32 C
Medan
Wednesday, June 26, 2024

Puluhan Tahun Bantu Pendidikan Warga

Keberadaan Pasar Buku Titi Gantung

Menyusuri kawasan inti Kota Medan tepatnya di kawasan Lapangan Merdeka tidak lengkap rasanya jika tidak berkunjung ke Pasar Buku. Letaknya tepat di depan Stasiun Kereta Api Medan, Jalan Stasiun. Ribuan buku-buku baik baru maupun bekas ditawarkan di sini dengan harga miring.

DONI HERMAWAN, Medan

Memasuki gerbang Pasar Buku beberapa pemuda langsung menyambut. Cukup gencar untuk menarik calon konsumen.  “Mau cari buku apa bang?” begitu pertanyaan yang nantinya mengarah ke ajakan untuk mampir ke salah satu kios di antara puluhan kios buku yang tersedia. Namun, bukan hanya ajakan
untuk membeli, jika melihat orang yang memakai ransel atau tas besar mereka pun akan berinisiatif untuk bertanya, “Mau jual buku apa kak, bang?”
Begitulah aktivitas di pasar buku. Bukan hanya menawarkan buku untuk dijual, namun juga menampung buku-buku yang dijual orang. Biasanya buku bekas yang sudah tidak digunakan lagi. Buku pelajaran atau semisalnya komik-komik dan bermacam-macam buku bacaan lainnya. Itu merupakan salah satu cara pedagang buku di sini untuk mendapatkan buku.

Selain itu juga mereka kadang mendapatkannya dari butut. Untuk buku-buku baru biasanya penerbit yang datang menawarkan. Para pengunjung pasar buku ini terdiri dari berbagai kalangan. Mulai dari pelajar, mahasiswa, guru-guru, dosen, para pekerja termasuk kalangan umum lainnya. Jika ditanya alasannya mengunjungi pasar buku ini tentu karena harganya miring.

“Dari awal masuk kuliah saya sering nyari buku di sini. Ya, harganya termasuk murah untuk mahasiswa. Apalagi kan banyak buku bekas di sini jadi lebih hemat tidak harus membeli yang baru,” ujar Yani, mahasiswi jurusan Geografi Unimed. Banyak di antaranya yang sudah jadi pelanggan tetap salah satu kios.
Seperti Aisyah, guru salah satu Madrasah di Medan yang kerap mencari buku pelajaran untuk para siswa. “Langganan di sini sudah empat tahun. Apalagi harganya kan miring daripada di toko buku. Di sini bisa ditawar dan kadang-kadang dikasih diskon. Beda dengan di toko yang sudah dibanderol,” katanya.
Bahkan, para pengunjung bukan hanya dari Medan namun juga kota-kota lain di Sumut. Seperti Sibolga, Rantauprapat, Siantar dan lainnya. Termasuk dari Aceh. Biasanya waktu paling ramai para pengunjung saat memasuki tahun ajaran baru.  “Macam-macam masanya. Kalau masa tahun ajaran baru biasanya banyak anak sekolah. Gak bisa diprediksi karena ada gelombangnya. Para pengunjung juga banyak dari daerah lain seperti Brandan, Tanjungpura, Tanjungbalai. Banyak yang turun dari stasiun kereta api langsung kemari,” ujar Wati, salah seorang pedagang buku.

Tumpukan buku yang ditawarkan di sini memang menggiurkan untuk dibongkar. Ada ribuan judul buku yang terdapat di sini. Mulai dari buku pelajaran, novel, ensiklopedia, majalah, komik dan jenis buku lainnya. Mulai dari harga Rp3 ribuan rupiah sampai jutaan rupiah ada di sini. “Buku-buku kedokteran itu bisa sampai 1,5 juta harganya. Jadi segala jenis buku yang ada di toko bisa didapat di sini. Mulai dari buku langka yang dicetak lagi sampai buku-buku terbaru,” ujar Sirait (60), pedagang senior di Pasar Buku.

Bahkan buku-buku langka yang menjadi incaran kolektor dapat ditemukan disini. Semisal, buku “Di Bawah Bendera Revolusi-nya Soekarno pernah dijual sangat mahal untuk cetakan pertamanya. “Buku-buku langka bisa kita cari. Seperti buku di bawah Bendera Revolusi waktu zaman Megawati Presiden dulu bisa sampai  3 jutaan-5 jutaan untuk cetakan pertamanya. Tapi kalau sekarang sudah turun. Paling Rp1,5 juta,” kata Junaidi (55), yang kiosnya berada di deretan terdepan pasar buku.

Lantas bagaimana awal mula keberadaan mereka? Keberadaan penjual buku di kawasan ini sudah cukup lama. Sudah lebih dari 40 tahun mereka turut membantu pendidikan warga Medan. Dahulu mereka berjualan di atas Titi Gantung yang menghubungkan Jalan Stasiun dengan Jalan Jawa. Namun sejak 2003, dengan alasan keindahan, Wali Kota Medan ketika itu Abdillah menyediakan tempat di kawasan Lapangan Merdeka. Di sini kios-kios tertata rapi dan lebih tertib. Namun nama stigma pedagang buku Titi Gantung masih melekat kuat. Jika ingin mencari buku ke orang Medan akan ingat Titi Gantung alias Tigan.

“Kita gak tahu persis siapa yg memulainya. Tapi saya mulai berjualan disini tahun 70-an di Titi Gantung. Penjualnya pun belum sebanyak sekarang. Sekarang ini kan berkembang pesat seiring minat baca yang semakin meningkat.Dulu buku langka. produksinya gk sebanyak sekarang. Orang punya buku dulu hebat,” kata Sirait, satu dari empat pedagang generasi lawas yang masih menjajakan buku.

Namun kini kegusaran tengah melanda para pedagang. Menyoal relokasi para pedagang buku ke Mandala menyusul rencana Pemko Medan mendirikan Sky Bridge.  Tentu saja mereka menolak. Beberapa spanduk dipampang jelas sebagai bentuk perlawanan. “Kami akan tetap belajar dan berjuang untuk pendidikan Indonesia” begitu isi salah satu spanduk yang dipampang Asosiasi Pedagang Buku.

“Kita masih kecil sudah ada buku Titi Gantung. Ada yang sudah berpuluh tahun jualan disini. Apalagi Medan merupakan pusatnya pendistribusian buku di Sumut. Bagaimana pelosok Sumut sana bisa dapat buku ya dari sini. Bayangkan berapa juta orang yang terbantu pendidikannya sejak zaman dulu. Walaupun eranya internet buku tak akan tergantikan. Untuk isi pikiran juga bisa menjadi buah tangan. Kami memang berdagang untuk cari makan. Tapi juga ikut membantu pendidikan,” tandas Junaidi (45), pedagang buku dengan sangat bersemangat. (*)

Keberadaan Pasar Buku Titi Gantung

Menyusuri kawasan inti Kota Medan tepatnya di kawasan Lapangan Merdeka tidak lengkap rasanya jika tidak berkunjung ke Pasar Buku. Letaknya tepat di depan Stasiun Kereta Api Medan, Jalan Stasiun. Ribuan buku-buku baik baru maupun bekas ditawarkan di sini dengan harga miring.

DONI HERMAWAN, Medan

Memasuki gerbang Pasar Buku beberapa pemuda langsung menyambut. Cukup gencar untuk menarik calon konsumen.  “Mau cari buku apa bang?” begitu pertanyaan yang nantinya mengarah ke ajakan untuk mampir ke salah satu kios di antara puluhan kios buku yang tersedia. Namun, bukan hanya ajakan
untuk membeli, jika melihat orang yang memakai ransel atau tas besar mereka pun akan berinisiatif untuk bertanya, “Mau jual buku apa kak, bang?”
Begitulah aktivitas di pasar buku. Bukan hanya menawarkan buku untuk dijual, namun juga menampung buku-buku yang dijual orang. Biasanya buku bekas yang sudah tidak digunakan lagi. Buku pelajaran atau semisalnya komik-komik dan bermacam-macam buku bacaan lainnya. Itu merupakan salah satu cara pedagang buku di sini untuk mendapatkan buku.

Selain itu juga mereka kadang mendapatkannya dari butut. Untuk buku-buku baru biasanya penerbit yang datang menawarkan. Para pengunjung pasar buku ini terdiri dari berbagai kalangan. Mulai dari pelajar, mahasiswa, guru-guru, dosen, para pekerja termasuk kalangan umum lainnya. Jika ditanya alasannya mengunjungi pasar buku ini tentu karena harganya miring.

“Dari awal masuk kuliah saya sering nyari buku di sini. Ya, harganya termasuk murah untuk mahasiswa. Apalagi kan banyak buku bekas di sini jadi lebih hemat tidak harus membeli yang baru,” ujar Yani, mahasiswi jurusan Geografi Unimed. Banyak di antaranya yang sudah jadi pelanggan tetap salah satu kios.
Seperti Aisyah, guru salah satu Madrasah di Medan yang kerap mencari buku pelajaran untuk para siswa. “Langganan di sini sudah empat tahun. Apalagi harganya kan miring daripada di toko buku. Di sini bisa ditawar dan kadang-kadang dikasih diskon. Beda dengan di toko yang sudah dibanderol,” katanya.
Bahkan, para pengunjung bukan hanya dari Medan namun juga kota-kota lain di Sumut. Seperti Sibolga, Rantauprapat, Siantar dan lainnya. Termasuk dari Aceh. Biasanya waktu paling ramai para pengunjung saat memasuki tahun ajaran baru.  “Macam-macam masanya. Kalau masa tahun ajaran baru biasanya banyak anak sekolah. Gak bisa diprediksi karena ada gelombangnya. Para pengunjung juga banyak dari daerah lain seperti Brandan, Tanjungpura, Tanjungbalai. Banyak yang turun dari stasiun kereta api langsung kemari,” ujar Wati, salah seorang pedagang buku.

Tumpukan buku yang ditawarkan di sini memang menggiurkan untuk dibongkar. Ada ribuan judul buku yang terdapat di sini. Mulai dari buku pelajaran, novel, ensiklopedia, majalah, komik dan jenis buku lainnya. Mulai dari harga Rp3 ribuan rupiah sampai jutaan rupiah ada di sini. “Buku-buku kedokteran itu bisa sampai 1,5 juta harganya. Jadi segala jenis buku yang ada di toko bisa didapat di sini. Mulai dari buku langka yang dicetak lagi sampai buku-buku terbaru,” ujar Sirait (60), pedagang senior di Pasar Buku.

Bahkan buku-buku langka yang menjadi incaran kolektor dapat ditemukan disini. Semisal, buku “Di Bawah Bendera Revolusi-nya Soekarno pernah dijual sangat mahal untuk cetakan pertamanya. “Buku-buku langka bisa kita cari. Seperti buku di bawah Bendera Revolusi waktu zaman Megawati Presiden dulu bisa sampai  3 jutaan-5 jutaan untuk cetakan pertamanya. Tapi kalau sekarang sudah turun. Paling Rp1,5 juta,” kata Junaidi (55), yang kiosnya berada di deretan terdepan pasar buku.

Lantas bagaimana awal mula keberadaan mereka? Keberadaan penjual buku di kawasan ini sudah cukup lama. Sudah lebih dari 40 tahun mereka turut membantu pendidikan warga Medan. Dahulu mereka berjualan di atas Titi Gantung yang menghubungkan Jalan Stasiun dengan Jalan Jawa. Namun sejak 2003, dengan alasan keindahan, Wali Kota Medan ketika itu Abdillah menyediakan tempat di kawasan Lapangan Merdeka. Di sini kios-kios tertata rapi dan lebih tertib. Namun nama stigma pedagang buku Titi Gantung masih melekat kuat. Jika ingin mencari buku ke orang Medan akan ingat Titi Gantung alias Tigan.

“Kita gak tahu persis siapa yg memulainya. Tapi saya mulai berjualan disini tahun 70-an di Titi Gantung. Penjualnya pun belum sebanyak sekarang. Sekarang ini kan berkembang pesat seiring minat baca yang semakin meningkat.Dulu buku langka. produksinya gk sebanyak sekarang. Orang punya buku dulu hebat,” kata Sirait, satu dari empat pedagang generasi lawas yang masih menjajakan buku.

Namun kini kegusaran tengah melanda para pedagang. Menyoal relokasi para pedagang buku ke Mandala menyusul rencana Pemko Medan mendirikan Sky Bridge.  Tentu saja mereka menolak. Beberapa spanduk dipampang jelas sebagai bentuk perlawanan. “Kami akan tetap belajar dan berjuang untuk pendidikan Indonesia” begitu isi salah satu spanduk yang dipampang Asosiasi Pedagang Buku.

“Kita masih kecil sudah ada buku Titi Gantung. Ada yang sudah berpuluh tahun jualan disini. Apalagi Medan merupakan pusatnya pendistribusian buku di Sumut. Bagaimana pelosok Sumut sana bisa dapat buku ya dari sini. Bayangkan berapa juta orang yang terbantu pendidikannya sejak zaman dulu. Walaupun eranya internet buku tak akan tergantikan. Untuk isi pikiran juga bisa menjadi buah tangan. Kami memang berdagang untuk cari makan. Tapi juga ikut membantu pendidikan,” tandas Junaidi (45), pedagang buku dengan sangat bersemangat. (*)

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/