luthfi Hasan Ishaaq alias LHI.
Begitu LHI yang ketika itu menjabat Presiden Partai Keadilan Sejahtera (PKS) ditangkap KPK pada 31 Januari 2013, kekuatan pengaruh Gatot di internal partainya dipastikan ikut melemah. Nah, sehari setelah itu, 1 Februari 2013, Anis Matta resmi menggantikan LHI di kursi tertinggi PKS. Pada hari itu juga, gerbong LHI yang di dalamnya ada Gatot, berada dalam ruang yang tersisihkan. Gerbong Anis, yang didominasi generasi muda PKS, balik menjadi penguasa di internal partai berbasis massa Islam itu, hingga kini.
Apa kaitannya dengan kasus suap hakim PTUN yang memaksa Gatot jadi penghuni rutan Cipinang? Bukan rahasia lagi, lobi-lobi politik di Senayan dalam urusan kasus hukum, baik secara terbuka dalam rapat kerja atau pun diam-diam, sangat berpengaruh terhadap langkah aparat hukum dalam mengusut suatu perkara. Kalimat gampangnya, tidak ada yang membantu Gatot “mengerem” aparat kejaksaan ketika mulai menelisik kasus bansos. Di sisi lain, Gatot sendiri terkesan tidak punya kegesitan melakukan lobi di jalur politik. Tampaknya dia lebih mengandalkan OC Kaligis. Juga melibatkan istri mudanya dalam urusan hukum.
Indikasi lemahnya pengaruh Gatot di internal PKS, terlihat dari sepinya komentar politisi PKS di saat alumni ITB itu dijadikan tersangka dan ditahan KPK. Indra, mantan vokalis Komisi III DPR, saat dimintai komentar koran ini, memilih diam. “Aduh, jangan saya lah, ini sensitif banget,” suara Indra, lewat ponselnya, beberapa hari lalu. Beberapa yang lain, juga demikian. Bahkan, seorang pentolan PKS di Senayan, hanya berlalu sambil mengibaskan tangannya, ketika ditanya soal kasus Gatot.
Kedua, ketika Tengku Erry Nuradi loncat partai dari Golkar ke NasDem, Februari 2015. Kuasa hukum Gatot, Razman Arif Nasution, beberapa hari lalu sudah membeber, sempat ada disharmoni antara Gatot dengan Erry. “Masalah power sharing, pembagian kewenangan,” kata Razman kepada koran ini. Hanya saja Razman tidak menjabarkan kewenangan hal apa yang diperseterukan dan kapan persisnya pecah kongsi itu dimulai. Sebelum Tengku Erry memutuskan gabung NasDem, atau sesudah itu. Tapi yang pasti, jabatan Erry sebagai Ketua DPD NasDem Sumut, semakin memperlemah posisi Gatot secara politis.
Mengapa? Pengkubuan kepartaian Koalisi Merah Putih (KMP) vs Koalisi Indonesia Hebat (KIH), sudah pasti berimbas ke Sumut. Ingat, Sumut merupakan daerah prestisius secara politik. Dengan pindahnya Erry ke NasDem, seakan menempatkan gubernur dan wagub dalam arena pertarungan yang keras. Hanya fakta yang bisa disebutkan. Pertama, HM.Prasetyo, politikus NasDem, pucuk pimpinan korps Adyaksa, yang ngebet banget mengusut bansos Sumut.
Kedua, Mendagri Tjahjo Kumolo, politikus PDI Perjuangan, bergerak cepat mengurus SK penunjukan Erry sebagai Plt Gubernur Sumut, begitu Gatot ditahan. Sebagai penutup, selamat buat NasDem! Tanpa berkeringat lewat pilkada, kini sudah punya kader yang mengendalikan sebuah provinsi besar. (sam)